Advertorial

Walau Dunia Sedang Gonjang-ganjing, Banyak Juga Kemungkinan Perdamaian, Salah Satunya Perang Berdarah-darah Terpanjang di Afrika Ini, Mengapa?

May N

Editor

Intisari-online.com -Dunia boleh bersitegang dan kian kacau akibat banyak konflik di berbagai negara.

Namun di mana ada perpecahan, pasti juga ada perdamaian.

Seperti yang terjadi di Benua Afrika ini.

Mengutip Al Jazeera, konflik 17 tahun di Sudan kemungkinan bisa berakhir setelah ada kesepakatan ini.

Baca Juga: Ruang Operasi Dibikin Geger, Gegara Bayi Ini Lahir dengan Tampang yang Tak Biasanya, Mau Tahu Reaksi Orangtuanya?

Konflik di Sudan, yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan antara pemerintah dan sekutu pemberontak telah resmi berakhir seperti dikabarkan dari agensi berita SUNA hari Minggu kemarin.

Kelompok pemberontak Front Revolusi Sudan (SRF) yang berasal dari wilayah barat Darfur dan provinsi di selatan bernama Kordofan Selatan dan Nil Biru telah menandatangani perjanjian dengan pemerintah Sabtu malam.

Selanjutnya upacara penandatanganan formal dilaksanakan Senin di Juba, ibukota Sudan Selatan.

Sudan Selatan telah berperan menengahi dan melakukan mediasi pembicaraan jangka panjang sejak akhir tahun 2019.

Baca Juga: Akui Militer China Jauh di Atas,TapiKementerian Pertahanan Taiwan Percaya Diri Negeri Panda Tetap Tak Bisa Kalahkan Mereka, Ini Alasannya

Pejabat senior pemerintah dan pemimpin kelompok pemberontak disebutkan "menandatangani protokol asli mereka terkait penyusunan keamanan" dan isu lainnya Sabtu malam tersebut.

Namun, dua gerakan pemberontak menolak sebagian dari kesepakatan tersebut.

Mereka adalah faksi Gerakan Liberal Sudan yang dipimpin oleh Abdul Wahid al-Nur, dan sayap dari Gerakan Liberal Warga Sudan Utara (SPLM-N) yang dikepalai oleh Abdelaziz al-Hilu.

Isi kesepakatan

Baca Juga: 21 Tahun Negaranya Merdeka, Ini Kisah Pemuda Timor Leste Merantau ke Australia Demi Capai Kemakmuran

Kesepakatan final mengulas isu terkait keamanan, kepemilikan lahan, pengadilan transisi, pembagian kekuasaan dan pemulangan orang-orang yang pergi dari kampung halaman mereka akibat perang.

Kesepakatan itu juga menyediakan pembongkaran pasukan pemberontak dan masuknya prajurit mereka ke tentara nasional.

Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok dan beberapa menteri lain terbang ke Juba pada Minggu kemarin, untuk bertemu Presiden Sudan Selatan Salva Kiir.

Hamdok mengatakan perjanjian itu jauh lebih lama dari yang diharapkan sejak September 2019 lalu.

Baca Juga: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat 'Good Looking', Awalnya Mengamuk Karena Mobilnya Ditabrak, Pria Ini Langsung 'Jinak' Pas Tahu Penabraknya Wanita Cantik Nan Seksi

"Pada deklarasi Juba September kemarin, semua orang mengharapkan perdamaian ditandatangani dalam dua atau tiga bulan, tapi...kami sadar jika banyak hal rumit menyertainya," ujar Hamdok.

"Meski begitu, kami bisa mencapai kinerja yang bagus, dan itu adalah dimulainya perdamaian di Sudan."

Pasukan pemberontak awalnya terbentuk melawan apa yang mereka sebut marginalisasi ekonomi dan politik oleh pemerintah di Khartoum.

Baca Juga: Kuasai Bela Diri Tangan Kosong yang Diklaim Setara dengan Pasukan Khusus AS, Inilah Tentara Pasukan Khusus China

Sebagian besar dari mereka adalah minoritas non-Arab yang lama geram terhadap dominasi Arab di penerus pemerintahan di Khartoum, termasuk Omar al-Bashir.

Tercatat sudah ada 300 ribu orang telah terbunuh di Darfur sejak pemberontak mulai melawan tahun 2003, seperti yang dikutip dari catatan PBB.

Konflik di Kordofan Selatan dan Nil Biru merebak sejak 2011, mengikuti isu yang tidak terselesaikan dari perang sipil Sudan 1983-2005.

Mendesak perdamaian dengan para pemberontak adalah isu utama yang selalu dihadapi saat pergantian pemerintah.

Baca Juga: Pantas Dijuluki 'Wuhan Kedua', Ternyata Ada 2 Mutasi Virus Corona Baru di Kota Surabaya, Diklaim Menyebar 10 Kali Lebih Cepat

Terutama beberapa bulan setelah mundurnya Bashir di April 2019 karena protes massa melawan pemerintahannya.

Perdamaian sebelumnya yang telah tercatat di Sudan, termasuk satu yang ditandatangani di Nigeria tahun 2006 dan di Qatar 2010 telah gugur.

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait