Advertorial
Intisari-Online.com -Mantan penasihat keamanan nasional Presiden AS Donald Trump, John Bolton, mengatakan pada hari Rabu bahwa Trump meminta bantuan Presiden Tiongkok Xi Jinping untuk memenangkan pemilihan kembali dalam pertemuan tertutup Juni 2019.
Melansir Reuters, Bolton, yang dipecat Trump pada September setelah 17 bulan di pekerjaan Gedung Putih, juga mengatakan bahwa presiden AS telah menyatakan keinginan untuk menghentikan penyelidikan kriminal untuk memberikan bantuan pribadi kepada diktator yang disukainya. Hal itu dikutip dari laporan New York Times.
Selain itu, John Bolton juga mengklaim Presiden AS Donald Trump tidak tahu jika Inggris adalah negara nuklir, dan mengira Finlandia bagian dari Rusia.
Klaim itu tertuang dalam buku yang ditulis oleh mantan penasihat keamanan nasionalnya, John Bolton, berisi pengalamannya selama di Gedung Putih.
Pemerintahan Trump disebut berusaha berusaha menggagalkan publikasi buku Bolton. Namun, salinannya dilaporkan sudah diterima media AS.
Buku dari John Bolton itu memaparkan serangkaian tudingan. Termasuk klaim sang presiden berusaha mengintervensi kasus kriminal.
Dilansir Daily Mirror Rabu (17/6/2020), upaya intervensi tersebut supaya dia mendapatkan "kekuasaan layaknya diktator yang disukainya".
Pada Januari, Trump menjalani sidang pemakzulan atas tuduhan dia membekukan bantuan militer ke Ukraina, agar calon rivalnya, Joe Biden diinvestigasi.
Kutipan dari buku berjudul The Room Where It Happened: A White House Memoir dipublikasikan media ternama AS seperti The Washington Post, New York Times, dan Wall Street Journal.
Buku tersebut mengungkapkan berbagai fakta pengabaian presiden 74 tahun itu. Seperti kenyataan bahwa Inggris merupakan senjata nuklir.
Dalam bukunya, Bolton menuliskan bagaimana Trump bertemu dengan Perdana Menteri Inggris saat itu, Theresa May, pada 2018.
Saat itu, May menyebut kepemilikan senjata pemusnah massal mereka. "Oh, jadi kalian punya senjata nuklir?" tanya Trump.
Saat itu, pertanyaan sang presiden "jelas bukan lelucon". Bahkan, stafnya sempat mengolok-olok ketika tidak ada bosnya.
Kemudian satu momen lain adalah ketika Menteri Luar Negeri Mike Pompeo memberikan catatan kepada mantan Duta Besar AS untuk PBB itu.
"Dia (Trump) penuh dengan omong kosong," ujar Pompeo ketika presiden dari Partai Republik itu bertemu Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un.
Bolton menulis, Pompeo kemudian mengatakan kepadanya bahwa gaya diplomasi presiden ke-45 AS tersebut "jauh dari kesuksesan".
Sang mantan penasihat juga mencatat, dalam potret layu lainnya, kalangan intelijen menyebut rapat dengan presiden adalah hal paling membuang waktu.
"Sebabnya, mereka lebih banyak mengahbiskan waktu untuk mendengarkan Trump, bukan dia yang mendengarkan mereka," tulis Bolton di bukunya.
Dia menuliskan selama menjabat, sang presiden membuat pernyataan yang sering salah atau keliru. Nampak didorong nalurinya yang acap berbahaya.
"Pemikirannya bercabang (seperti transaski real estate), meninggalkan kita semua untuk membuat kebijakan yang menjadi pro dan kontra," ujar dia.
Bolton juga mengecam Demokrat yang mencoba memakzulkan Trump. Menyebut mereka "melakukan malpraktik" karena membatasi penyelidikan hanya di Ukraina.
Dia menulis seharusnya oposisi mengeksplorasi presiden juga mengintervensi investigasi guna menjalin relasi dengan diktator lain.
Intervensi yang dilakukan suami Melania tersebut mencakup perusahaan asal China ZTE, dan Halkbank yang berbasis di Turki.
Bolton, yang dipecat pada September 2019, menyatakan Trump siap mengganggu penyelidikan untuk "memberi keuntungan bagi diktator yang dia suka".
Pemerintah AS disebut berusaha menghalangi publikasi buku Bolton, karena mereka menganggap ada informasi rahasia dan mengancam keamanan nasional.
Ardi Priyatno Utomo
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Menlu AS Sebut Trump "Penuh dengan Omong Kosong""