Intisari-online.com -Keputusan China mempersenjatai pasukan coastguard mereka menimbulkan banyak polemik.
Keputusan itu dianggap negara-negara Asia Tenggara sebagai cara China semakin agresif mengklaim Laut China Selatan.
Sementara itu, pemerintahan baru Amerika Serikat (AS) di bawah arahan Joe Biden telah memastikan akan membantu negara-negara Asia Tenggara dalam urusan serangan bersenjata.
Hal ini terkait dengan ucapan resmi Manila yang mengecam tindakan China sebagai "ancaman perang verbal".
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menekankan pentingnya kesepakatan antara dua negara.
Kesepakatan yang ia maksud adalah Kesepakatan Pertahanan Setara, yang Blinken bahas via telepon dengan Menteri Luar Negeri Filipina Teddy Locsin Kamis kemarin.
Pembicaraan itu menekankan "penerapan bersih untuk serangan bersenjata melawan pasukan bersenjata Filipina disertai armada kapal atau pesawat di Pasifik, termasuk di Laut China Selatan".
Locsin mengatakan Rabu lalu ia telah memprotes dengan formal aturan baru yang disahkan oleh Kongress China Jumat pekan lalu yang memperbolehkan pasukan coastguard tembaki ancaman dari kapal asing.
"Sementara mengaktifkan undang-undang adalah hak prerogatif negara berdaulat, undang-undang ini, melihat wilayah yang dimasukkan di dalamnya, sungguh jelas menjadi ancaman perang verbal untuk negara mana saja yang dianggap menantang undang-undang China.
"Dan jika mereka tidak ditantang mereka akan semakin merasa ini semua milik China."
Sementara itu yang paling sering menghadapi serangan ini sebenarnya adalah Indonesia.
Kapal Angkatan Laut Indonesia sudah sangat sering menghadapi serangan kapal coastguard China yang agresif memasuki perairan Natuna.
China sendiri mengklaim jika Natuna adalah tempat yang legal bagi mereka untuk memancing karena faktor sejarah.
Untuk ini, Indonesia sudah menuntut penghapusan undang-undang China itu.
Badan legislatif China meluaskan kekuasaan kapal sipil coastguard mereka untuk mengambil tindakan yang diperlukan termasuk menggunakan senjata saat "kedaulatan nasional, hak kedaulatan dan yuridiksi mereka ditantang oleh negara lain atau oleh individu tertentu di laut".
Kemudian undang-undang itu secara spesifik menyebutkan senjata apa yang boleh dipakai.
Lalu undang-undang itu juga memperbolehkan personil coastguard untuk menghancurkan struktur yang dibangun negara lain di karang yang diklaim China, dan pangkalan serta kapal-kapal asing di perairan yang diklaim China.
Mantan hakim Mahkamah Agung Filipina Antonio Carpo mengatakan undang-undang itu berarti China dapat mendeklarasikan zona mereka di dalam zona ekonomi eksklusif dari Vietnam atau Malaysia.
"Serta secara paksa menghancurkan pengeboran minyak yang dilakukan dua negara pemilik ZEE yang dianggap melanggar 'sembilan garis putus-putus' milik China," meskipun sebagian besar yang diklaim China adalah Laut China Selatan.
Analis keamanan Filipina Richard Heydarian mengatakan kapal coastguard China dengan kapal pemotong seberat 12 ribu ton telah di posisi depan untuk mengupayakan memperluas klaim dan jejak paramiliter di Laut China Selatan."
Selanjutnya, mengutip The Australian, Biden tidak membuang waktu mengirimkan sinyal melanjutkan tindakan keras administrasi Trump terhadap China.
Hal ini dilakukan dengan pengiriman kapal induk USS Theodore Roosevelt ke Laut China Selatan untuk mewujudkan "kebebasan laut" sehari setelah undang-undang coastguard itu disahkan.
Beijing sendiri juga merespon dengan latihan militer di Teluk Tonkin, sebelah timur Vietnam dan mengirim jet tempur ke wilayah udara Taiwan selama 6 hari.
China bersikeras undang-undang coastguard mereka sejalan dengan praktik internasional dan diperlukan untuk menjaga hak kedaulatan dan maritim mereka.
Aksi ini begitu berbahaya sampai menyebabkan ASEAN berupaya bernegosiasi apa yang harus dilakukan menghadapi ketegangan di Laut China Selatan berikutnya.
Duta Besar China untuk Indonesia dipanggil akhir November lalu untuk menjelaskan "isu mengerikan di draft undang-undang".
Kemudian ia dipanggila lagi bulan ini, seperti dijelaskan juru bicara Kementerian Luar Negeri kepada The Australian.
"Dalam pertemuan itu, kami menjelaskan posisi sah kami berdasarkan Konvensi UN 1982," ujar juru bicara Menteri Luar Negeri Indonesia tersebut.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini