Intisari-online.com -Pemerintahan Donald Trump selama menjabat telah meluaskan pembagian politik di AS.
Hal itu berdampak juga pada tantangan politik yang tidak jelas untuk masa depan negara tersebut.
Trump mungkin kalah dalam pemilu Presiden 2020, tapi dia tidak akan hilang dari politik nasional AS.
Bayang-bayangnya akan lanjut menetap di tubuh politik negara Paman Sam.
Hal itu berdampak pada sejumlah anggota Partai Republik berharap pada Trump untuk menjabat lagi.
Trump terbilang sukses menciptakan sosok politik yang diikuti banyak orang sebelum dan sesudah ia meninggalkan kursinya.
Sebagian tertarik padanya karena politik populasi sayap-kanan, kebijakan anti-migrasi dan retorika supremasi kulit putih.
Rand Corporation menguji beberapa hal untuk dengan jelas membagi pendukung Trump dari musuh-musuhnya.
Lambat laun terlihat jika proliferasi politik Trump telah secara negatif berdampak pada kohesi nasional di AS.
Hal ini membagi AS menjadi dua kubu: pendukung 'abadi' Trump, yang sudah terlihat dari banyaknya para pengunjuk rasa menyerang Gedung Capitol.
Kesetiaan ini juga tidak hanya pada pendukungnya saja, tapi juga dari anggota Partai Republik, yang tercermin dalam kekerasan di Gedung Capitol.
"Itu sangat buruk dan banyak yang berpikir Donald Trump mendapat banyak kecaman, sebaliknya, mayoritas politisi Partai Republik justru mendukung Trump," ujar salah satu anggota Senat.
Kesetiaan buta ini ditakutkan menjadi hal yang lebih buruk dan melebar melebihi perbatasan AS.
Hal ini dapat menyebabkan beberapa masalah untuk pemerintahan Biden yang baru, terutama untuk di Teluk Arab/Persia.
Perjalanan bisnis Trump pertama di tahun 2016 lalu adalah ke Arab Saudi, dan secara alami AS memiliki hubungan kuat dengan negara itu.
Peran unik Arab Saudi di dunia Arab dan Islam, kemudian juga sebagai penyimpan cadangan minyak terbesar kedua di dunia dan lokasinya yang strategis memainkan peran penting dalam hubungan bilateral AS dan Arab Saudi.
Kunjungan ke Arab Saudi juga menjadi agenda penting Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed Bin Salman.
Setelah kunjungan Trump ke negara itu, koalisi yang dipimpin Saudi kemudian meningkatkan taruhan di Yaman, mengubah negara itu menjadi bencana kemanusiaan.
Sampai 2019 kemarin koalisi Arab Saudi melanjutkan kampanye militer melawan kelompok pemberontak Houthi di Yaman, termasuk lakukan sejumlah serangan udara yang melanggar hukum, tewaskan ribuan rakyat sipil.
Kemudian mundur lagi di tahun 2018 Arab Saudi mengakui membunuh jurnalis Washington Post Jamal Khashoggi di konsulat di Istanbul, Turki.
Namun mengerikannya lagi adlaah hubungan prbadi Trump dan Jared Kushner, penasihat senior Gedung Putih sekaligus menantunya, dengan Putra Mahkota Arab Saudi dan Putra Mahkota UEA Mohammed bin Zayed.
Hubungan itu sudah sangat melampaui politik dan Trump menutup mata dari catatan hak asasi manusia Arab Saudi yang buruk.
Mengingat hubungan baik dengan Trump dapat disimpulkan pemerintahan Biden akan kesulitan mencapai kepercayaan dengan kedua putra mahkota itu, sementara Arab Saudi dan UEA telah mendominasi penyediaan mesin di dalam Dewan Kerjasama Teluk (GCC), bahkan kedua negara itu gembongnya.
Lantas apa jaminan keduanya akan juga sama setianya dengan Biden?
Baca Juga: Saat Waktunya Tepat: Senjata Nuklir Israel Bisa Menghancurkan Seluruh Timur Tengah
Ada kemungkinan baru jika Biden akan mengajak negara lain untuk mulai menjadi sahabat karib mereka, yaitu Qatar.
Qatar akan segera memiliki posisi penting di hubungan AS dan GCC di masa depan, dan dapat menjadi jembatan politik antara keduanya.
Qatar telah dikesampingkan selama 4 tahun masa jabatan Trump, menjadikan negara ini jauh dari pengaruh Trump.
Lebih unggulnya lagi, Qatar diberi julukan promotor kebebasan berekspresi dan demokrasi, dengan menolak menutup kantor Al Jazeera setelah diblokir oleh Arab Saudi, Bahrain, UEA dan Mesir.
Biden juga telah berjanji mendukung demokrasi dan bekerja dengan siapa saja yang mendukung demokrasi.
Hal ini cukup menarik mengingat Arab Saudi dan Qatar baru saja berdamai di awal tahun ini, malah Arab Saudi bisa kehilangan posisi pentingnya oleh negara tersebut.
Pada 4 Januari lalu Arab Saudi kembali membuka perbatasan darat, udara dan laut dengan Qatar, pertanda berakhirnya perselisihan diplomatik tiga tahun kedua negara.
Aliansi negara dalam Kuartet Anti-Teror yang terdiri dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, dan Bahrain memberlakukan embargo diplomatik, perdagangan, dan perjalanan di Qatar pada Juni 2017.
Baca Juga: Sempat Sesumbar Enggan Normalisasi dengan Israel, Qatar Kini Buka Peluang dengan Syarat
Mediasi antara kedua negara baru-baru ini dipimpin oleh Amir Kuwait Sheikh Nawaf Al-Sabah.
Perdamaian antara Arab Saudi dan Qatar ini turut disambut baik oleh Menteri Luar Negeri Kuwait Sheikh Ahmad Al-Sabah.
Rasionalisasinya, Qatar memiliki posisi strategis di GCC, dengan peran pentingnya ia bisa mencapai penyelesaian antara Iran dan Turki dengan AS.
Selama 3 tahun blkade itu, Qatar berhasil membangun hubungan baik dengan kedua negara, dan saat ini banyak yang berharap dengan keterlibatan Qatar akan mengubah citra GCC dan membawa kesempatan politik baru di negara tersebut.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini