Advertorial
Intisari-Online.com -Operasi Isotope adalah nama sandi untuk serangan yang dilakukan pasukan khusus IDF di sebuah pesawat penumpang yang telah dibajak oleh teroris Palestina.
Pada awal 1970-an, organisasi teroris Palestina mulai menargetkan warga Israel dalam serangan di seluruh dunia.
Salah satu serangan pertama terjadi di atas pesawat penumpang yang dijadwalkan dari Wina ke Tel Aviv yang dioperasikan oleh maskapai penerbangan nasional Belgia, Sabena.
Melansir jewishvirtuallibrary.org, pada 8 Mei 1972, empat teroris (Ahmed Awad, Abed al-Aziz Atrash, Theresa Khalsa dan Rima Tannous - tergabung dalam kelompok teroris September Hitam Palestina di bawah arahan Ali Hassan Salameh) menaiki penerbangan Sabena 571 di Wina bersama 90 penumpang dan kru pesawat lainnya.
Kira-kira dua puluh menit setelah lepas landas, para teroris berusaha untuk menyerbu kokpit untuk mengambil kendali pesawat.
Kapten Reginald Levy pun berusaha menenangkan para penumpang, memberi tahu mereka "seperti yang Anda lihat, kami punya teman" dan berbicara tentang berbagai topik lain untuk mengalihkan fokus mereka para pembajak.
Tak lama setelah teroris mengambil alih pesawat, Kapten Levy dituntut mempertahankan jalur dan mendarat di Bandara Lod di luar Tel Aviv.
Levy pun dapat mengirim sinyal bahaya rahasia ke Israel yang diterima oleh Menteri Keamanan Moshe Dayan.
Dengan segera, Dayan memulai negosiasi dengan para teroris sekaligus mulai merencanakan operasi penyelamatan.
Ketika mereka mendarat di Israel, para teroris menjelaskan tuntutan mereka agar Israel membebaskan 315 terpidana teroris Palestina dari penjara mereka atau mereka akan meledakkan pesawat dan membunuh semua orang di dalamnya.
Atas permintaan para pembajak, tim dari Palang Merah Internasional digunakan untuk mengirimkan pesan antara pesawat dan Dayan.
Sementara itu, agen Israel menggunakan pakaian serba gelap untuk merayap di bawah pesawat untuk mengempiskan ban dan peralatan hidrolik, sehingga mencegah teroris lepas landas lagi.
Pada titik inilah, ketika para teroris akhirnya menyadari bahwa mereka tidak dapat lepas landas, Kapten Levy mengatakan dia mulai berbicara dengan mereka tentang "segala sesuatu di bawah matahari, dari navigasi hingga seks" untuk menenangkan mereka dan tidak membuat keputusan gegabah.
Kapten Levy kemudian dikirim turun dari pesawat untuk menunjukkan sampel bahan peledak teroris kepada Israel untuk meyakinkan mereka tentang ancaman nyata dan yang akan segera terjadi.
Pada 9 Mei, Dayan memulai operasi penyelamatan.
Dayan menunjukkan kepada para pembajak sekelompok tahanan palsu Palestina yang menaiki pesawat lain dan juga berjanji untuk mengirim sekelompok teknisi agar dapat memperbaiki masalah pada pesawat sehingga mereka bisa lepas landas lagi.
Sekitar jam 4 sore, tim yang terdiri dari 16 pasukan komando dari unit pasukan khusus elit Sayeret Matkal, dipimpin oleh Perdana Menteri masa depan Ehud Barak (dan termasuk Perdana Menteri masa depan Benjamin Netanyahu), menyamar sebagai teknisi yang dijanjikan, dengan cepat mendekat pesawat.
Para tentara dibagi menjadi lima tim, yang menerobos masuk ke dalam pesawat melalui lima lubang - pintu utama, pintu belakang, pintu darurat dan dua sayap pesawat - menembak dan membunuh dua pembajak pria dan menangkap dua pembajak wanita.
Dalam upaya penyelamatan tersebut, dua penumpang mengalami luka-luka, salah satunya fatal.
Ali Hassan Salameh
Ali Hassan Salameh, dalang dari pembajakan pesawat tersebut, dikenal sebagai teroris yang pandai menyamar, membuat tergila-gila para wanita, dan kelompoknya kerap melancarkan serangan mematikan ke target-target Israel di tahun 1970-an.
Salameh yang terus diburu-buru dan memiliki nama lain Abu Hassan sudah menjadi tokoh besar di kalangan PLO dan kelompok teroris Black September.
Mossad pernah melakukan operasi pembunuhan terhadap Salameh di Norwegia tetapi ternyata salah sasaran.
Pada saat itu sesungguhnya Salameh memang berada di negara itu. Tapi dirinya ternyata luput dari incaran Mossad dan setelah peristiwa itu, dia malah makin piawai.
Salameh juga dikenal sebagai ahli menyamar dan berkali-kali lolos dari buruan Mossad.
Keahlian menyamar itu ternyata diperoleh dari rekannya yang menjadi tokoh teroris dunia yang jago menyamar dan meloloskan diri, Carlos The Jackal.
Tapi Salameh mulai menunjukkan kelemahannya saat bermukim kembali ke Beirut dan menikah lagi dengan gadis Lebanon, Georgina Rizak.
Georgina yang sangat menyukai Salameh pernah menjadi Ratu Kecantikan Sejagat tahun 1971.
Kepopuleran Georgina RIzak lah yang membuat Mossad berhasil mencium keberadaan Salameh dan kemudian merancang operasi pembunuhan.
Untuk memasuki Beirut agen Mossad yang terdiri dari tim pria dan wanita tidak mengalami banyak kesulitan.
Bahkan untuk mendeteksi kediaman Salameh yang berada di suatu apartemen dan kebiasaannya wara-wiri ke istri barunya juga makin mempermudah aksi Mossad.
Sialnya Salameh dan pengawalnya yang selama ini selalu waspada dan curiga tidak menyadari bahwa seorang agen wanita Mossad, Erika Mary Chambers, yang tinggal di seberang apartemen Salameh selalu mengawasinya.
Erika yang dikenal sebagai wanita genit dan penggemar kucing serta suka melukis memang sama sekali tidak mencerminkan sosok agen Mossad.
Setelah Erika berhasil memastikan apa saja rutinitas dan rute yang selalu dilewati Salameh, ia segera memanggil tim pembunuh Mossad untuk segera datang ke Beirut.
Dua personel Mossad yang bertugas sebagai regu pembunuh pun segera terbang ke Beirut.
Agen Mossad yang pertama tiba di Beirut pada bulan Januari 1978 adalah Peter Sriver.
Ketika tiba di Beirut, Peter yang berpaspor Inggris mengaku sebagai konsultan teknik dan usahawan Inggris.
Peter kemudian menginap di salah satu hotel dan menyewa Volkswagen yang natinya akan difungsikan sebagai bom mobil.
Sehari kemudian agen Mossad yang kedua, Ronald Kolberg, menyusul tiba di Beirut dan menggunakan paspor Kanada.
Ia menginap di hotel yang tidak jauh dengan tempat Peter menginap.
Tujuan menginap di hotel terpisah itu adalah untuk menghilangkan kecurigaan bahwa mereka salin kenal.
Setelah mengisi Volkswagen dengan peledak dan meninggalkan kunci untuk Kolberg, Sriver segera terbang ke Lebanon menggunakan paspor bukan Inggris.
Kolberg yang sudah menyewa mobil pun meluncur ke hotel tepat menginap Sriver lalu mengambil kunci Volkswagen dan mengendarainya di jalan yang biasa dilalui Salameh.
Kolberg kemudian memarkir Volkswagen yang dipenuhi bom di dekat apartemen Salameh.
Tanpa mengundang banyak perhatian, Kolberg menghilang naik taksi.
Tepat pada tanggal 22 Januari pukul 15.35 petang, Salameh yang mengendarai Chevrolet bersama empat pengawalnya melintas tepat di samping Volkswagen.
Bom yang dipicu melalui gelombang radio pun meledak menghancurkan mobil Chevrolet bersama isinya.
Tak hanya Salameh dan empat pengawalnya yang tewas, empat orang lain yang sedang melintas juga turut tewas.
Mossad dan rakyat Israel pun merasa puas dengan tewasnya Salameh karena dendamnya terbalas.
Ade S