Mike Pompeo telah menyatakan AS tidak mengakui batas laut "sembilan garis putus-putus" yang telah lama diklaim China.
Terbaru, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menelepon mitranya di Filipina dan menyatakan Amerika Serikat bersama sekutunya di Asia Tenggara melawan China.
Tidak ada harapan ketegangan di Laut Cina Selatan akan diselesaikan setelah pergantian pemerintahan Washington, bahkan jika retorika Blinken dan Biden tidak akan sekuat dan tidak stabil seperti Pompeo.
Beijing akan terus menetapkan garis merah yang tegas dan meningkatkan kehadirannya di Laut China Selatan.
Namun, kesalahan yang dibuat AS adalah mengasumsikan sekutu resminya, seperti Filipina, tertarik melakukan konfrontasi dengan China.
Sebaliknya, mereka mencari hubungan persahabatan dengan Beijing, yang telah menunjukkan kemampuan cerdik untuk mengubah keseimbangan kekuasaan dan kompromi pada saat yang bersamaan.
Meskipun klaim China atas kendali Laut China Selatan di bawah 'sembilan garis putus-putus' telah digambarkan media arus utama sebagai tindakan agresi atau ekspansionisme, klaim itu mendahului keberadaan negara
Republik Rakyat China, melanjutkan kebijakan pendahulunya, Republik China, yang sekarang menjadi Taiwan.
Tapi ini bukan argumen historis yang penting tentang pentingnya strategis perairan ini.
Wilayah yang disengketakan ini mengandung cadangan minyak yang sangat besar, dan juga merupakan salah satu rute pengiriman tersibuk di dunia.
Militerisasi wilayah sekitarnya oleh AS di bawah Obama meningkatkan ketegangan di Laut Cina Selatan antara Washington dan Beijing.
China telah mengkonsolidasikan kehadiran militernya di wilayah tersebut dengan membangun pulau-pulau buatan dan memperluas jangkauan angkatan udaranya.
AS berpendapat klaim maritim China adalah ilegal dan bertentangan dengan Hukum Laut PBB, dan telah menegaskan posisi yang dikenal sebagai "kebebasan navigasi".
Beijing dianggap tidak memiliki hak menggunakan kedaulatan kendali atas perairan yang luas, terlepas dari siapa yang memiliki pulau yang disengketakan, yang dikenal sebagai Kepulauan Spratly, di wilayah ini.
Tapi ini bukan hanya perselisihan Washington-Beijing. Ada sejumlah negara di kawasan itu memiliki klaim tumpang tindih, termasuk Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Indonesia.
Namun, karena keseimbangan kekuatan Beijing terlalu besar, negara-negara ini hampir tidak dapat mengubah kenyataan.
Negara-negara Asia Tenggara ingin menghindari memprovokasi Beijing, dan Tom Fowdy mengatakan bahwa China pada gilirannya merespons dengan cara diplomatik.
(*)
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR