Advertorial
Intisari-online.com -Presiden baru tentunya akan memiliki administrasi baru.
Hal itu membuat banyak pihak penasaran apa yang akan dilakukan Washington ke depannya, salah satunya oleh Korea Utara.
Kandidat Joe Biden mengatakan jika ia akan bertemu Kim Jong-Un hanya setelah syarat-syarat tertentu tercapai, yang tentunya cukup sulit diterima Korea Utara.
Presiden yang akan datang pun seperti calon pendahulunya, mungkin dikelilingi oleh garis keras bahkan kurang tertarik pada diplomasi.
Kandidat kuat Menteri Pertahanan AS selanjutnya, Michele Flourny, tercatat dalam berbagai negosiasi menentang.
Empat tahun lalu dia menekankan pentingnya "sanksi tambahan, terutama sanksi yang dikenakan, melibatkan tekanan dari China."
Perang juga merupakan pilihan utama baginya.
Namun, empat tahun terakhir telah berubah, dan Flourny juga tampaknya telah memodernisasi pandangannya, mengakui kemungkinan jika tidak tercapainya denuklirisasi.
Sementara itu prospek bantuan dari Beijing tampaknya sangat tidak mungkin, tapi bukan tidak mungkin.
Namun, jika pemerintahan besok berharap meminta China untuk meningkatkan pengaruhnya terhadap Korea Utara, Washington harus memberikan kompensasi kepada China.
Xi Jinping dan pendukungnya dari Partai Komunis China tentunya tidak akan memberikan apa pun secara gratis.
China cenderung melebih-lebihkan pengaruh Beijing atas Korea Utara. Sepanjang Perang Dingin, Kim Il-Sung menyeimbangkan Uni Soviet melawan Republik Rakyat China dan mempertahankan jarak dari keduanya.
Bertahun-tahun Pyongyang menolak saran dari pemerintah China untuk menghindari suksesi monarki, menghindari senjata nuklir dan mengadopsi reformasi ekonomi.
Salah satu alasan Kim Jong-Un berharap hubungan yang lebih baik dengan AS adalah untuk memperkuat arah kemandiriannya dan mengurangi ketergantungan pada China.
China dan Korea Utara tidak pernah dekat, Beijing tercatat dalam sejarah pernah lakukan intervensi militer pada akhir 1950 untuk mencegah Korea Utara dikuasai oleh pasukan sekutu.
Namun, Mao Zedong pada saat itu lebih memperhatikan keamanan China daripada Korea Utara.
Pyongyang tidak pernah memuji China atas upayanya, dan Kim menghancurkan sekutu Korea Utara di Beijing saat dia menciptakan kultus kepribadian yang memakan banyak orang, dan secara terbuka berselisih dengan Mao.
Mao saat itu mengkritik rencana pengalihan kekuasaan kepada putranya.
Beberapa tahun terakhir, permusuhan populer dan akademis terhadap Korea Utara telah meningkat, serta ketidaksenangan pejabat juga menjadi semakin jelas.
Xi Jinping bertemu enam kali dengan Presiden Korea Selatan Geun-hye, bahkan memberinya tempat kehormatan untuk menyaksikan parade 2015 dalam perayaan ulang tahun ke-70 berakhirnya PD II.
Kim Jong-Un saat itu tidak menerima undangan untuk mengunjungi China, sebabkan kemarahan dari pemimpin Korea Utara tersebut.
Namun hubungan mulai diperbaiki China saat muncul calon KTT Trump-Kim, karena Beijing sadar jika hubungan AS dan Korea Utara akan baik, maka Korea Utara akan menjauhkan diri dari RRC, sebuah konsep yang dihindari Xi.
China juga sekarang lebih memilih melestarikan tetangga yang bermasalah daripada mengurusi AS, karena mengalihkan perhatian dan sumber daya AS serta memecah belah Washington dan Seoul.
Hubungan AS dan Korea Utara yang lebih baik juga tidak akan menghindarkan dari dilema lain: denuklirisasi, sanksi, yang kemudian membuat Korea Utara tidak stabil, menciptakan potensi ledakan, ditakutkan sendiri oleh China.
Baiknya hubungan AS dan Korea Utara juga memungkinkan reunifikasi, yang akan menyebabkan Korea bersatu dan militer AS bertambah, sebuah gagasan buruk bagi China.
Itulah sebabnya Washington harus mulai mengatur jalan yang lebih baik untuk mendapatkan Korea Utara, salah satunya lewat China.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini