Advertorial

Pantas Sangat Terburu-buru, Perdamaian Sudan-Israel Ternyata Bukan Diambil Pemerintah Terpilih, Semata Hanya Demi Puaskan Mata-mata Asing

May N

Editor

Intisari-online.com -Partai politik telah menolak keputusan pemerintah Sudan untuk normalisasi hubungan dengan Israel.

Dilansir dari Al Jazeera, lusinan warga Sudan berdemo di ibukota Khartoum Jumat kemarin.

Demo tersebut dilakukan setelah adanya pernyataan dari Israel, Sudan dan AS mengatakan kedua negara setuju untuk mengakhiri "hubungan perang antara dua negara."

Pernyataan itu dengan segera ditolak oleh Partai Kongres Populer Sudan.

Baca Juga: Harus Pakai Rompi 8 Kg Tiap Hari, Letkol Revilia Jadi Prajurit TNI Wanita Pertama di Dunia yang Jadi Komandan PBB di Sudan, Simak Kehebatan Ibu 2 Anak Ini!

Partai Kongres Populer merupakan partai mayoritas terbesar kedua dalam koalisi politik Pasukan Kebebasan dan Perubahan (FFC).

Mereka mengatakan warga Sudan tidak wajib untuk menerima kerjasama normalisasi tersebut.

"Mengapa kami harus sepakat dengan normalisasi, saat warga kami sendiri tidak diikutsertakan dan dipinggirkan begitu saja dari perjanjian rahasia tersebut," papar partai tersebut.

"Warga kami akan tetap ikuti posisi bersejarah dan bekerja keras menahan normalisasi.

Baca Juga: Disebut Tikam Palestina dari Belakang! Sudan yang Dulu Sekutu Hamas, Kini Perbaiki Hubungan dengan Israel

"Kami akan selalu mendukung warga Palestina agar mereka mendapat hak yang telah lama direnggut dari mereka."

Mantan perdana menteri Sudan Sadiq al-Mahdi juga berikan pernyataan menohok mengenai pengumuman tersebut.

Ia tambahkan ia tidak hadiri konferensi beragama dari pemerintah Sabtu kemarin untuk ikuti protes.

Al-Mahdi mengatakan "pernyataan ini berlawanan dengan hukum nasional Sudan.

Baca Juga: Gara-gara Komentar 'Ngawur' Donald Trump Ini, Ethiopia Siap Angkat Senjata Terhadap Mesir dan Sudan Atas Bendungan Sungai Nil

"Dengan itu, hal ini berkontribusi terhadap eliminasi proyek perdamaian di Timur Tengah dan menjadi pemicu perang baru."

Al-Mahdi merupakan perdana menteri Sudan terakhir yang terpilih secara demokratis.

Ia juga merupakan ketua partai terbesar di Sudan.

Dalam pernyataan terpisah, pemimpin Partai Kongres Populer, Kamal Omar, mengatakan jika pemerintah Sudan yang sedang dalam masa transisi bukanlah pemerintah yang memegang kendali Sudan.

Baca Juga: Liga Arab Makin Terpecah Belah, Kini Giliran Sudan yang Setuju Berdamai dengan Israel, Donald Trump Langsung Beri Hadiah dengan Hapus Sudan dari Daftar Negara Terorisme

Sehingga, mereka tidak layak untuk sewenang-wenang menormalkan hubungan dengan Israel.

"Pemerintah transisi ini membajak posisi Sudan untuk memuaskan kepentingan pihak tertentu," paparnya.

Lebih lanjut ia mengatakan pihak tertentu tersebut adalah "agen intelijen regional dan internasional."

Para protestan di Khartoum meneriakkan "tidak ada perdamaian, tidak ada negosiasi, tidak ada rekonsiliasi dengan musuh," serta "kami tidak akan menyerah, kami akan selalu mendukung Palestina."

Baca Juga: Pantas AS Berani 'Pasang Harga' Tinggi untuk Upeti dari Sudan, Ternyata Pangeran Penuh Kontroversi dari Arab Saudi Ini Sudah Siap Talangi Kekurangan, Ujung-ujungnya Ya untuk Israel

Muhammad Wadaa, pimpinan Partai Baath Sudan yang masih satu koalisi dengan FFC, mengatakan front anti-normalisasi termasuk pasukan sipil dan partai berpengaruh dari dalam dan luar koalisi FFC.

Wadaa mengatakan ada sejumlah partai di FFC yang memperingatkan pemerintah transisi mereka akan menarik dukungan mereka jika perjanjian normalisasi dengan Israel disetujui.

"Normalisasi dengan Israel adalah gerakan yang ditolak oleh rakyat.

Pemerintah tidak berhak melakukan keputusan itu dengan negara rasis yang terapkan diskriminasi agama," ujarnya.

Baca Juga: Susul UEA dan Bahrain Setelah Bayar Upeti Rp4,9 Triliun pada AS Agar Lepas dari Status Negara Teroris, Sudan Siap Normalisasi Hubungan dengan Israel

Wadaa menyebutkan kepada Al Jazeera bahwa "pemerintah membuat kesalahan besar dan ini merupakan langkah yang tidak akan mencapai keseimbangan ekonomi."

Pemerintah Palestina bereaksi dengan cemas karena Sudan kemungkinan akan menjadi negara ketiga yang segera bernormalisasi dengan Israel, setelah Uni Emirat Arab dan Bahrain.

Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas mengecam perjanjian tersebut dan mengatakan satu-satunya cara mencapai perdamaian adalah dengan terapkan hukum internasional untuk hentikan okupasi Israel di wilayah Palestina.

Namun banyak pakar menilai warga Palestina tidak punya banyak pilihan dan harapan.

Baca Juga: Coret Sudan dari Daftar Hitam Negara Teroris, Rupanya Amerika Punya Maksud Terselubung yang Pasti Menguntungkan Israel

"Bagi banyak analis politik, warga Palestina tidak punya harapan lagi selain Trump tidak menjabat kedua kalinya," ujar analis politik Al Jazeera Nida Ibrahim.

"Banyak warga Palestina di media sosial mengatakan hati warga Sudan bersama warga Palestina.

"Tapi, mereka terpaksa dalam kesepakatan ini oleh pejabat militer mereka."

Sabtu lalu menteri luar negeri Iran mengolok-olok langkah Sudan.

Baca Juga: Terima Upeti Rp4,9 Tirliun, AS Lepas Label Negara Teroris dari Sudan, Ujung-ujungnya Israel yang akan Paling Semringah

Ia menyebut "bayar uang di muka, tutup mata atas kekejaman terhadap warga Palestina, dan kalian dihapus dari daftar hitam 'negara teroris'.

"Tentu saja daftar itu palsu sama halnya langkah AS melawan terorisme, memalukan!" tambahnya.

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait