Advertorial

Kegarangan Bangkitnya Kekuatan China Disebut-sebut 'Mirip' Dengan Kekuatan Nazi di Jerman yang Ciptakan Perang Dunia II, Apakah Hal yang Sama Dapat Terulang?

May N
,
Intisari Online

Tim Redaksi

Kegarangan Bangkitnya Kekuatan China Disebut-sebut 'Mirip' Dengan Kekuatan Nazi di Jerman yang Ciptakan Perang Dunia II, Apakah Hal yang Sama Dapat Terulang?

Intisari-online.com -Terdapat kemiripan yang mendalam antara bangkitnya militer Jerman di tahun 1930 dengan militer China sejak 2010 lalu.

Dunia saat itu gagal menahan bangkitnya Nazi, yang mengarah langsung kepada Perang Dunia II.

China mungkin tidak mengarahkan kepada perang dunia ketiga, tapi perihal menahan kekuatannya juga tidak boleh dikesampingkan.

Pasalnya, di tahun 1938 lalu tidak ada yang tahu apa yang terjadi 7 tahun kemudian, saat ini pun tidak ada yang tahu apa yang bisa muncul dari China.

Baca Juga: Persiapan Pernikahan Hampir 100 Persen, Calon Pengantin ini Dibunuh Temannya Sendiri Lantaran Sering Diejek Ustad, Tersangka Tak Merasa Bersalah

Sudah merupakan kesepakatan bersama jika Nazi dan Adolf Hitler adalah kekuatan yang sangat jahat, dan apapun yang berhubungan dengan mereka pasti sangat buruk.

Sementara di AS, Donald Trump sering dibanding-bandingkan dengan Hilter sampai orang-orang tidak terkejut dengan perbandingan tersebut.

Namun, mungkin Xi Jinping akan membuat terkejut jika dibandingkan dengan Hitler sendiri, orang-orang mungkin akan bertanya mengapa Xi Jinping, pemimpin dari China, bisa dibandingkan dengan Adolf Hitler?

Perlu kita ulas kembali, China saat ini telah bangkit menjadi sangat kuat dan hampir mencuri ekonomi global.

Baca Juga: Lakukan Latihan Militer di Timur Tengah, Jet Tempur Elektronik Siluman F-35A Jadi Jet Tempur Pertama dengan Status Siaga: Ancaman Sewaktu-waktu Dapat Ditangkis Hanya dalam Waktu 5 Menit!

Gerakan China sangat agresif, mulai dari menekan etnis minoritas seperti Muslim Uighur dan menantang kedaulatan negara-negara lain di perairan internasional.

China juga senang menghambur-hamburkan uang untuk menyuap sekaligus menindas negara tetangga yang lebih lemah dalam usahanya untuk mempengaruhi wilayah yang dapat dikuasainya.

Xi Jinping, pemimpin yang sebenarnya biasa saja, ternyata berhasil menjadi diktator modern di abad 21, bahkan disebutkan ia sudah menyiapkan rencana ekonomi sampai tahun 2035 mendatang.

Padahal apakah ia masih memegang jabatan sampai tahun tersebut? Bisa saja tidak, tapi bisa saja ia akan berusaha menjadi presiden China seumur hidup.

Baca Juga: Waspada Air Mineral Galon Sekali Pakai, Kontradiksi degan Kebijakan Pemerintah

China menjadi negara komunis terbesar di era modern ini, tidak bisa diperdebatkan lagi.

Pemerintah dikelola Partai Komunis China yang memiliki komisaris berpengaruh di semua institusi besar, mulai dari korporasi sampai kelompok buruh.

Institusi agama independen dilarang, dan grup religius yang tidak disanksi terus-terusan ditindas dengan parah.

Pemerintah China memonitor semua, benar-benar semua, komunikasi elektronik rakyatnya.

Baca Juga: PM Narendra Modi Dinilai Terlalu Lembek pada China Soal Konflik Perbatasan, India Bisa Kehilangan Kendali Atas Hal Ini

Penyedia komunikasi selalu bekerja sama dengan lembaga sensor pemerintah.

Enkripsi terhitung ilegal di China.

Genosida adalah istilah yang berat, tapi istilah apapun yang bisa menggambarkan penindasan China terhadap masyarakat Budha Tibet dan Muslim Uighur, sangatlah mirip dengan penindasan Jerman terhadap kaum Yahudi tahun 1930.

Sampai saat ini tidak diketahui ada kamp kematian di China, atau kamp kematian di Jerman tahun 1928.

Baca Juga: Demokrat Kembali Ciptakan Sejarah, Joe Biden Pilih Wanita Kulit Hitam untuk Jadi Calon Wakil Presiden Mendampinginya dalam Pemilu AS Mendatang

Namun Jerman memiliki kamp konsentrasi untuk kerja paksa yang juga ada di China saat ini.

Serta, kemiripan lainnya adalah retorika mendesak dari solidaritas etnis China mengingatkan kepada etnonasionalisme Nazi Jerman.

Kesamaan urusan etnis ini bahkan masih bisa disebutkan lebih panjang lagi: Beijing terus-terusan mengklaim menjadi mulut semua warga keturunan China, entah di Taiwan, diaspora Asea Tenggara, dan negara-negara berbahasa Inggris.

Beijing berusaha mewakili warga keturunan China di Asia Tenggara tersebut analog dengan cara Jerman berusaha menjadi wakil minoritas berbahasa Jerman di Eropa Timur.

Baca Juga: Nekat Keluar dari RS Meski Terluka, Kapten A Rivai Turun ke Medan Perang 5 Hari 5 Malam, Dengan Gagah Berani Bombardir Pasukan Belanda

Jangan lupa, China juga mengklaim seporsi India, Bhutan, bahkan Jepang, persis apa yang dilakukan Jerman tahun 1930-an ketika terus-terusan menggempur negara lain dan ciptakan taktik perang agar mereka menyerah.

Militer China pun tidak boleh dikesampingkan, hampir semua pasukan China telah dimodernisasi terutama untuk Angkatan Darat, sekarang Tentara Pembebasan Rakyat fokus kepada Angkatan Udara dan Angkatan Laut mereka.

Angkatan Udara PLA bekerja tanpa henti untuk kembangkan jet tempur siluman J-20, serta Angkatan Laut PLA memiliki ambisi membangun dan meluncurkan sejumlah kapal induk untuk luncurkan jet tempur mereka.

Semua ini dilakukan oleh China, negara yang tidak menghadapi negara tetangga yang jahat dan memiliki tanggung jawab mempertahankan kedaulatan hanya di beberapa tempat saja.

Baca Juga: Gara-gara Pesawat Ini, Pesawat Komersial Bisa Ditembaki Militer China Jika Dekat-dekat Dengan Pangkalan Militer Mereka di Laut China Selatan, Ini Penyebabnya

Tanggung Jawab Dunia

Waktunya telah habis: China telah menjadi ancaman nyata kedamaian dunia.

10 tahun lalu masih ada harapan mereka akan melakukan reformasi.

5 tahun lalu masih mungkin untuk berargumen akan ada kekuatan lebih besar yang menengahi perilaku Beijing.

Baca Juga: Covid Hari Ini 12 Agustus 2020: Padahal Belum Terbukti Ampuh, 5,7 Miliar Calon Vaksin Corona Sudah Dipesan di Seluruh Dunia

Namun semenjak Xi Jinping mengubah konstitusi China tahun 2018 lalu untuk menghilangkan batas waktu kepemimpinan, lalu memusatkan kekuatan dan mulai membangun visi "Chinese Dream" dengan cara yang sangat pragmatis, ancaman itu kian nyata.

Dunia tidak bisa lagi berharap AS mencegah kekuatan China yang terus-terusan bangkit tanpa mengganggu perdagangan global dan aliran investasi, atau sebabkan kekacauan di agen PBB seperti WHO.

Justru, negara-negara yang bisa melawan China haruslah negara tetangganya, seperti awal Perang Dunia II sekutu Eropa Barat seperti Belgia, Denmark, Norwegia dan Belanda mendeklarasikan netralitas mereka dalam harapan menghindari agresi Nazi.

Sedangkan Swiss dan Swedia bekerja sama dengan Nazi untuk menyelamatkan diri mereka sendiri, padahal jika mereka berdiri bersama Inggris dan Perancis, Jerman tidak akan mampu masuki Eropa Barat.

Baca Juga: Pura-pura Temukan Bayi di Teras Rumahnya, Wanita ini Menghilang, Saat Ditemukan Kondisinya Lemas, Semua Rencananya Terbongkar

Negara-negara di Laut China Selatan seperti ASEAN dan Taiwan harus paham akan ini, tapi hal ini sulit karena sudah tidak ada lagi ruang netralitas di Laut China Selatan.

Jika ASEAN dan Taiwan mulai melawan China, AS mungkin akan membantu, tapi pastinya AS juga memiliki kepentingannya sendiri dan bisa jadi itu menimbulkan masalah baru.

Tidak hanya itu, tidak ada lagi netralitas dalam teknologi, China telah memiliterisasi internet untuk kepentingan mereka sendiri.

Banyak negara Eropa mengesampingkan peringatan AS mengenai teknologi China dalam infrastruktur digital mereka.

Baca Juga: Sudah Kerahkan Pesawat dan Kapal Perang di Laut China Selatan, China Justru Minta Pasukannya untuk Tidak Melakukan Tembakan Pertama Saat Berhadapan dengan AS, Mengapa?

Serta, saat Inggris menerima Huawei untuk pengembangan jaringan 5G mereka adalah pertanda jika belum ada yang sadar jika ancaman China adalah nyata.

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait