Advertorial
Intisari-Online.com—Tidak sepertiintellectual quotient(IQ), sebenarnyaemotional quotient(EQ) lebih mudah untuk ditempa.
Sebab EQ berbicara soal pilihan hidup dan disiplin.
EQ juga tidak diukur dengan standar angka, namun akan terlihat dari cara hidup setiap hari.
Bagaimana caranya agar kita mengetahui apakah EQ kita lemah atau kuat?
Baca Juga: Peduli Tubuhmu; Ini 10 Tanda Tubuh Anda Perlu Mendetoksifikasi, Salah Satunya Bau Badan Tidak Sedap
Berikut ciri-ciri dan tanda orang dengan EQ lemah seperti yang dilansir diHuffingtonpost.com:
1. Gampang stres
Saat ada situasi yang tidak beres, orang dengan EQ lemah biasanya mudah merasa tidak nyaman, cemas, dan frustasi.
Ia membiarkan dirinya dikuasai berbagai emosi yang tidak perlu. Sehingga pikiran dan perasaannya kacau.
Baca Juga: Jika Australia Tetap Nekat Lakukan Hal Ini, China Ancam Bakal Memboikotnya
Sebaliknya, orang yang memiliki EQ yang kuat cenderung mampu mengendalikan stres dan mengelolamood.Sehingga ia jauh dari stres.
2. Tidak tegas pada diri sendiri
Orang yang memiliki EQ yang baik mampu menyeimbangkan sikap, perilaku, dan pikirannya. Ia memiliki batasan-batasan tertentu pada dirinya.
Sehingga hal-hal yang membuat kualitas hidupnya memburuk akan dibuangnya. Istilahnya ia tegas terhadap dirinya sendiri.
Sedangkan orang yang lemah EQ biasanya menjalani hidup semaunya, tanpa prinsip dan batasan.
3. Tidak mengenal emosinya sendiri
Semua manusia pasti memiliki emosi, namun tidak semua orang mengenal emosi yang dialaminya.
Penelitian membuktikan hanya 36% orang bisa mengenal dan mengendalikan emosinya.
Sebaliknya orang yang lemah EQ biasanya tidak mampu mengenal emosinya sendiri.
Sehingga ia gampang jatuh dalam kesalahpahaman, konflik, dan emosi-emosi beracun lainnya. Ia cenderung merasa buruk, sensitif, frustasi, dan cemas.
4. Mudah berasumsi dan sangat mempercayai asumsinya sendiri
Orang yang lemah EQ biasanya cepat untuk berasumsi dan beropini. Tanpa mencari bukti, ia selalu mempercayai asumsinya.
Bahkan ketika sudah ditemukan fakta dan kebenarannya pun, kalau itu bertentangan dengan asumsinya, ia akan menolaknya.
5. Menyimpan dendam
Emosi negatif seperti menyimpan dendam dan keinginan untuk membalas dendam biasanya timbul pada orang yang lemah EQ.
Hal ini merupakan salah satu respons karena tidak mampu mengendalikan stres.
6. Sering jatuh dalam kesalahan yang sama
Orang dengan EQ lemah sulit melupakan kesalahan orang lain maupun kesalahan diri sendiri.
Ia sering jatuh pada kesalahan yang sama tanpa upaya untuk memperbaiki kesalahan itu.
Padahal membiarkan diri terus berada dalam kesalahan yang sama bisa menghancurkan kualitas hidup.
7. Sering salah paham pada orang lain
Salah satu tanda EQ lemah adalah sulit untuk memahami intensi orang lain. Ia sering salah paham akan perkataan maupun perilaku orang lain.
Rasanya sulit baginya untuk berpikir dengan pikiran dan perasaan yang lebih terbuka untuk memahami maksud dan tujuan orang lain kepadanya.
8. Tidak mengenali dirinya sendiri
Semua orang, untuk mengendalikan diri perlu mengenali emosi dan sifatnya. Misalnya hal-hal apa yang membuatnya marah, senang, sedih, dan emosi lainnya.
Nah, orang yang lemah EQ biasanya tidak bisa memahami itu. Itulah sebabnya ia bersikap seperti orang yang tidak memiliki pendirian.
Baca Juga: Mau Memanaskan Makanan untuk Sahur di Oven? Ini 5 Jenis Makanan yang Cocok Anda Gunakan!
9. Tanpa ekspresi, malah tidak bisa marah
EQ yang baik tidak hanya soal sikap yang manis dan baik, namun juga kemampuan untuk mengekspresikan diri. Jika sedih, menangis.
Kalau senang, ya tertawa. Orang yang lemah EQ tidak mengetahui hal ini. Bahkan ada orang yang tidak bisa menunjukkan kemarahan pada dirinya.
Padahal menyimpan amarah itu tidak sehat.
10. Menyalahkan orang lain akan apa yang dirasakannya
Emosi manusia itu timbul dari dalam diri, bukan dari luar. Namun orang yang lemah EQ tidak memahami konsep ini.
Untuk hal-hal yang dirasakannya, ia malah menyalahkan orang lain. Ia merasa bahwa orang lain harus bertanggung jawab akan apa yang dirasakannya sendiri.
11. Gampang tersinggung
Orang yang lemah EQ gampang tersinggung karena ia sendiri kurang percaya diri dan pikirannya tertutup.
Bahkan kadang, orang bercanda saja dianggap serius. Akhirnya ia tersinggung hingga menyimpan dendam. (Tika Anggreni Purba)
Mana yang Lebih Penting, EQ atau IQ?
Banyak orangtua beranggapan bahwa faktor utama kecerdasan seorang anak tergantung pada IQ (Intelligence Quotient).
Bahwa mereka yang sukses adalah mereka yang juara matematika di kelas, atau mereka yang juara olimpiade fisika berkali-kali.
Bukan, anak yang sukses adalah anak yang kadar EQ (Emotional Quotient) bagus. Beberapa psikolog sepakat,EQ lebih penting daripada IQ. Bagaimana dengan Anda?
Tidak seperti teman-temannya yang lain, di usianya yang ke-8, Ishaan Nandkishore belum bisa membaca, menulis, juga menghitung. Ishaan sempat tinggal kelas dan terancam mengulang tahun keduanya di sekolah dasar.
Karena persoalan ini, orang-orang sekitar menganggap dia anak bandel, malas belajar, suka bolos dari kelas, dan mengejeknya sebagai anak yang bodoh. Termasuk ayahnya.
Tidak tahan, Ishaan lantas dipindahkan ke sekolah berasrama. Si ayah berharap, dengan pola pendidikan yang ketat nan disiplin ala pendidikan asrama, Ishaan bisa lebih giat belajar.
Ia kepengin Ishaan seperti kakaknya yang selalu mendapat ranking satu di kelasnya dan kerap menjuarai kompetisi tenis yunior sekolah.
Tapi asa ayah Ishaan nyaris sia-sia, karena sekolah baru justru membuat Ishaan semakin stres alih-alih giat belajar.
Pada sebuah pelajaran kesenian, Ishaan bertemu dengan seorang guru pengganti bernama Ram Shankar.
Dan Pak Ram—begitu pak guru itu dipanggil—inilah yang tahu bahwa Ishaan tidak membaca dan menulis bukan karena malas belajar.
Sejak kecil Ishaan mengidap disleksia sehingga tidak bisa mengenali huruf-huruf, tidak bisa mengeja jarak, bahkan tidak bisa melempar bola tepat sasaran.
Ada satu hal yang tidak disadari orang-orang terdekat Ishaan: ia jago menggambar dan melukis.
Pak Ram tahu, bakat istimewa tersebut tidak akan muncul jika tidak ada dukungan dari sekitar.
Oleh sebab itu, Pak Ram membuat inisiatif menyelenggarakan lomba melukis yang melibatkan seluruh guru dan murid di sekolah tersebut. Ishaan bahagia dan bersemangat melukis dan belajar.
Potongan cerita dari filmTare Zameen Par(2007) di atas tidak hanya menyoal kepedulian terhadap penyandang disleksia, lebih dari itu, film tersebut juga menyadarkan orangtua bahwa anak tidak hanya memiliki satu kecerdasan, matematika misalnya, tapi lebih dari satu.
“Tiap orang, minimal memiliki lima kecerdasan dari delapan yang ada pada manusia,” jelas Hana Yasmira, MSI, psikolog anak dari Bunda’s Consulting.
Tapi jangan hanya perpatokan IQ, karena beberapa psikolog sepakat, EQ lebih penting daripada IQ.