Intisari-Online.com – Wabah pandemi virus Covid-19 yang kita tahu berasal dari Wuhan, China.
Bermula dari Wuhan inilah, virus Covid-19 ‘menantang’ semua orang di seluruh dunia, tanpa pandang bulu.
Utusan WHO beberapa waktu yang lalu mengunjungi Wuhan, untuk menginvestigasi asal mula virus ini.
'Days and Nights In Wuhan', film dokumenter ini merupakan upaya terbaru China yang dibuat untuk mengendalikan narasi resmi dan membantah 'kesalahan' tentang asal-usul virus corona (Covid-19) yang selama ini ditudingkan pada negara itu.
Virus ini telah membunuh lebih dari 2 juta orang di seluruh dunia dan menjungkirbalikkan ekonomi global.
Bahkan secara permanen, mengubah apapun yang dianggap biasa oleh kebanyakan orang dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Namun satu tahun sejak virus ini menyebar, tidak semua penduduk Wuhan mengingat pemberlakuan sistem penguncian (lockdown) selama 76 hari, di mana China dan warganya berhasil menaklukkan virus tersebut, seperti yang ditunjukkan oleh film dokumenter itu.
Dikutip dari laman VOA News, Kamis (11/2/2021), banyak dari penduduk Wuhan yang selamat, kemudian menuntut pertanggungjawaban dari otoritas lokal terkait lockdown yang diberlakukan pada awal Desember 2019.
Mereka juga mengajukan tuntutan terkait pengawasan ketat yang telah dilakukan otoritas setempat yang dianggap mengganggu aktivitas warga.
VOA Mandarin pun mengunjungi kembali beberapa penduduk Wuhan yang telah diwawancarai pada tahun lalu.
Berikut refleksi yang mereka sampaikan tentang otoritas Wuhan.
Zhang Yi (55), warga Wuhan yang enggan disuntik menggunakan vaksin asal China.
China adalah salah satu pelopor untuk penelitian vaksin Covid-19, meskipun Sinovac yang dikembangkan perusahaan negara itu dinilai kurang efektif dari apa yang dijelaskan sebelumnya.
Negara itu memang bersiap untuk melakukan vaksinasi pada 50 juta warganya, sebelum liburan Tahun Baru Imlek yang dimulai 11 Februari ini.
Setelah perayaan berakhir pada 17 Februari mendatang, pemerintah China berencana untuk menggelar program vaksinasi gratis secara lebih luas.
Namun tampaknya, ada perlawanan dari sejumlah warga termasuk Zhang Yi.
"Saya tidak akan mau divaksinasi menggunakan vaksin China. Setidaknya orang disekitarku, semua bilang kalau mereka tidak mau menerimanya," kata Yi.
Ia menunjukkan bahwa keputusannya untuk menunggu itu didasarkan pada apa yang ia sebut sebagai catatan keamanan vaksin yang buruk di China.
Perlu diketahui, negara ini mengalami salah satu krisis kesehatan masyarakat terparah pada tahun 2018, saat produsen besar vaksin melanggar standar yang diterima dalam membuat setidaknya 250.000 dosis vaksin yang digunakan pada anak-anak.
"Saya pikir para pemimpin negara ini harus mencoba vaksinnya duluan. Tapi siapa tahu, yang mereka benar-benar gunakan adalah vaksin Pfizer, bukan vaksin domestik," jelas Yi.
Beberapa bulan setelah China memulai program vaksinnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (AS) memberikan otorisasi penggunaan darurat pertama atau Emergency Use Authorization (EUA) untuk vaksin pencegahan Covid-19 kepada raksasa farmasi AS, Pfizer Inc.
Setelah wawancara Zhang Yi dengan VOA pada tahun lalu, ia terpaksa melakukan perjalanan menjelang peringatan lockdown.
Ia menyebut itu sebagai ungkapan 'sedang bepergian' untuk menggambarkan metode memberangus perbedaan pendapat.
Chen Chen (27), karyawan sebuah perusahaan China
Chen mengatakan bahwa pada awal pemberlakuan lockdown, ia melacak jumlah kematian yang terus meningkat dari hari ke hari,sama seperti warga lainnya.
Dirinya menuduh pihak berwenang setempat menutupi apa yang terjadi pada hari-hari awal terjadinya wabah.
Namun kini, menurutnya, pemerintah melakukan pekerjaan yang luar biasa.
"Pada awalnya, semua orang menyalahkan pemerintah karena menyembunyikan informasi, membuat kami tidak siap untuk lockdown yang begitu parah. Tapi saya pikir mereka melakukan pekerjaan yang bagus untuk memperbaiki kesalahan itu," kata Chen kepada VOA.
Ia menambahkan bahwa hal itu dibuktikan pada April 2020, bisnis dilanjutkan Mei 2020, kemudian turis memadati Wuhan selama musim Hari Liburan Nasional pada Oktober 2020.
"Waktu tersulit di Wuhan telah berlalu. Saya pikir kita telah pulih sepenuhnya," kata Chen.
Bibi Chen, yang bekerja di rumah sakit dan sempat terinfeksi Covid-19, kini telah pulih kondisinya.
Ia mengatakan kepada Chen bahwa petugas medis sudah mulai mengenakan kembali alat pelindung Diri (APD) saat Covid-19 muncul lagi di China menjelang musim perjalanan Tahun Baru Imlek.
Namun Chen mengaku tidak mengkhawatirkan hal tersebut.
"Sekarang orang menyebut Wuhan adalah kota paling aman, anda tidak akan menemukan satu orang pun di jalan ini tanpa masker. Jika anda tidak memakai masker, itu seperti anda tidak mengenakan pakaian," tegas Chen.
Kendati ia mulai terbiasa dengan situasi seperti ini, orang tuanya tetap khawatir.
"Orang tua saya berusia 50-an, dan mereka belum pernah mengalami hal seperti lockdown ini sebelumnya. Mereka menggambarkannya sebagai mimpi buruk dan sering mengatakan bahwa mereka takut Wuhan akan dilockdown lagi," papar Chen.
Zhang Hai (51) mantan karyawan perusahaan real estate
Zhang Hai kehilangan ayahnya yang terinfeksi Covid-19 pada Februari lalu.
Sang ayah yang bernama Zhang Lifa adalah seorang veteran Tentara Pembebasan Rakyat yang telah menghabiskan puluhan tahun bekerja pada program senjata nuklir China.
Zhang dan ayahnya, keduanya merupakan penduduk asli Wuhan, mereka tinggal di Guangzhou saat itu dan melakukan perjalanan ke Wuhan hanya untuk melakukan operasi pada kaki lelaki tua tersebut.
Saat itu, pejabat setempat meremehkan risiko penularan dari manusia ke manusia.
Zhang mengaku bahwa jika ia dan ayahnya tahu apa yang sebenarnya terjadi pada saat itu, mereka tidak akan pergi ke Wuhan.
Zhang pun kemudian mengajukan gugatan pada Juni 2020 terhadap pemerintah lokal untuk menuntut pertanggungjawaban.
Sejak itu, ia terus menerus diganggu oleh kepolisian setempat.
Baca Juga: Penyelidikan Covid-19 oleh Tim WHO Dimulai, di Wuhan Mereka Akan Kunjungi Tempat-tempat Ini
Ia mengatakan kepada VOA bahwa pihak berwenang telah memblokir akun media sosialnya enam kali, memantau aktivitasnya di aplikasi perpesanan WeChat, dan meneror ponselnya.
Zhang mengaku mendapatkan ancaman, jika ia tidak 'berhenti bicara' maka ia akan dijebloskan ke penjara.
"Mereka bahkan mengikuti saya saat saya kembali ke Wuhan. Setelah saya pindah ke apartemen lain, tiga polisi meninjau rekaman kamera pengintai di lingkungan itu," kata Zhang kepada VOA.
Ia pun menegaskan bahwa dirinya bukan seorang mata-mata dan hanya merupakan warga biasa.
"Saya sangat marah, saya hanya warga negara biasa, saya bukan mata-mata, saya tidak anti-partai," kata Zhang, mengacu pada Partai Komunis China yang berkuasa.
Ia hanya ingin melakukan haknya sebagai warga negara.
"Tuntutan saya untuk akuntabilitas adalah tindakan patriotik," papar Zhang.
Zhang merupakan salah satu dari sedikit warga yang blak-blakan menyampaikan apa yang mereka alami, diantara mereka yang kehilangan orang yang dicintai selama masa pandemi.
Seorang Peneliti senior China di Human Rights Watch, Maya Wang mengatakan warga Wuhan masih memiliki amarah, mengacu pada apa yang dilakukan pemerintah lokal terhadap mereka saat pandemi berlangsung.
Namun tidak semua mau berbicara seperti beberapa warga lainnya.
"Orang-orang diam, bukan berarti amarahnya lenyap. Narasi pemerintah China yang telah memenangkan 'perang' terhadap Covid-19 dikondisikan untuk membungkam mereka yang berbicara tentang kegagalan terkait respons pandemi pemerintah dan pelanggaran yang dilakukan dengan dalih menghentikan penyebaran virus," kata Maya Wang.(Fitri Wulandari)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari