Advertorial
Intisari-Online.com - Perang biasanya dilakukan ketika ada dua kelompok yang bersebrangan atau berbeda kepentingan.
Perang juga terjadi ketika suatu kelompok ingin merebut sementara kelompok yang lain merasa harus mempertahankan kekuasaan.
Perang, selalu merugikan. Tak hanya materi yang hilang, banyak nyawa juga melayang, serta bencana kelaparan.
Kasus kelaparan itu tertangkap sempurna dalam foto ini:
Seorang pria Sudan yang sehat dan cukup gizi mencuri jagung dari seorang anak yang kelaparan selama distribusi makanan di pusat makanan Medecines Sans Frontieres di Ajiep, Sudan selatan 1998.
Tom Stoddart mengabadikan momen ini dengan kamera pada tahun 1998.
Foto itu diambil di Sudan, khususnya di Aijep, Bahr el Ghazal.
Di kota, diambil di Medecins San Frontieres, yang merupakan pusat makan di Aijep.
Foto itu diambil untuk berita umum.
Masalah utama yang menjadi perhatian dalam foto ini adalah kelaparan di Sudan.
Pada awal 1998, sekitar 250.000 orang tewas selama kelaparan di Sudan barat daya.
Perang Saudara Sudan
Pada tanggal 9 Juli 2011, lahirlah negara Sudan Selatan yang menjadi negara paling baru di jagat ini.
Sudan Selatan lahir sebagai hasil dari referendum yang dilaksanakan 9 Januari 2011.
Referendum dilaksanakan berdasarkan kesepakatan damai yang ditandatangani pada 2005 oleh pemerintah pimpinan Omar al-Bashir dan pemimpin pemberontak dari Sudan selatan, John Garang.
Mereka bersepakat mengakhiri perang saudara yang sudah berlangsung 22 tahun dan menewaskan tak kurang dari 2,5 juta jiwa, terutama penduduk selatan.
Dalam perjanjian itu—Persetujuan Damai Komprehensif yang ditandatangani di Juba—disepakati diadakan referendum pada tahun 2011 bagi rakyat Sudan selatan untuk menentukan sikap: memisahkan diri atau tetap bergabung dengan Sudan.
Perang 22 tahun pecah karena sejumlah sebab.
Orang-orang selatan merasa bahwa mereka dilupakan oleh pemerintah pusat Khartoum.
Selatan menganggap kesempatan kerja, kekayaan dari minyak, pembangunan infrastruktur, dan layanan publik semua dipusatkan di utara, yang dikenal sebagai ”segitiga Arab”, sepanjang bagian utara Sungai Nil.
Orang-orang selatan juga merasa bahwa pemerintah pusat memaksakan budaya dan agama pada mereka.
Sejak semula, secara historis Sudan terbelah menjadi dua: utara didominasi orang-orang Arab dan Muslim, sedangkan selatan non-Arab, animis, dan Kristen.
Persoalan ini pula yang mengobarkan perang saudara pertama (1955-1972), setahun sebelum merdeka (Sudan merdeka 1 Januari 1956).
Ketika pecah perang saudara kedua (1983-2005), penyebabnya tetap sama, pertarungan politik-ekonomi dilatari oleh masalah agama dan etnis.
Perang Saudara Sudan Kedua (kadang-kadang disebut Anyanya II) dimulai tahun 1983, meskipun perang ini secara besar merupakan lanjutan dari Perang Saudara Sudan Pertama tahun 1955 sampai 1972.
Perang ini terjadi di Sudan Selatan dan merupakan salah satu perang terpanjang dan mematikan pada abad ke-20.
Secara kasar, 1.9 juta penduduk tewas di Sudan selatan, dan lebih dari 4 juta penduduk terpaksa mengungsi.
Jumlah kematian dalam perang ini merupakan salah satu yang terbesar setelah Perang Dunia II.
Karena itu, ketika pada akhirnya tercapai kesepakatan damai, dunia pun menyambutnya dengan perasaan lega.
Bahkan, ketika pada akhirnya tanggal 9 Juli 2011, Sudan Selatan dinyatakan sebagai negara berdaulat dan merdeka, terpisah dari Sudan utara, dunia seperti berpesta.
Tak kurang dari 30 kepala negara ikut merayakan kelahiran negara baru itu.
Hadir juga Sekjen PBB Ban Ki- moon.
Dunia bernapas lega. Perang saudara di Sudan yang kalau dihitung sudah berlangsung 55 tahun, yang sudah merobek-robek nilai-nilai kemanusiaan, berakhir sudah.
Meski begitu dampak yang dirasakan dari perang itu begitu nyata, seperti halnya kelaparan yang fotonya dibaikan seperti dalam foto di atas. (*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari