Intisari-Online.com -Akhir tahun lalu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengungkapkan keinginan Turki untuk memperbaiki hubungan dengan Israel.
Jumat (25/12/2020) lalu, Erdogan mengatakan, "Jika tidak ada masalah di tingkat atas (di Israel), hubungan kami bisa sangat berbeda."
Kemudian, dia menambahkan, "Kami ingin membawa hubungan kami ke titik yang lebih baik."
Saat ini, Turki dan Israel menjalin hubungan kerja sama sebatas berbagi informasi intelijen.
Bersamaan dengan pernyataan itu, Erdogan juga sempat mengatakan bahwa di samping keinginannya untuk menormalisasi hubungan dengan Israel, dia masih mempertimbangkan kesulitan yang ditanggung Palestina karena Israel.
Erdogan menyebut kebijakan Israel terhadap Palestina tetap sebagai "tidak dapat diterima".
Menanggapi keinginan Turki untuk memperbaiki hubungan dengan Israel, seorang sumber diplomatik senior Israel curiga ada sesuatu yang diincar Erdogan.
"Saya tidak terlalu percaya dia jujur. Kita perlu melihat aksi," kata sumber itu pada Minggu (27/12/2020) dikutip dari Jerusalem Post.
Israel sendiri pun tentunya juga tak mau gegabah dalam mengambil keputusan untuk memperbaiki hubungan dengan Turki.
Melansir Middle East Monitor, Selasa (19/1/2021), Israel tidak berniat untuk melanjutkan hubungan normal dengan Turki dan mengirim duta besarnya kembali ke Ankara kecuali pemerintah Turki menutup kantor Hamas di Istanbul.
Kantor tersebut diduga dijalankan oleh sayap militer Gerakan Perlawanan Islam Palestina tersebut.
"[Presiden Recep Tayyip] Erdogan dengan senang hati akan mengembalikan duta besar kami ke Ankara, tetapi yang kami minati adalah aktivitas Hamas di Turki," kata seorang pejabat Israel seperti dikutip oleh Ynet.
Pada 2019, diklaim bahwa beberapa tokoh senior gerakan tersebut menggunakan Istanbul sebagai tempat berlindung yang aman.
Kemudian pada Oktober tahun lalu, Times of Israel melaporkan bahwa Hamas telah mendirikan kantor di kota tersebut, serta fasilitas rahasia yang diduga digunakan untuk melakukan serangan siber di Israel.
Selama beberapa tahun terakhir, Turki telah menampilkan dirinya sebagai pendukung perjuangan Palestina, memutuskan hubungan dengan Israel pada 2018 ketika AS dan beberapa negara lain mulai mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Sebagai pengganti strategi pembebasan: Pemilu Palestina dirancang untuk mengulur waktu
Pada Agustus tahun lalu, Erdogan menjamu delegasi Hamas yang dipimpin oleh kepala Biro Politiknya, Ismail Haniyeh.
Washington pun mengutuk pertemuan itu.
Turki juga telah menampilkan dirinya sebagai mediator antara faksi Palestina Hamas dan Fatah, yang memungkinkan mereka untuk bertemu dan bernegosiasi di Istanbul September lalu.
Fraksi-fraksi tersebut mencapai kesepakatan tentang langkah-langkah dialog nasional.
Namun, setelah pembicaraan itu, Hamas dituduh menunda konfirmasi kesepakatan tersebut.
Pada November gerakan tersebut mengatakan bahwa proses rekonsiliasi hancur ketika Fatah dan Otoritas Palestina kembali ke kebijakan kerja sama keamanan dengan Israel.