Advertorial

'Kelapa Sawit Membunuh Sagu', Syair Sedih Tetua Adat Suku Marind Anim di Merauke, Papua, yang Wakili Kesedihan Suku Mereka: Lahan Digerus, Makan Pun Tak Terurus

May N

Editor

'Kelapa Sawit Membunuh Sagu', Syair Sedih Tetua Adat Suku Marind Anim di Merauke, Papua, yang Wakili Kesedihan Suku Mereka: Lahan Digerus, Makan Pun Tak Terurus

Menghabiskan waktu bertahun-tahun bersama suku Marind Anim di Merauke, Papua, antropolog dari Australia, Sophie Chao, berhasil merekam dampak buruk perkebunan kelapa sawit bagi penduduk setempat.

Di tahun 2019 kemarin, Sophie mendapat penghargaan tesis doktoral terbaik dalam kajian Asia Australia dari Asian Studies Association of Australia.

"Saya meneliti dampak deforestasi dan perluasan kebun kelapa sawit di bawah program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) terhadap masyarakat setempat," ujar Dr Sophie dalam wawancara dengan wartawan ABC Farid M Ibrahim, Rabu (29/7/2020).

Suku Marind Anim mendiami wilayah yang sangat luas di Papua bagian selatan, yaitu mulai dari Selat Muli (Selat Marianne) hingga ke perbatasan Papua Nugini.

Baca Juga: Facebook Tambah Gaji Karyawan Rp 14 Juta, Meski Bekerja dari Rumah Sampai 2021

Wilayah tersebut meliputi daerah aliran Sungai Buraka, Bian, Eli, Kumbe, dan Maro yang secara administratif masuk dalam Distrik Okaba, Merauke, Kimam, dan Muting.

"Warga di sana masih memperoleh sumber makanannya dari hutan, seperti sagu, kasuari, babi hutan, dan juga ikan," ujar Dr Sophie yang sekarang sedang melakukan riset post-doctoral di Sydney University.

"Namun hutan semakin hilang serta air semakin tercemar polusi akibat aktivitas pabrik,"tambahnya.

Hilang hutan artinya hilang segalanya

Baca Juga: Janji Akan Dinikahi Pria Iran, Pengusaha Cantik Makassar Ini Rupanya Hanya Ditipu Lintah Darat, Sudah Habiskan Ratusan Juta!

Alumni Oxford University ini melakukan penelitian dari tahun 2015 hingga 2018 untuk program S3-nya di Macquarie University.

Namun sebelumnya, Dr Sophie sudah sering mengunjungi Merauke sebagai pekerja LSM bernama Forests People Programme dan banyak terlibat dengan LSM setempat.

"Yang menarik bagi saya karena masyarakat suku ini menganggap hutan, pohon dan binatang sebagai kerabat mereka sendiri.

"Jadi ada hubungan emosional secara kultural antara manusia, pohon dan binatang," katanya.

Baca Juga: Mozambik Bantah Jadi Negara Tujuan, Kapal MV Rhosus Malah Disebut Sengaja Ditahan di Beirut, Peringatan Mossad Ini Menguat

"Saya meneliti bagaimana pembangunan di wilayah itu telah mengubah hubungan antarmakhluk hidup ini," jelas Dr Sophie.

Melalui penelitian ini, Dr Sophie mengungkap perkebunan kepala sawit seringkali hanya dilihat dampaknya dari segi kerusakan lingkungan hidup, misalnya dari sisi hilangnya hutan tropis serta habibat orangutan.

"Jelas hal itu sangat penting, namun ada aspek lain dari sisi manusia yang kurang mendapatkan perhatian," katanya.

Ia mengatakan, bagi suku Marind di Papua, manusia dan lingkungan itu saling terkait dan tak bisa dipisahkan.

Baca Juga: Penggemar Johnny Depp dan Robert Pattinson Bisa Simak Kehebatan Aksi Mereka di Film Baru 'Waiting for the Barbarians', Ini Caranya Untuk Menonton Film Menarik Ini Saat Ini Juga

Karenanya, hutan bukan sekadar sumber daya yang bisa digunakan tapi merupakan suatu kehidupan tersendiri.

"Yang satunya tidak bisa bertahan atau hidup dengan baik tanpa adanya yang lain," ujar Dr Sophie.

"Hutan dipandang sebagai suatu dunia kehidupan, dunia nenek moyang, sehingga jika hutan hilang, itu bukan hanya kehilangan lingkungan hidup tapi sama dengan kehilangan segalanya bagi orang Marind," tambahnya.

Konflik akibat kelapa sawit

Baca Juga: Covid Hari Ini 7 Agustus 2020: Ledakan Lebanon Ciptakan Ancaman Ledakan Kasus Covid-19 Pascabencana, Ini Buktinya

Hal lain yang diungkap dalam tesis Dr Sophie adalah kehadiran perkebunan kelapa sawit yang menimbulkan konflik horizontal di kalangan penduduk Marind.

"Ada pro-kontra dalam masyarakat. Ada yang menerima kompensasi ada pula yang tidak," ujarnya.

Menurutnya ada kasus di mana suku Marind menandatangani kontrak dengan pihak perkebunan, tanpa memahami apa konsekuensi dari kontrak tersebut.

Pembukaan lahan untuk program MIFEE sudah berlangsung sejak sekitar satu dekade lalu dan sebagian perkebunan kepala sawit saat ini masih dalam tahap awal pengembangan.

Baca Juga: Tak Ada Wanita yang Mau Kencani Pria Ini Gara-Gara Pekerjaannya Penjaga Kamar Mayat, Pria Ini Lampiskan Nafsu Bejatnya Setubuhi Mayat, Sekali Coba Langsung Ketagihan 100 Mayat Sudah Jadi Korbannya

Dari penelitian Dr Sophie terungkap banyak warga suku Marind yang merasa proyek kebun sawit dijalankan tanpa persetujuan mereka.

Hal itu, tak ayal lagi, memicu konflik warga dengan perusahaan, maupun konflik sesama warga sendiri terkait hak atas tanah, kesempatan kerja, serta ganti rugi.

Program MIFEE sendiri, kata Dr Sophie, bukan hanya perlu memperhatikan kepentingan ketahanan pangan nasional tapi juga ketahanan pangan penduduk setempat.

"Dari segi kebijakan, perlu adanya titik temu antara kepentingan pangan nasional dengan kepentingan pangan warga setempat," jelas Dr Sophie yang pernah jadi konsultan badan pangan dunia FAO.

Baca Juga: Tak Peduli Usianya Sudah 95 Tahun, Mahathir Dirikan Partai Baru untuk Mewujudkan Kepentingan Malaysia, 'Tujuan Kami Tetap Memberantas Kleptokrasi dan Korupsi'

Ia menjelaskan, hilangnya makanan hutan telah menimbulkan persoalan serius bagi ketahanan pangan penduduk Marind.

"Makanan hutan seringkali memiliki keseimbangan nutrisi yang baik.

"Ada sagu sebagai sumber karbohidrat, ada daging babi dan daging kasuari untuk protein, serta segala macam sayur dan buah sebagai sumber vitamin dan mineral," ujar Sophie yang juga salah satu pengurus Australian Anthropological Society.

Saat ini, makanan hutan telah berganti beras, mie instan, dan biskuit, sehingga timbul masalah malnutrisi yang menyebabkan tingginya tingkat stunting, infertilitas, kekurangan yodium dan kalsium.

Baca Juga: Belum Kering Luka Akibat Ledakan di Beirut, Lebanon Dihantam Masalah Baru, Krisis Ekonomi dan Gejolak Politik Hebat Terjadi Sehari Setelah Ledakan, Tapi Tak Sedikitpun Disorot Dunia

"Meskipun mereka diberi segala macam makanan pengganti tersebut, namun bagi mereka itu tidak bikin kenyang dan tidak punya makna dalam kosmologi mereka," jelas Dr Sophie.

" Kelapa sawit membunuh sagu"

Kelapa sawit membunuh sagu

Kelapa sawit merenggut nyawa kerabat kita

Kelapa sawit mengeringkan sungai-sungai

Kelapa sawit menumpahkan darah tanah kita

Lirik lagu ini disenandungkan oleh Gerardus Gebze, seorang tetua adat Merauke saat pergi mencari sagu di hutan milik sukunya yang kini menjadi target perusahaan kebun kelapa sawit.

Dr Sophie merekam jeritan kesedihan dalam lagu tersebut, yang menurutnya, mewakili suara hati warga suku Marind.

Baca Juga: Donald Trump Makin Kemaruk, Selain Ingin Rampas TikTok Bak Preman Kampungan, WeChat Juga Hendak Digondolnya Untuk Jadi Milik AS

"Lagu ini menggambarkan musnahnya pohon-pohon sagu akibat ekspansi deforestasi dan agribisnis," ujarnya.

"Ini menyuarakan hilangnya kerabat, rusaknya sungai-sungai serta hancurnya lanskap yang ada. Ini menyuarakan kelaparan, rasa pilu, dan kehilangan di antara semua mahluk hidup," katanya.

Lagu ini, kata Dr Sophe lagi, menyampaikan penghancuran kehidupan yang dipicu oleh serbuan kelapa sawit, tanaman monokultur yang dampaknya paling merusak.

"Orang Marind menegaskan sawit ini telah membunuh sagu mereka," katanya.

Memakai terminologi kolonisasi botanis, Dr Sophie menggambarkan bagaimana tanaman sawit mengambilalih lahan dan kaitannya dengan posisi warga Papua dalam konteks negara Indonesia.

"Banyak orang Marind sekarang menyebut kelapa sawit sama dengan penjajah," jelas Dr Sophie.(*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sorot Lahan Sawit Renggut Pangan Suku Papua, Disertasi Ini Jadi yang Terbaik di Australia"

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait