Intisari-Online.com - Kita semua tahu bahwa konflik di Laut China Selatan begitu panas.
Hal ini karena China mengklaim 80% wilayah Laut China Selatan tersebut.
Tapi sejumlah negara, khususnya negara-negara Asia Tenggara, tidak terima dengan klaim tersebut.
Alhasil, Amerika Serikat (AS) datang membantu negara-negara ASEAN guna melawan China.
Jadi jangan heran, jika konflik di perairan mahal tersebut sebagian besar dihuni oleh pasukan militer AS dan China.
Bagaimana dengan Indonesia?
Sejujurnya Indonesia tidak mau ikut campur. Sebab, Tanah Air punya pegangan kuat terkait perairan tersebut.
Walau begitu, Indonesia disebutbisa berperan menjadi penengah antara AS dan China dalam konflik di Laut China Selatan.
Hal itu disampaikan olehGuru Besar Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Profesor Ary Bainus.
Dilansir dari kompas.com pada Senin (1/2/2021),Ary menambahkan kedua negara sudah sama-sama menempatkan kekuatan militer di Laut China Selatan.
Oleh karena itu, dia menekankan Indonesia pantas merasa sangat khawatir kalau ketegangan situasi di Laut China Selatan terus meningkat dan berpotensi menjadi perang terbuka.
"Indonesia mempunyai peluang dalam rangka memediasi permusuhan antara Amerika Serikat dengan China."
"Kita bisa mengambil peran di situ, terutama berkaitan dengan Laut China Selatan," kata Ary dalam diskusi bertajuk “Arah Kebijakan Presiden Amerika Joe Biden terhadap Indonesia dan Dunia,” Sabtu (30/1/2021).
Peluang tersebut, lanjut Ary, cukup besar, karena Indonesia bukan termasuk negara yang mengklaim wilayah di Laut China Selatan, seperti yang dilansir dari VOA Indonesia pada Minggu (31/1/2021).
Namun, Ary mengingatkan dengan tetap menjalankan politik luar negeri bebas aktif.
Berkaitan dengan konflik di Laut China Selatan, menurut mantan diplomat Amerika, Stanley Harsha, Amerika Serikat tidak akan meminta Indonesia atau negara mana pun untuk memilih antara Amerika atau China.
Stanley mengungkapkan kebijakan AS di bawah Biden dalam isu Laut China Selatan tidak akan berbeda dengan pemerintahan Presiden Donald Trump.
“Amerika akan sangat tegas, sangat tegas, mungkin tidak banyak berbeda dengan Trump," ujar Stanley.
Menurut Stanley, untuk mencegah meluasnya pengaruh China di Asia Tenggara, Amerika akan meningkat investasinya di kawasan tersebut.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berkali-kali mengingatkan kepada semua negara, termasuk Amerika Serikat dan China, untuk menahan diri buat menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan.
Konflik di Laut China Selatan dipicu oleh klaim atas pulau dan perairan oleh China, Brunei Darussalam, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Vietnam.
Wilayah menjadi sengketa ini termasuk Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel.
Keenam negara pengklaim itu berkepentingan untuk menguasai hak untuk stok perikanan, eksplorasi dan ekploitasi terhadap cadangan minyak dan gas, serta mengontrol jalur pelayaran di Laut China Selatan.
Nilai komoditas perdagangan melewati Laut China Selatan saban tahun sebesar $3,37 triliun atau sepertiga dari total perdagangan maritim dunia.
Sekitar 80 persen dari impor energi China dan 39,5 persen dari total perdagangan mereka melewati Laut China Selatan.
Sejak 2013, China mulai melakukan pembangunan di Kepulauan Spratly dan Paracel.
Tindakan tersebut mengundang kecaman internasional.
Mulai 2015, Amerika Serikat dan negara-negara lain.
Termasuk Perancis dan Inggris, melakukan apa yang disebut kebebasan operasi navigasi di Laut China Selatan.
Wah, apakah militer Indonesia benar-benar bisa menengahi konflik antara AS dan China?
(kompas.com)