Advertorial
Intisari-online.com -Pemilihan presiden AS November mendatang akan memberikan pilihan sulit bagi warga AS untuk memilih siapa yang akan memimpin negara mereka selanjutnya.
Kandidat dari Republik adalah Donald Trump, yang dalam 4 tahun pemerintahannya telah membuat AS di ambang kekacauan.
Sementara kandidat dari Demokrat adalah Joseph Robinette Biden, Jr. atau sering dikenal Joe Biden, yang sebenarnya merupakan kandidat yang lemah.
Buktinya, jika ia kuat, ia tidak akan meminta Kamala Harris menjadi kandidat wakil presiden bersamanya.
Joe Biden memiliki catatan citra yang tidak cukup bagus sebagai kandidat presiden.
Jasanya kepada AS dimulai pada tahun 1973, saat Kesepakatan Damai Paris yang ditandatangani pada Januari 1973 seharusnya mengakhiri Perang Vietnam.
Sayangnya tidak semudah itu mengakhiri Perang Vietnam.
Dua tahun selanjutnya sampai 1975, angkatan darat AS di Vietnam tidak berpengaruh banyak selain mempertahankan kehadiran mereka.
Tentara AS bahkan menghindari operasi serangan besar sembari melanggar norma negara tersebut, lakukan penyelundupan narkoba dan tingkatkan tekanan rasial.
Kesepakatan yang gagal itu akhirnya menarik pasukan AS tapi perbolehkan tentara Vietnam Utara untuk tetap berjaga.
Pertempuran tidak berhenti sampai situ, sedangkan Senat AS menolak ratifikasi.
Vietnam Selatan jatuh pada 30 April 1975.
Kembali ke kampung halaman di AS, AS akhirnya mengakhiri wajib miiter dan militer AS memasuki dekade tersulit untuk bangkit dari Vietnam.
Selanjutnya militer AS tersusun dari pasukan relawan dalam lingkungan yang suram.
Kondisi saat ini sedikit berbeda, tapi lingkungannya sama-sama suram.
Jika Biden memenangkan pemilu besok, ia akan menghadapi lingkungan dengan temperamen buruk yang menghilangkan moral pihak berwenang AS.
Selanjutnya ia juga masih harus menghadapi ketidakpercayaan institusi pemerintah lokal.
Ia masih harus menjaga sekutu AS yang tidak lagi percaya dengan AS, dan runtuhnya demokrasi di seluruh dunia.
Sedikit melegakan, ia sudah pernah melihat ini semua saat ia menjabat menjadi Wakil Presiden era Barack Obama.
Namun berita lebih buruk, kesalahan kebijakan luar negeri yang bisa ia lakukan akan timbulkan dampak mengerikan, yang merusak kekuatan AS sebagai negara adidaya.
Hal ini akan memancing musuh AS untuk menguji mereka, tapi bukan China.
Justru, Kim Jong-Un yang akan diuntungkan dalam kondisi ini dan ia akan kegirangan melihat kejatuhan AS di depan mata.
Sehingga, analis menyebutkan Kim Jong-Un justru akan menguji AS lebih awal dari yang lainnya, untuk melihat kebijakan yang akan diambil oleh AS.
Dalam debat Presiden AS, Joe Biden terlihat ia lahir dan tumbuh dengan paham yang sudah menjadi etika normal di AS: paham liberal, demokrasi dan sistem sekutu.
PBB dan organisasi internasional lain adalah hubungan internasional yang normal baginya.
Ia juga menjunjung nilai AS yang menolak kolonialisme, meski itu buat hubungan AS dengan Inggris dan Perancis menjadi sedikit masam.
Berkat AS yang membangun NATO, Eropa terselamatkan.
AS juga membangun kembali Jepang dan Jerman menjadi sekutu dan rekan demokrasi yang kuat.
AS selama ini menjadi negara adidaya dengan membantu sekutu mereka untuk menjadi sukses dan menuai hasilnya di lain hari.
Hal-hal inilah yang ia junjung dalam kampanyenya untuk menjadi Presiden AS.
Ia berargumen bahwa demokrasi adalah hal yang patut dijunjung kembali dan menjadi dasar persekutuan mereka dengan negara lain serta menjadi sumber ekonomi AS.
Karena ia jelas-jelas menjunjung demokrasi, maka ketika ia ditanyai terkait kebijakannya mengenai Korea Utara, ia menolak pendekatan diplomasi secara langsung seperti yang dilakukan Trump.
Ia menolak keterlibatan foto dan pengakuan dari mitranya.
Sehingga, mengikuti prinsip demokrasi yang diagung-agungkannya, tugas pertamanya dalam menghadapi Korea Utara adalah akan menjadikan hal tersebut sebagai urusan sekunder atau tersier.
Ia justru akan membangun kembali kepercayaan dengan sekutu AS dan melakukan pendekatan konvensional.
Tujuannya adalah mengamankan sekutu dan rekan-rekan AS, bukan mempertahankan hubungan dengan rezim kasar seperti Kim Jong-Un.
Baca Juga: Pengangguran di Indonesia Didominasi Orang yang Berpendidikan Tinggi, Menaker: Ini Ironi...
Sehingga, ia akan membangun landasan sekutu lagi, lalu berhubungan dengan Korea Utara saat kerja sama dengan sekutu mereka sudah dimungkinkan.
Pertanyaannya sekarang adalah jika memang ia akan terpilih menjadi presiden AS, bisakah ia hidup sesuai janji dan nilai-nilai yang ia junjung tinggi tersebut.
Lebih-lebih lagi, meski ia bisa memenangkan popularitas masyarakat AS, bisakah ia membuat senang sekutu AS yang sudah tidak percaya dengan AS? Dan seperti apa kemungkinan serangan pertama Kim Jong-Un terhadap politik AS yang kemungkinan akan berubah?
Jawabannya hanya akan kita ketahui setelah pemilihan presiden AS terlaksanakan dan AS memiliki presiden selanjutnya entah itu Trump lagi atau kembali ke Demokrat di bawah Joe Biden, meskipun jika akhirnya terpilih, kemungkinan bisa menciptakan kondisi damai sulit terlihat setelah sejarahnya di Perang Vietnam.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini