Advertorial
Intisari-online.com -Hampir setahun pandemi Covid-19 menyerang hampir semua negara, kini sudah ada kandidat-kandidat vaksin yang menjanjikan.
Salah satunya adalah kandidat vaksin dari Moderna.
Kini bahkan perusahaan itu sudah siapkan harga untuk kandidat vaksin mereka.
Dikutip dari Kontan.co.id, Moderna kabarnya akan mengenakan biaya antara 25 sampai 37 Dolar Amerika per dosisnya.
Harga itu setara dengan 350 sampai 500 ribu Rupiah.
Menurut Chief Executive Officer Moderna, Stephane Bancel, besaran biaya itu tergantung pada jumlah yang dipesan.
"Karena itu, biaya vaksin kami hampir sama dengan suntikan flu, yaitu antara US$ 10 hingga US$ 50," kata Bancel kepada surat kabar Jerman Welt am Sonntag (WamS) seperti dikutip Reuters.
Pada hari Senin, seorang pejabat Uni Eropa yang terlibat dalam pembicaraan tersebut mengatakan Komisi Eropa ingin mencapai kesepakatan dengan Moderna untuk penyediaan jutaan dosis kandidat vaksinnya dengan harga di bawah US$ 25 per dosis.
"Belum ada yang ditandatangani, tapi kami hampir mencapai kesepakatan dengan Komisi Uni Eropa. Kami ingin mengirimkannya ke Eropa dan sedang dalam pembicaraan konstruktif," jelas Bancel kepada WamS.
Dia pun menyebut, pembicaraan antara Komisi Uni Eropa dan Moderna kini hanya menyisakan "masalah hari" sampai kontrak tersebut siap dibuat.
Sebelumnya, Moderna sudah mengumumkan bahwa vaksin eksperimentalnya 94,5% efektif dalam mencegah Covid-19. Persentase tersebut berdasarkan data sementara dari uji klinis tahap akhir.
Moderna pun menjadi pengembang kedua yang melaporkan hasil uji coba yang jauh melebihi harapan setelah Pfizer dan mitranya BioNTech di pekan sebelumnya.
Asal tahu saja, Komisi UE telah melakukan pembicaraan dengan Moderna untuk vaksin Covid-19 eksperimental setidaknya sejak Juli.
Remdesivir kehilangan harapan jadi obat Covid-19
Sementara itu obat yang diunggulkan oleh Presiden AS Donald Trump, Remdesivir, sudah resmi tidak boleh digunakan untuk pasien Covid-19.
Hal tersebut sudah dijelaskan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Obat produksi Gilead tersebut tidak boleh digunakan untuk pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit, terlepas dari seberapa parah sakit mereka.
Alasannya, tidak ada bukti obat tersebut meningkatkan kelangsungan hidup atau mengurangi kebutuhan ventilator.
“Panel ... menemukan kurangnya bukti bahwa remdesivir meningkatkan hasil yang penting bagi pasien,” demikian bunyi pedoman WHO seperti dikutip Reuters.
“Terutama mengingat implikasi biaya dan sumber daya yang terkait dengan remdesivir ... panel merasa tanggung jawab harus menunjukkan bukti kemanjuran, yang tidak ditentukan oleh data yang tersedia saat ini,” tambahnya.
Saran WHO tersebut menandakan kemunduran lain untuk obat tersebut.
Sebelumnya, remdesivir sempat menarik perhatian dunia sebagai pengobatan yang berpotensi efektif untuk Covid-19 di musim panas setelah uji coba awal yang menunjukkan hasil yang menjanjikan.
Antiviral, yang dikenal dengan nama merek Veklury, adalah satu dari dua obat yang saat ini diizinkan untuk merawat pasien Covid-19 di seluruh dunia.
Tetapi uji coba besar yang dipimpin WHO yang dikenal sebagai Uji Solidaritas menunjukkan bulan lalu bahwa obat itu memiliki sedikit atau tidak berpengaruh pada kematian 28 hari atau lama rawat inap di rumah sakit untuk pasien Covid-19.
Obat tersebut adalah salah satu obat yang digunakan untuk mengobati infeksi virus corona Presiden AS Donald Trump, dan telah terbukti dalam penelitian sebelumnya dapat mempersingkat waktu pemulihan.
Obat ini diizinkan atau disetujui untuk digunakan sebagai pengobatan Covid-19 di lebih dari 50 negara.
Gilead telah mempertanyakan hasil Uji Solidaritas dan mengatakan dalam sebuah pernyataan pada hari Jumat bahwa pihaknya "kecewa" dengan pedoman WHO yang baru.
"Veklury diakui sebagai standar perawatan untuk perawatan pasien yang dirawat di rumah sakit dengan Covid-19 dalam pedoman dari berbagai organisasi nasional yang kredibel," katanya seperti dilansir Reuters.
Tak ada efek
Panel Guideline Development Group (GDG) WHO mengatakan, rekomendasinya didasarkan pada tinjauan bukti yang mencakup data dari empat uji coba acak internasional yang melibatkan lebih dari 7.000 pasien yang dirawat di rumah sakit dengan Covid-19.
Setelah meninjau bukti, panel menyimpulkan bahwa remdesivir, yang harus diberikan secara intravena dan oleh karena itu mahal dan rumit untuk diberikan, tidak memiliki efek yang berarti pada tingkat kematian atau hasil penting lainnya bagi pasien.
Peter Horby, seorang profesor penyakit menular di Universitas Oxford Inggris, mengatakan saran baru WHO harus mendorong "pemikiran ulang tentang tempat remdesivir di Covid-19".
“Remdesivir adalah obat mahal yang harus diberikan secara intravena selama lima sampai 10 hari, jadi rekomendasi ini akan menghemat uang dan sumber perawatan kesehatan lainnya,” katanya.
Namun, dokter penyakit menular AS mengatakan mereka akan terus menggunakan obat tersebut karena penelitian AS menunjukkan obat tersebut mengurangi lama rawat inap untuk beberapa pasien Covid-19.
“Perspektif saya, dan perspektif institusi kami, obat ini masih bermanfaat," kata Dr. Rajesh Gandhi, seorang dokter penyakit menular di Rumah Sakit Umum Massachusetts dan Sekolah Kedokteran Harvard.
(Anna Suci Perwitasari, Barratut Taqiyyah Rafie)
Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul "CEO Moderna: Vaksin Covid-19 akan dikenakan biaya US$ 25-US$ 37 per dosis" dan "WHO larang penggunaan obat remdesivir untuk pasien Covid-19"
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini