Advertorial
Intisari-Online.com - Periode invasi Timor Leste oleh Indonesia rupanya bukan hanya memakan korban penduduk Timor Leste, namun juga para jurnalis dari Australia.
Sebuah peristiwa pembantaian terhadap lima orang jurnalis Australia terjadi pada masa tersebut.
Bahkan, kasus pembunuhan jurnalis yang dijuluki sebagai 'Babilo Five' itu belum diselesaikan hingga sekarang.
Hanya meninggalkan misteri dan hutang penegakan keadilan bagi para korbannya.
Rahasia kekejaman pembantaian tersebut menghantui Australia, seperti yang diungkapkan Susan Connelly, penyelenggara Forum Keadilan Laut Timor, dalam artikel berjudul 'Empat puluh lima tahun kemudian, rahasia kekejaman Balibo menghantui Australia'di The Sydney Morning Herald.
Melansir smh.com.au (16/10/2020), Empat puluh lima tahun yang lalu, pada 16 Oktober 1975, lima jurnalis yang berbasis di Australia dekat kota Balibo melaporkan invasi Indonesia yang akan datang ke Timor Portugis.
Mereka adalah Gary Cunningham, Brian Peters, Malcolm Rennie, Greg Shackleton dan Tony Stewart.
Militer Indonesia, khususnya Yunus Yosfiah dan Cristoforo da Silva, membunuh para pemuda ini untuk mencegah mereka menyebarkan informasi tentang invasi tersebut.
Delapan investigasi telah diadakan sejak itu. Yang terakhir adalah pemeriksaan koroner di Sydney pada 2007, dan temuannya diserahkan kepada Polisi Federal Australia.
Namun, tujuh tahun kemudian, pada Oktober 2014, AFP membatalkan penyelidikan, dengan alasan tantangan yurisdiksi dan bukti yang tidak cukup.
Tidak ada yang dimintai pertanggungjawaban atas pembantaian jurnalis tersebut.
Susan mengatakan bahwa sampai hari ini, dokumen yang relevan ditolak untuk dibuka pada publik Australia, mengabaikan aturan tiga puluh tahun deklasifikasi dokumen yang biasa.
Penolakan tersebut menurutnya menyembunyikan sejauh mana sebenarnya pengetahuan Australia tentang invasi tersebut, dan menghindari menyinggung Indonesia karena takut akan dampak ekonomi atau politik.
Tindakan penolakan tersebut dibuat atas dasar melindungi "keamanan nasional".
Meski begitu, warga Australia dan tetangga regional dengan jelas melihat ketidakpercayaan pemerintah dalam kekejaman Balibo Five dan keterlibatannya dengan pendudukan Timor Timur.
Bahkan, mereka melihat taktik pengganggu terhadap yang lemah dan tunduk pada kepatuhan, kemudian memberanikan pemerintah Australia untuk memata-matai negara baru Timor-Leste yang miskin pada tahun 2004.
Aktivitas mata-mata tersebut untuk kepentingan perusahaan sumber daya dengan kepentingan di Laut Timor, tempat di mana ladang minyak dan gas melimpah berada.
Bahkan, penipuan itu diperparah dengan penuntutan saat ini terhadap orang-orang yang mengatakan kebenaran tentang hal itu, yaitu mantan perwira intelijen Australia, Saksi K dan pengacaranya, Bernard Collaery.
Menurut susan, hal tersebut memperlihatkan pemerintah Australia yang dengan rela menyerahkan komponen penting dari keamanan nasional, kepercayaan.
Seperti halnya episode Balibo Five yang ditutup-tutupi, keamanan nasional yang semestinya dijaga kerahasiaannya sudah digerogoti, katanya.
Menurutnya, penuntutan tersebut bukan untuk keamanan rakyat Australia, tetapi untuk balas dendam pemerintah, dan untuk menjadi peringatan bagi orang lain agar tidak membiarkan hati nurani ditempatkan di hadapan negara.
Seperti halnya Balibo, warga negara Australia tidak aman dari pemerintah mereka sendiri yang bergantung pada kekuatan atau bisnis besar, ungkapnya.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari