Advertorial
Intisari-Online.com – Kami jarang pergi atau menerima tamu, tetapi hidup saya terisi penuh. Waktu saya bagi antara suamiku yang baik, rumah tangga dan anak-anak. Anak-anak sendiri maupun anak didik. Yang terakhir ini yang menyita bagian terbesar waktu saya.
Kalau ayah mereka pergi bekerja, anak-anak juga bekerja dengan saya sampai pukul 12. Setengah satu ayah mereka menemukan gerombolannya sudah dicuci bersih, tetapi lapar.
Pukul setengah dua anak-anak harus naik ke ranjang dan kalau ayah mereka juga tidur sedangkan saya tidak lelah, saya akan bekerja dengan gadis-gadis remaja.
Pukul empat hidangan teh sudah siap. Kalau anak-anak sudah minum susu dan mandi, mereka boleh menggiring unggas ke kandang, ikut berjalan-jalan dengan kami atau main di kebun.
Kami duduk-duduk dalam suasana remang-remang sambil bercengkerama. Kalau anak-anak masuk, tidak ada kesempatan Iagi untuk menikmati senja. Ayah membaca koran dan anak-anak mengelilingi ibu.
Saya duduk di kursi malas. kedua anak terkecil duduk di sandaran kursi kiri dan kanan, di atas lutut kedua anak-anak yang paling besar. Kami memainkan sesuatu permainan atau mendongeng, si bungsu duduk di sebelah ibu.
Dia menganggap sebagai tugasnya untuk mengangkat tutup getas ibu dan menutupnya Iagi. Tidak ada orang lain yang boleh melakukannya.
Kalau ia dilarang berbuat demikian, ia tahu bahwa dia nakal dan sedang dihukum.
Pukul delapan anak-anak harus tidur dan kami orang tua bercakap-cakap sebentar tentang tetek bengek sampai kami juga mengantuk. Ini tidak selarut malam di Jepara. Kami sudah bangun pagi-pagi.
Baca juga: 4 Tokoh Wanita Hebat yang Telah Mengukir Sejarah, Salah Satunya R. A. Kartini
Itulah salah satu surat terakhir Kartini kepada Ny. Abendanon Mandri tanggal 8 Juni 1904.
Kalau kita masuk ke kabupaten Rembang rasanya tidak banyak yang berubah selama itu. Kamar depan sebelah kanan sekarang dibuat museum.
Di tempat itu dulu Kartini tidur dan kemudian meninggal.
Kamar mandinya letaknya tidak jauh dari situ. Badkuipnya masih kuno dari bahan seperti email di kamar mandi sempit. Sederet kamar mandi untuk anggota keluarga lain masih seperti semula.
Serambi belakang juga masih terbuka sedangkan di kiri kanan pendopo masih ada dua penyekat ruangan yang dibawa oleh Kartini dari Jepara. Pahatannya halus.
Sebelah berlubang (untuk wanita) dan sebelah lagi tertutup (untuk pria). Lubang-lubang itu konon fungsinya untuk gadis-gadis mengintip.
Ruangan tempat Kartini dulu memberi pelajaran kepada anak-anak masih ada tetapi sudah diubah sedikit.
Di dalam museum sendiri selain bisa melihat foto keluarga tadi, juga ada lukisan tiga angsa buatan Kartini sendiri dan dua lukisan hasil karya putranya Soesalit serta sebuah hasil pahatan sang anak.
Beberapa piring yang pernah digunakan oleh keluarga Djojo Hadiningrat juga ada, selain kotak jahit Kartini yang terbuat dari ukiran Jepara.
Tidak banyak yang bisa kita lihat di dalam ruangan itu, tetapi seluruh suasana kabupaten sudah merupakan suatu museum tersendiri yang memberi kesan bagaimana suasana abad yang lalu.
Baca juga: Riana dan Riani, Kartini Kembar yang Selalu Menghiasi Terbang Paralayang Indonesia
Lain halnya dengan museum Kartini di Jepara yang ditaruh dalam gedung-gedung baru. Entah bagaimana suasana di Kabupaten Jepara di mana Kartini dipingit.
Dalam suratnya tanggal 6 November 1899 kepada Stella ia menceritakan pengalamannya mengenai suasana dt tempat pingitannya.
"Kau bertanya bagaimana saya sampai masuk empat dinding tebal. Bukan Stella. Penjara saya sebuah rumah besar dengan halaman luas di sekitarnya yang dikelilingi tembok tinggi yang menahan saya.
Betapapun besarnya rumah dan halaman, kalau harus tetap di sana, lama-lama rasanya pengap. Saya masih teringat bagaimana pada suatu hari saya membanting-banting diri pada pintu yang selalu tertutup dan dinding batu yang dingin.
Kemanapun saya pergi, setiap perjalanan saya selalu berakhir pada dinding batu atau pintu tertutup".
Mungkin saat itu halaman kabupaten masih dikelilingi dinding tinggi, tetapi sekarang tidak demikian lagi. Letak kabupaten di pinggir alun-alun, luas dan sunyi.
Mungkin keadaan sekitarnya tidak banyak berbeda sejak di situ tinggal Bupati R.M.A.A. Sosroningrat yang mempunyai putra-putri yang pikirannya mendahului jamannya.
Entah suasana di dalam kabupaten, karena kami hanya sampai di depan pendopo.
(Disarikan dari Majalah Intisari edisi April 1979)
Baca juga: Kartini Terlalu Cerdas untuk Jadi Beo