Melainkan sekedar memenuhi tuntutan kurikulum yang berujung pada nilai secara objektif, di atas kertas dan raport tahunan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan yang seharusnya mulia dari pendidikan dilakukan dengan pendekatan-pendekatan kurang tepat.
Pendekatan dengan Mengakui Murid sebagai Subjek
Terlalu berfokus pada hasil dan bentuk yang tampak mata sekaligus mengaburkan proses dan makna dari belajar mengajar.
Sedangkan ketika pendidikan dan proses pembelajaran memang ditujukan untuk murid, maka murid-murid itulah yang seharusnya menjadi subjek utama, bukan guru atau pun buku teks.
Baca Juga: Selalu Merasa Tak Aman, Saddam Hussein Tak Pernah Tidur di Istananya
Maka dengan menjadikan murid sebagai subjek utama harus diringi dengan pengakuan dan penghargaan utuh terhadap murid sebagai subjek pendidikan.
Menjadikan murid sebagai acuan utama pendidikan, berarti tidak memaksanya untuk memenuhi cita-cita ideal tertentu.
Baik itu harus lihai mengerek bendera layaknya paskibra profesional atau patuh membawa pupuk kompos untuk memenuhi poin dan nilai.
Hal yang patut dipertimbangkan adalah perpektif si murid terhadap diri dan lingkungannya sendiri.
Itulah bentuk utama dari wujud mengakui murid sebagai subjek yang harus dihargai agar dapat memajukan kebudayaan bangsa kelak.
Saya sependapat dengan gagasan bahwa pembelajaran yang dapat memupuk fondasi atau dasar nalar kritis, kreatif, dan inovasi murid bukanlah pembelajaran yang terpacu pada target-target superfisial, formal, dan dangkal sebagaimana ditunjukkan dalam standar kompetensi pendidikan dasar. (Edi Subkhan, Pendidikan Kritis, 2016: 162)
Bendera tak harus dipahami sampai pada kibarannya saja dan WC tak patut ditakuti di bawah hukuman konyol.
Bahkan mungkin makna tersirat puisi Kahlil Gibran patut dijadikan hidden kurikulum untuk mengasah kepekaan rasa, estetika, dan budaya di sekolah.
Baca Juga: Nyeri Kaki, Lutut, dan Pinggul? Atasi Lewat 5 Cara Sederhana Berikut
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR