Advertorial
Intisari-online.com - Sejak tahun 1975, orang-orang Timor Leste berjuang memperoleh kemerdekaannya, karena tak mau berada dalam cengkeraman Indonesia.
Hal itu menyebabkan pemberontakan, oleh milisi Timor Leste yang dikenal dengan Fretilin.
Invasi Indonesia pun tak bisa dihindari, militer Indonesia menyerbu kawasan itu untuk menjaga keutuhan NKRI meski harus bentrok dengan milisi Fretilin.
Hingga akhirnya pada tahun 1999, Timor Leste berhasil memperoleh kemerdekaannya sendiri.
Namun, secara resmi negara tersebut merdeka tahun 2002 setelah referendum PBB, banyak rakyatnya menginginkan kemerdekaan.
Meskipun Timor Leste merdeka, ternyata tak semua rakyatnya menginginkan kemerdekaan.
Ada beberapa rakyatnya yang memilih ingin bersama dengan Indonesia hingga mereka memutuskan meninggalkan tanah airnya.
Menurut UCA News, dalam referendum tahun 2002, ada sekitar 21,5 persen atau sekitar 94.388 orang memilih tetap bersama Indonesia.
Sementara lainnya, ada 344.580 orang sekitar 78,5 persen menginginkan kemerdekaan Timor Leste.
Lantas bagaimana nasib mereka yang memilih tetap bersama Indonesia, sementara Timor Leste merdeka?
Banyak di antara mereka yang pulang kampung setelah repatriasi, tetapi lebih banyak yang memilih tinggal di Nusa Tenggara Timur.
Sekretariat Pencegahan Bencana dan Pengungsi Nusa Tenggara Timur mencatat pada tahun 2005 terdapat sekitar 104.436 pengungsi, dengan 70.453 orang tinggal di Kabupaten Belu, 11.176 di Timor Tengah Utara dan 11.360 di Kabupaten Kupang.
Sebagian besar hidup dalam kemiskinan dan tidak memiliki tanah meskipun banyak uang dialokasikan untuk proses pemukiman kembali mereka selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-14).
"Birokrasi terlalu banyak dan kami tidak benar-benar merasakan efektivitasnya," kata Matius Alves, 40, warga Timor Leste lainnya.
Tapi Alves lebih beruntung dari yang lain. Pemilik tanah mengizinkannya untuk mengelola sekitar dua hektar lahan dengan syarat bagi hasil dimana dia menanam tanaman seperti singkong, jagung, pepaya dan pisang.
"Tapi itu cukup dilematis. Di satu sisi saya bersyukur. Di sisi lain, itu bukan tanah saya dan bisa diambil dari kami kapan saja," ujarnya.
Francisco Ximenes, seorang pemimpin lokal dari distrik Baucau di Timor-Leste, mengatakan hak-hak orang telah dirampas.
Baca Juga: Inilah Perbandingan Kekuatan MIliter Indonesia dan Malaysia, Siapa Lebih Unggul di Udara?
"Karena sebagian besar masyarakat Timor Leste adalah petani, mereka membutuhkan tanah untuk mengaktualisasikan diri dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tapi sayangnya, kebanyakan orang hidup di atas tanah orang lain dan mereka tidak tahu masa depannya," kata Ximenes.
"Awalnya, ketika kami sampai di sini tahun 1999, kawasan ini adalah hutan. Tidak ada yang mengklaim kepemilikan. Tapi setelah orang menebang pohon dan membuka lahan, satu per satu orang mendatangi kami dan mengklaim kepemilikan."
Ximenes tinggal bersama sekitar 700 keluarga di wilayah milik militer Indonesia. Dia mengatakan suatu kali militer meminta mereka untuk mengosongkan daerah tersebut.
"Tapi kemana kita akan pergi?" pungkasnya.
Menurut Ximenes, pemerintah tidak pernah mendengarkan permohonan sertifikasi tanah tempat mereka menetap.
Dengan meningkatnya harga, semakin sulit bagi orang untuk memperoleh bahkan sebagian kecil tanah.
Mariano Parada, 34, aktivis dari Masyarakat Timor-Indonesia, sebuah kelompok nirlaba yang mengadvokasi warga Timor Leste di Kabupaten Belu, mengatakan bahwa setelah UNHCR mengakhiri tugasnya pada tahun 2002, masyarakat diberi kesempatan untuk memilih repatriasi atau pemukiman kembali.
Dia mengatakan hanya repatriasi yang berhasil, sementara pemukiman kembali gagal total.
Sebagian besar ekspatriat Timor yang menetap di distrik hidup dalam kemiskinan parah kecuali sejumlah kecil yang direkrut oleh lembaga pemerintah atau polisi.
"Ini dilema. Kami memilih untuk tinggal tetapi tidak memiliki tempat tinggal yang layak. Banyak juga yang tidak bisa kembali ke Timor-Leste. Hidup sangat sulit," katanya.
Parada khawatir kondisi seperti itu akan menjadi bom waktu yang suatu saat akan menimbulkan konflik.
"Ketika orang tidak bisa lagi menahan penderitaan, terus hidup dalam ketidakpastian, saya khawatir itu akan berakhir dengan balas dendam," katanya.
"Orang banyak berkorban. Mereka meninggalkan rumah bahkan ada yang membunuh orang lain selama perang pro-Indonesia. Kalau pengorbanan itu tidak membuahkan hasil, saya khawatir orang akan memberontak," katanya.
Menurut Parada, kondisi buruk yang dialami oleh pemerintah Indonesia belum terlalu diperhatikan.
"Kami telah melakukan banyak protes menuntut pemerintah menyediakan fasilitas listrik, kesehatan dan pendidikan di daerah pemukiman kembali. Namun hingga saat ini belum terjadi apa-apa," katanya.
Pada Desember 2016, masyarakat mengimbau Presiden Joko Widodo untuk membantu kehidupan warga Timor Leste, khususnya dengan sertifikasi tanah.
Tetapi menurut Parada mereka belum mendapatkan tanggapan dari pemerintah Indonesia.