Advertorial

R.A Kartini: Benci Peraturan Perkawinan yang Hanya Menguntungkan Pihak Suami

K. Tatik Wardayati
Ade Sulaeman

Tim Redaksi

Kisah kehidupan RA Kartini yang diceritakannya dalam surat-suratnya kepada sahabatnya. Ia mengatakan bahwa membenci peraturan perkawinan.
Kisah kehidupan RA Kartini yang diceritakannya dalam surat-suratnya kepada sahabatnya. Ia mengatakan bahwa membenci peraturan perkawinan.

Intisari-Online.com – “…… Biarpun aku tak beruntung sampai keujung jalan itu, meskipun patah ditengah jalan, aku akan mati dengan merasa bahagia, karena jalannja sudah terbuka dan aku turut membuka jalan yang menuju kearah wanita Indonesia merdeka …”

Bel istirahat sekolah dasar Eropa Jepara berbunyi. Sekelompok murid-murid gadis remaja bercengkerama di bawah pohon waru rindang. “Ayo, ceritera Letsy", bujuk anak yang berkulit sawo matang.

“Lain kali, Ni. Aku masih harus menhafalkan pelajaran Perancisku", jawab seorang gadis Belanda tinggi tegap. “Belajar dirumah saja, Lets. Itu toh bukan pekerjaan sekolah".

“Tetapi bila aku dua tahun lagi tidak lulus, aku tidak boleh pulang kenegeri Belanda. Aku ingin menjadi guru. Kelak, jika sudah lulus, mungkin aku akan ditempatkan disini juga. Kemudian aku akan duduk dimuka kelas, tidak lagi dibelakang seperti sekarang. Ni, kamu sendiri kelak mau jadi apa ?”

Baca juga: Bukan untuk Gaya-gayaan, Ini Alasan Kartini Ingin Punya Mesin Fotografi Sendiri dalam Suratnya pada Nyonya Abendanon

Bagi Kartini atau “Trinil" pertanyaan ini sebagai halilintar di siang hari bolong. Ayah dan kakak-kakaknya memanggilnya “Trinil" karena kelincahannya yang mirip burung yang kecil mungil itu.

La diam sejenak. “Ya, apa? Aku sebenarnya belum pernah memikirkan hal itu,” akirnya ia menjawab.

Kartini tak dapat memusatkan perhatiannya pada pelajaran selanjutnya. Pertanyaan itu meninggalkan kesan yang terlalu dalam untuk melupakannya begitu saja.

Setiba dirumah, ia segera bertanya kepada ayahnya yang sangat disayangi, “Aku kelak jadi apa, pak". Salah seorang kakak laki-lakinya yang kebetulan mendengar pertanyaan itu mengejek, “Sudahlah jangan memikirkan yang bukan-bukan. Semua anak perempuan akan menjadi ..Raden ayu".

Baca juga: Inilah Nurani, Mantan Juru Kunci Makam Kartini yang Mengaku Reinkarnasi Putra Raja Brawijaya IV

“Oh", pikir Kartini. “Jadi setiap wanita harus menikah. Tak perduli dengan siapa, senang atau tidak. Mereka akan dikuasai suaminya, karena tak ada jalan lain. Betapa tidak. Mereka tak berdaya, karena tak dapat mencari nafkah sendiri. Mereka dapat ditalakkan atau diceraikan bila sang suami menganggap perlu. Kalau ia tak mau melepaskan isterinya, pihak wanita juga tak dapat berkutik seumur hidup. Jika hanya mengambil isteri muda, ia masih harus berterima kasih. Itulah nasib seorang wanita.”

Kartini benci kawin paksa semacam ini. Peraturan perkawinan menurut adat terlalu menguntungkan pihak suami. Keadaan masyarakat zaman itu juga menunjukkan fakta-fakta yang mengerikan.

“Aku tak dapnt membiarkan itu berlangsung terus. Kami berusaha meninggikan taraf pendidikan kaum wanita, agar dapat berdiri sendiri, bila perlu. Agar mereka tak dapat dipaksa menerima sembarang tawaran tanpa persetujuannya sendiri".

Hati Kartini berontak melihat perlakuan semena-mena terhadap kaum wanita. Hanya pendidikan dapat memperbaiki kedudukan mereka.

Baca juga: 4 Tokoh Wanita Hebat yang Telah Mengukir Sejarah, Salah Satunya R. A. Kartini

Raden Ajeng Kartini (ia lebih suka “Panggil aku Kartini saja") bertekad mendobrak benteng kekolotan itu.

Ia dilahirkan pada tanggal 21 April1879 sebagai anak kelima Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Sosroningrat. Cucu Pangeran Ario Condronegoro, Bupati Demak yang terkenal karena pikirannya yang sangat progressip.

Tanpa memperdulikan kritik-kritik orang, ia mengambil seorang guru pribadi dari Eropa untuk mengadjar anaknya. “Pengetahuan sangat penting bagi hari depan mereka", katanya. Suatu pendapat yang “tak pada tempatnya" waktu itu.

Cucunya mewarisi jiwa progressip itu. Kartini selalu terus terang. Maka dari itu kadang-kadang dianggap sok pinter. Akibatnya sering bentrok dengan orang-orang sekitarnya. Itu sangat mencemaskannya.

Baca juga: Museum Kartini: Gambaran Kesederhanaan, Keuletan dan Kegenitan Sang Pejuang Wanita Indonesia

Ibunya tak dapat menjetujui ide-ide baru putrinya. Mula-mula Kartini menganggap ibunya memang tak mau memahaminya. Hubungan mereka agak retak. Sikap ini kemudian berubah, waktu ibunya melahirkan adik lagi.

“Pada waktu itu aku baru insaf betapa besar cinta kasih seorang ibu. Tak perduli siang hari atau malam buta, ibu selalu siap menolong adik. Tanpa mengenal lelah, tanpa menggerutu. Lebih-lebih waktu adik terus sakit-sakitan selama 3 tahun. Lalu aku insaf, harapan ibu selalu baik. Hanya kadang-kadang tak sejalan dengan keinginan anaknya.”

Sementara itu Kartini mencapai umur 12 tahun. Tiba masanya untuk masuk “ kotak". Tinggal menunggu suami yang akan membebaskannya dari “penjara" itu.

Tak boleh keluar halaman kabupaten, duduk dipendopopun tidak pantas. Kurungannya memang besar dan mewah, tetapi kurungan tetap kurungan. Lebih-lebih untuk Kartini yang cinta kebebasan.

Baca juga: Apalah Arti Kartini Tanpa Peran Pasangan Suami-Istri Abendanon, Siapakah Mereka?

Ia harus meninggalkan sekolah. Itulah yang paling disesalkan. Ia mencoba membujuk ayahnya untuk memperbolehkannya meneruskan pelajaran di sekolah H.B.S. Semarang bersama kakaknya laki-laki.

Ayahnya memahami keinginan Kartini, tetapi tetap menolak. Belum tiba saatnya bagi seorang gadis untuk belajar kesekolah menengah. Kartini mengerti pendirian ayahnya.

Disamping Kartini masih ada seorang kakak perempuan lagi yang juga dipingit. Sayang mereka tak sepaham. Tabiat mereka berbeda seperti bumi dan langit.

Kakaknja pendiam, suka menyendiri, tenang. Kartini gembira dan suka bercanda. la tak mau mendengarkan ide baiknya.

“Masa bodoh, aku orang Jawa,” katanya. Yang lebih menyedihkan Kartini ialah waktu adik-adiknya Rukmini dan Kardinah menyusul dalam pingitan dan mereka dilarang oleh kakaknya itu terlalu bergaul dengan Kartini.

Takut terjangkit pendapat-pendapatnya yang “menyesatkan". Baru setelah kakak itu menikah hubungan mereka menjadi erat.

Bila ada waktu, Kartini selalu membaca buku atau majalah. Jika ada yang penting, atau kurang jelas, dicatat. la juga rajin menulis surat.

Kecuali buku-buku dan surat-suratnya pada masa itu, Kartini masih mempunyai dua sahabat karib, ayah dan kakaknya laki-laki nomor tiga Sosrokartono. Mereka selalu mendengarkan cita-citanya dengan penuh perhatian.

Tak pernah menertawakan, betapa janggal juga kedengaran angan-angan si Trinil.

Baca juga: Bukan Guru Apalagi Dokter, Inilah Jawaban Kartini Kecil ketika Ditanya tentang Cita-cita

Menurut kebiasaan kuno Jawa Tengah, saudara muda harus menghormati saudara yang lebih tua. Adik melewati kakaknya sambil merangkak. Jika adik duduk dikursi, sedang kakaknya lewat, ia harus segera turun ke lantai.

Menundukkan kepala sampai kakaknya tak terlihat lagi menyapa kakak harus dalam bahasa tinggi dan setiap kalimat diakhiri dengan sembah.

Kartini tak sudi diperlakukan semacam itu oleh adik-adiknya. Putusan ini melukiskan tabiat Kartini yang tak suka terikat. Kakaknya yang lebih tua ia perlakukan sebagai mestinya.

“Mula-mula mereka menganggap kelakuan kami kurang ajar. Aku dinamakan kuda koree (liar), karena suka “melompat". Jalanku tidak menurut adat, setindak demi setindak seperti siput. Langkahku terlalu besar menurut ukuran jaman. Aku dicaci maki, karena tertawa terbahak-bahak. Gigi terlalu banyak kupamerkan seperti luwak, katanya. Akhirnya orang toh insaf bahwa keadaan ini lebih mempererat hubungan kami.”

Empat tahun lamanja Kartini dikurung. Hanya beberapa kali selama masa itu ia meninggalkan rumah orang tuanya. Menjelang bulan puasa ikut pergi kekuburan dan sekali waktu jika diajak ke rumah paman yang tinggal dikota lain.

Pada tahun 1896 ia mendapatkan kebebasannya kembali. “Hari masih pagi waktu aku melihat kembali dunia liar, sejak aku menjnggalkan sekolah. Kami naik kereta pergi ke Kedung Penjalin, menghadiri pemberkatan sebuah gereja baru.”

Tak pernah sebelumnya mereka menghadiri kebaktian nasrani. Peristiwa ini meninggalkan kesan dalam. Pada hari kenaikan tahta ratu Wilhelmina (1898) mereka boleh ke Semarang untuk melihat perajaan.

Kartini ingin bebas untuk menuntut ilmu, bekerja dan mencari nafkah sendiri. Agar tak usah menunggu orang yang bersedia mengawininya atau dipaksa kawin.

Baca juga: Kartini Terlalu Cerdas untuk Jadi Beo

Kartini bertekad untuk menjadi guru. la ingin meneruskan pelajarannya di negeri Belanda dengan adik-adiknya. la ingin belajar ilmu kesehatan, membalut luka dan merawat orang sakit.

Roekmini ingin keakademi seni rupa untuk kemudian mencurahkan tenaganya di lapangan kesenian Indonesia. Kardinah lebih tertarik pada pendidikan rumah tangga. Agar dapat mengajar para ibu mengunakan uangnya sehemat mungkin.

Akhirnya ayahnya mengijinkan mereka belajar sejauh itu, walaupun dengan hati berat, Andaikata ia menolak, kemungkinan besar Kartini akan membatalkan maksudnya. Keinginan ayahnya merupakan faktor terpenting dalam keputusannya.

Sering ia merasa gelisah : meneruskan cita-citanya atau patuh orang tua. Teman-temannya tak dapat membenarkan sikap itu, tetapi ia tak dapat berbuat lain. Ia terlalu sayang ayahnya.

Baca juga: Andaikata Kartini Menjadi Anggota DPR

“Aku tak takut berjuang, tetapi takut menyakiti hati ayah. Aku cinta beliau. Bila salah satu dari kami harus berkorban, biarlah aku saja. Pengorbanan ini sebenarnya menunjukkan sifat egoisku, karena aku toh tak akan bahagia dengan kebebasanku jika ayah menderita."

Kartini tak pernah menjebut ibunya kandung dalam surat-suratnya. Demikian juga tak pernah mencela poligami secara terang-terangan, karena kawatir menyinggung perasaan ayahnya.

Kartini sebenarnya dilahirkan oleh isteri muda Bupati Jepara, kemudian dibesarkan seperti anak kandung ibu tua. Tetapi Kartini selalu menganggapnya sebagai ibunya sendiri.

Salah satu keinginan Kartini ialah menghubungi kawan-kawan seperjuangan seperti dokter Abdul Rivai, yang mempunjai pena tajam.

Pendapat umum tak dapat membenarkan hubungan bebas antara wanita dan pria maka maksud Kartini tak kesampaian. Andaikata Sosrokartono sudah kembali dari studinya dinegeri Belanda, mungkin dapat terlaksana.

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi April 1964)

Baca juga: Kartini: Sebagai Ibu, Wanita adalah Pendidik Pertama Umat Manusia

Artikel Terkait