Advertorial
Intisari-online.com -Timor Leste merdeka dari Indonesia sejak 20 Mei 2002.
Meski Timor Leste masih berumur 18 tahun, namun Timor Leste telah berhasil mengalahkan Indonesia dari kekuatan sinyal telepon selulernya.
Setidaknya inilah yang dirasakan warga di perbatasan Indonesia - Timor Leste.
Tangan Maksi Foni (31), sedikit gemetar saat mengusap layar sentuh telepon genggam Android warna biru muda miliknya.
Jari jemari hitam legam Maksi, menari perlahan di atas layar ponsel buatan China itu. Sorot matanya tajam mengikuti pergerakan kedua jempolnya.
Warga Desa Haumeni, Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur ( NTT) itu, sedang serius mencari nomor kontak beberapa orang langganannya.
Maksi adalah tukang ojek pangkalan di wilayah desa yang berbatasan langsung dengan Distrik Oekusi, Timor Leste.
Sesekali, ia menggerutu karena nomor yang dihubungi sedang tidak aktif. Ada juga yang aktif, namun tidak diangkat.
Pagi itu Senin (12/10/2020), sekitar pukul 06.15 Wita, Maksi baru saja mengisi pulsa 10.000 dengan harga Rp 13.000 di sebuah kios kecil yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah dia.
Dia ingin menginformasikan kalau hari itu, mengojek di atas pukul 11.00 Wita.
Maksi harus mengurus sejumlah pekerjaan rumah, karena sang istri Nelsi Kolo, sedang tidak enak badan.
Lantaran nomor langganan yang dikontak belum ada yang membalas, ia mulai menulis pesan singkat dan membagikan satu per satu.
Maksi juga mengirim melalui pesan multimedia WhatsApp. Begitu selesai, ia lalu menonaktifkan teleponnya.
Mengenakan kaos oblong biru bercampur putih dipadu celana pendek berwarna ungu dan sandal jepit hijau, Maksi lalu bergerak menuju rumahnya.
Ia mengendarai sepeda motor Honda Revo Fit keluaran Tahun 2018. Tak lupa pula, helm standar bertulis SNI pun disematkan di kepalanya.
Termasuk juga masker warna hitam untuk menutup hidung dan mulutnya.
Tidak sampai tiga menit, dia tiba di rumah. Satu persatu pekerjaan digarapnya, mulai dari membersihkan rumah, mencuci pakaian hingga memberi makan beberapa ekor ternak peliharaannya.
Di rumah sederhana beratap alang-alang dan berdinding kayu, Maksi tinggal bersama istri dan ibu kandungnya Sina Sasi.
Ayah Maksi, Zakarias Foni sudah meninggal puluhan tahun lalu, saat dia masih berusia tujuh tahun.
Begitu juga anak pertamanya meninggal tahun 2017, saat baru berusia dua hari akibat lahir prematur.
Tak butuh waktu lama, Maksi telah menyelesaikan semua pekerjaan rumah.
Sejumlah peralatan seperti sapu, ember, sabun cuci dan sikat pakaian, disimpan di tempatnya masing-masing dengan rapi.
Ia lalu bergegas mandi dan mempersiapkan diri untuk kembali beraktivitas seperti sediakala.
Ponsel yang disimpannya di atas meja ruang tamu, diambil dan dihidupkan. Begitu, sinyal muncul, terlihat 10 pesan masuk, termasuk enam panggilan WhatsApp.
Semua pesan yang masuk, berasal dari langganan ojek. Ada yang meminta Maksi menjemput di Napan, Ibu Kota Kecamatan Bikomi Utara.
Ada pula yang meminta dia untuk mengantar ke Kefamenanu, Ibu Kota Kabupaten TTU.
Maksi memilih mendahulukan jemputan di ibu kota kecamatan yang berjarak sekitar empat kilometer, dengan bayaran Rp 15.000 untuk sekali antar.
Sedangkan ke ibu kota kabupaten, ada dua rute alternatif. Jika melewati ruas jalan nasional yang melintasi Kecamatan Miomafo Timur, maka jarak tempuh sejauh 20 kilometer.
Alternatif berikutnya, melintasi Kecamatan Bikomi Tengah, lebih singkat karena hanya berjarak 11 kilometer dari Desa Haumeni.
Di dua rute itu, Maksi mematok bayaran yang sama yakni Rp 20.000.
Kondisi jalannya, lebih mulus alternatif pertama karena kualitas jalan negara yang hotmix.
Kalau alternatif kedua, meski status jalan kabupaten, tapi kondisinya lumayan bagus karena sebagiannya pengerasan dan beraspal hotmix.
Selama ini, Maksi selalu memilih rute yang kedua, sebab waktu yang ditempuh menjadi lebih singkat.
Para pelanggannya bervariasi, mulai dari warga biasa, ibu hamil, kader posyandu, pensiunan Aparatur Sipil Negara (ASN) hingga rohaniawan.
Pada waktu ojek pun, ia tak lupa membawa hand sanitizer dan juga masker yang selalu melekat di wajahnya.
Walau hanya tamatan sekolah dasar (SD), namun pembawaannya yang santun dan kerap berbaur dengan warga, membuat dirinya disenangi masyarakat setempat.
Maksi juga beberapa kali memberi tumpangan gratis buat warga yang pulang beraktivitas di kebun.
Dari hasil ojek, Maksi mampu meraup pendapatan mulai dari Rp 100.000 hingga Rp 250.000 per harinya.
Meski dalam masa pandemi Covid-19, tapi pendapatan dari hasil ojek malah lebih meningkat.
Maksi sangat terbantu dengan jaringan Telkomsel sebagai satu-satunya provider yang menjangkau hingga daerah pelosok maupun perbatasan.
"Khusus di Desa Haumeni, sinyal Telkomsel baru bisa diterima dengan baik pada April 2020. Itu bertepatan dengan masuknya virus corona di Indonesia," ungkap Maksi, kepada Kompas.com, yang mengikuti aktivitasnya seharian.
Sebelumnya, dia bersama warga lainnya yang ingin menelepon, harus pergi ke desa tetangga yang berjarak tiga sampai empat kilometer.
Ditambah lagi, sinyal di wilayah desa mereka, malah 'dikuasai' oleh sebuah provider asal Timor Leste.
Akibatnya, jika telepon mereka dihidupkan dan menerima serta membuka pesan masuk, maka seluruh isi pulsa langsung terkuras habis.
Kondisi itu berpengaruh terhadap pemasukannya sebagai tukang ojek pangkalan, karena langganannya tidak bisa menghubunginya dengan cepat melalui telepon.
Pemasukannya pun, sehari paling tinggi Rp 70.000. Itu juga harus turun ke Kota Kefamenanu dan bersaing dengan ratusan ojek lainnya.
Asa Maksi bersama warga lainnya akhirnya terwujud, saat kekuatan sinyal milik Telkomsel mampu mendominasi di sepanjang wilayah perbatasan dengan Timor Leste.
"Kami baru merasakan kemerdekaan, saat sinyal Indonesia mengalahkan miliknya Timor Leste di Tahun 2020 ini. Sinyal yang muncul 4G dan kami bisa video call," kata dia, bangga.
Kekuatan sinyal yang kuat saat ini, sangat membantu pekerjaannya.
"Kalau dulu saya keluar cari penumpang di pangkalan, sekarang saya hanya duduk dari dalam rumah dan menunggu telepon masuk dari langganan saya," ujar Maksi.
Meski sekarang pendemi corona masih berlangsung, ia tetap yakin tidak akan menghambat kerjanya sebagai tukang ojek.
Sepeda motor miliknya yang dibeli secara kredit pada tahun 2018 lalu, akan lunas pada Desember 2020 mendatang.
Dia berencana akan membeli lagi sebuah sepeda motor dari hasil tabungannya selama ini.
Kondisi yang sama juga dirasakan Jorovicus Lake (54) penjual pulsa Telkomsel dan juga kios sembako di Desa Haumeni.
Di saat musim pandemi corona, justru penjualan pulsa semakin meningkat dibandingkan sebelumnya.
Apalagi, pulsa yang dijual Jorovicus, lebih murah Rp 500 dibandingkan dua orang penjual pulsa lainnya di desa mereka.
Pulsa 5.000 misalnya, dijual Rp 8.000 dan 10.000 dijual Rp 13.000 hingga 100.000 dijual Rp 103.000.
Para pembeli pulsa berbondong-bondong ke kios miliknya yang berjarak hanya sepelemparan batu dari Sekolah Dasar Katolik (SDK) Haumeni.
Untuk mematuhi protokol kesehatan guna mencegah penyebaran virus Covid-19, di depan kios, Jorovicus telah menyiapkan tempat untuk cuci tangan lengkap dengan sabun dan kain pengering.
"Memang jualan pulsa untungnya sedikit, tapi pada saat sinyal HP mulai bagus yang bertepatan dengan pandemi corona, malah banyak warga yang beli," ungkap dia.
Bahkan, kata Jorovicus, ada tren baru pembelian pulsa. Sebelumnya paling banyak warga hanya membeli pulsa dengan nominal 5.000 hingga 10.000.
Namun, kini paling banyak warga membeli pulsa 50.000, 75.000 hingga 100.000.
Selain untuk kebutuhan komunikasi, pulsa digunakan untuk mengisi paket data buat akses internet bagi pelajar SMP hingga SMA, yang belajar secara daring.
"Kami paling beruntung, karena kebijakan sekolah yang mengubah metode pembelajaran secara online (daring), bertepatan dengan sinyal yang menguat sehingga anak-anak sekolah bisa belajar dari dalam rumah dengan baik dan lancar," kata Jorovicus yang juga berprofesi sebagai guru SD itu.
"Penjualan pulsa telepon, keuntungannya itu pasti dan setiap hari banyak pembelinya," sambung dia.
Yang paling penting, lanjut Jorovicus, jaringan sinyal yang kuat mempermudah komunikasi dengan keluarga yang tinggal dekat maupun jauh, termasuk anak-anak yang sekolah di luar Kabupaten TTU dan juga di kota lainnya di Indonesia.
Menguatkan sinyal di perbatasan
Menguatnya sinyal di sepanjang perbatasan juga disampaikan Bupati TTU Raymundus Sau Fernandes saat dihubungi melalui telepon seluler.
Raymundus mengakui, keadaan sinyal saat ini jauh lebih bagus dibandingkan beberapa tahun lalu.
Namun, kata Raymundus, tidak semua wilayahnya memiliki jaringan yang bagus.
Kalau pun ada, sinyalnya sangat lemah sehingga sulit diakses.
"Karena itu, kita harapkan perhatian dari Kementerian Kominfo untuk menaikan kapasitas BTS pemancar yang berada di sepanjang perbatasan," kata Raymundus.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi NTT Abraham Maulaka, mengatakan, hingga saat ini, terdapat 645 titik di wilayah NTT tidak ada sinyal atau masuk dalam area blank spot.
Ratusan titik itu tersebar di semua Kabupaten di wilayah NTT, kecuali Kota Kupang.
Pemerintah Pusat melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika akan segera menangani persoalan itu.
Pada tahun 2020 ini, akan dibangun 212 BTS dan tahun 2021 mendatang, akan dibangun 421 BTS.
"Sehingga target pemerintah pusat, pada tahun 2021 mendatang 645 titik itu akan ada sinyal, termasuk jaringan internet," ujar Abraham.
Dihubungi secara terpisah Spv Corporate Communication Telkomsel wilayah Bali-Nusa Tenggara Luh Putu Dian Wahyundari, menuturkan, hingga saat ini, pihaknya telah memasang lebih dari 70 Base Transceiver Station (BTS) di daerah perbatasan dengan Timor leste.
Puluhan BTS dan tower tersebut, kata Dian, tersebar di sejumlah kabupaten yang berbatasan dengan Timor Leste yakni Kabupaten Kupang, Belu, Malaka, termasuk TTU.
"Khusus untuk Kabupaten Timor Tengah Utara, lebih dari 65 BTS yang terpasang," ujar Dian.
Pihaknya punya beberapa rencana pengembangan lagi di daerah perbatasan.
Salah satu contoh yang saat ini berlangsung adalah penambahan site Oepoli di Kabupaten Kupang.
"Jadi, untuk pengembangannya, lebih kepada penambahan site dan tentunya maintain (memelihara) jaringan eksisting," ujar dia.
Pihaknya berharap bisa memberikan jaringan yang baik terus, untuk warga yang tinggal di daerah perbatasan.
Dengan adanya perhatian dari pemerintah dan sejumlah pihak terkait di wilayah mereka, Jorovicus dan Maksi semakin yakin, sebagai warga yang tinggal di beranda Negara Kesatuan Republik Indonesia, akhirnya mendapat perlakuan yang sama dengan warga di kota lainnya.
Keduanya berharap, barometer ekonomi Indonesia jangan hanya dilihat di kota besar, tapi di pelosok negeri termasuk juga di daerah perbatasan dengan negara lain.
Matahari semakin condong ke barat, semburat sinarnya menyoroti sisi kanan sepeda motor Revo Fit yang dikendarai Maksi, memunculkan siluet indah di sore itu.
Maksi pulang ke rumah dengan sebuah harapan baru, untuk hidup lebih baik di tengah pandemi corona.(*)
Artikel ini pernah tayang di Kompas.com dengan judul"Kami Baru Merasakan Kemerdekaan, Saat Sinyal Indonesia Mengalahkan Timor Leste."