Advertorial

Film 'Tarung Sarung' Tayang April 2020, Begini Cara 'Mematikan' Suku Bugis untuk Menyelesaikan Masalah, Rela Pertaruhkan Nyawa Demi Pertahankan Kehormatan

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah

Editor

Intisari-Online.com - Pada 2 April mendatang, bioskop Indonesia akan dimeriahkan oleh film Tarung Sarung, Cinta dan Asa si Anak Bugis.

Seperti judulnya, film ini mengangkat salah satu budaya lokal suku Bugis yakni tarung sarung atau sigajang laleng lipa.

Plot cerita dalam film menggunakan kebiasaan adat ini untuk menyelesaikan konflik antara 2 orang yang bermasalah, yakni sang tokoh utama Deni Ruso, yang diperankan olehPanji Zon dan Sanrego karena seorang wanita.

Yang menjadi persoalan, apakah Deni mampu mengalahkan Sanrego dan mendapatkan cinta wanita itu?

Baca Juga: Bukan Hanya Tak Hafal Pancasila, Puteri Indonesia Juga Ada yang Sebut Indonesia Sebagai 'City', Dituduh PKI, Hingga Dipenjara karena Kasus Korupsi

Namun terlepas dari film Tarung Sarung yang diproduseri oleh Chand Parwez, seperti semematikan apa duel sarung tarung atau siganjang laleng lipa ini?

Menurut beberapa sumber ritual ini konon banyak terjadi di masa lalu.

Yakni saat sebuah keluarga merasa harga dirinya terinjak, namun, kedua keluarga merasa benar, maka diselesaikan dengan ritual ini.

Baca Juga: Anjing Serigala 'Raksasa' Ini Jalani Hari-hari Terakhir Hidupnya Setelah Dibuang Pemiliknya Karena Memerlukan Banyak Penanganan untuk Merawatnya

Awal kemunculannya, adalah pengaruh masyarakat Bugis yang menjunjung tinggi rasa malu, di mana mereka merasa malu ketika harga diri mereka terinjak-injak.

Bahkan mereka rela mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan kehormatan mereka, akhirnya ritual ini tercipta.

Baca Juga: Dari Masjidil Haram Hingga Wuhan, Foto Satelit Ini Tunjukan Perubahan Kota Sebelum dan Sesudah Corona Menyerang, Nyaris Berubah Jadi Kota Mati

Meski terkadang hasil akhir dari pertarungan ini adalah imbang, sama-sama meninggal, atau keduanya sama-sama hidup.

Seiring berjalannya waktu dan kemajuan pendidikan ritual ini mulai ditinggalkan oleh masyarakat Bugis.

Meski begitu, ritual ini tidak benar-benar ditinggalkan, melainkan dipentaskan kembali dalam sebuah panggung untuk menjaga kelestarian warisa budaya.

Baca Juga: Fakta Ibu Nikahi Anak Kandung di Gorontalo, Pasangan Ini Minggat Ke Desa Ini, Rupanya Adat Suku Ini Memperbolehkan Pernikahan Sedarah, Begini Syaratnya

Pementasan ini dimulai dengan pementasan tari, dan ritual bakar diri para penari menggunakan obor.

Namun, para penari tetap tersenyum dan tidak tersengat kepanasan, setelah itu barulah kedua pementas beradu dalam sarung untuk melakukan gajang laleng lipa.

Menurut kepercayaan, ritual ini memiliki makna tersendiri, di mana sarung diartikan sebagai simbol persatuan dan kebersamaan masyarakat Bugis.

Baca Juga: Dua Orang Indonesia Positif Corona, Apakah Biaya Rumah Sakit Pasien Corona Ditanggung Pemerintah? Ini Kata Sri Mulyani

Berada dalam sarung berarti menunjukkan, diri mereka ada dalam satu tempat dan ikatan yang menyatukan, dalam kata lain ikatan kebersamaan antar manusia.

Meski terkesan brutal dan mengerikan, ritual ini merupakan tradisi dan ciri khas masyarakat Bugis.

Ketika perselisihan tak dapat dihindari karena sebuah perselisihan dan menjunjung harga diri yang harus ditegakkan.

Baca Juga: Menguak Kekejaman Raja Biliuner Dubai, Salah Satu Orang Terkaya di Dunia yang Tega Kirim Bandit untuk Siksa Anak-anaknya, Bahkan Penjarakan Putri-putrinya Sendiri

Di saat itulah nyawa tak ada artinya, dan konflik berdarah harus dilakukan dalam ritual bernama gajang laleng lipa.

Hal ini tak lain dan tak bukan adalah untuk menjunjung kemulian dan harga diri Manusia. (Afif Khoirul M)

Baca Juga: Jangan Keliru, 4 Bahan Ini Sebenarnya Tak Boleh Digunakan untuk Atasi Luka Bakar, Selain Pasta Gigi Apa Lagi Ya?

Artikel Terkait