Sulitnya Mengorek Keterangan dari Para Korban Pemerkosaan Massal saat Kerusuhan Mei 1998

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Kerusuhan Mei 1998 meninggalkan trauma yang tak kunjung hilang bagi mereka yang menjadi korban perkosaan massal saat itu.
Kerusuhan Mei 1998 meninggalkan trauma yang tak kunjung hilang bagi mereka yang menjadi korban perkosaan massal saat itu.

[ARSIP Nova]

Betapa dalamnya luka yang ditinggalkan akibat tragedi kerusuhan di Jakarta pertengahan Mei 1998. Rasanya tak tergambarkan lagi. Terutama bagi mereka yang menjadi korban pemerkosaan massal saat itu.

Artikel ini ditulis oleh Kurniasih Tjitradjaja dan Tumpak Sidabutar, pertama tayang di Tabloid NOVA pada 5 Juli 1998

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Tak mudah mengorek keterangan dari para korban perkosaan, apalagi itu perkosaan massal, seperti yang terjadi saat Kerusuhan Mei 1998 lalu. Inilah cerita beberapa aktivis HAM yang saat itu mendampingi para korban kekerasan terhadap perempuan—yang korbannya sebagian besar beretnis Tionghoa.

Cerita mereka tayang di Tabloid NOVA edisi 5 Juli 1998.

Angka pasti korban perkosaan yang terutama berasal dari kaum perempuan etnis Cina ini memang sulit diperoleh. Ada yang mengatakan puluhan, bahkan ratusan orang. Yang pasti, data-data yang diperoleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat saat itu menunjukkan, perkosaan massal itu memang terjadi.

"Tim kami menemukan korban-korbannya," tandas Ita F. Nadia, yang saat itu adalah Direktur Kalyanamitra, sekaligus koordinator tim relawan Divisi Kekerasan Terhadap Perempuan (DKTP) yang dibentuk untuk membantu para wanita korban tragedi kerusuhan Mei lalu.

Bersama lembaga sejenis ketika itu, seperti Mitra Perempuan, LBH APIK, dan lain-lainnya, Kalyanamitra telah melakukan investigasi, memberikan pelayanan medis dan psikologis, serta mengontak para keluarga korban.

Untuk langkah awal, dibuka dua saluran telepon 021-8298421 (Mitra Perempuan) dan 021-7902112 (Kalyanamitra) bagi para korban yang ingin mengadu.

Hasilnya, menurut Ita, "Banyak pengaduan masuk dari para korban maupun keluarganya. Mereka mau bercerita panjang walau sambil nangis sesenggukan." Masalahnya, para pelapor ini enggan menyebut identitas mereka. Masalah ini memang sudah disadari Ita sejak awal.

"Kami bisa memahaminya. Dalam kasus perkosaan umumnya, korban dan keluarganya cenderung menutup diri. Apalagi ini, yang kebanyakan diperkosa rata-rata oleh 3 sampai 7 pelaku secara bergantian."

Sering menerima teror

Meski sulit Ita mengaku saat itud dia berhasil mengontak beberapa keluarga korban. Ini tak lepas dari bantuan sejumlah rohaniwan yang bersedia memberi info dan mengantar anggota tim relawan.

"Tanpa bantuan mereka, rasanya sulit kami menemui para keluarga korban," ujar Ita yang juga memanfaatkan sahabat para korban untuk melakukan pendekatan sebelum bertemu.

Jika permasalahannya sudah diketahui, "Kami segera merujuknya ke lembaga yang dapat membantu memulihkan trauma mereka. Untuk konseling, bisa ke Kalyanamitra, Mitra Perempuan, klinik psikologi Ul, atau ke YLBHI jika mereka perlu bantuan hukum."

Selain itu, ketika itu pihaknya juga banyak mengupayakan bantuan medis. "Sebab, mereka bukan cuma diperkosa ramai-ramai, tapi juga dimasuki benda-benda keras pada kemaluannya, seperti botol dan gagang sapu. Begitu brutalnya, hingga kami yakin, ini bukan tindakan masyarakat awam," papar Ita.

Itu pula sebabnya, saat melakukan pendampingan, pihaknya juga senantiasa menekankan pada korban dan keluarganya, bahwa pelaku perbuatan biadab itu bukan masyarakat biasa.

"Mereka orang-orang yang terorganisasi dan sepertinya sudah dilatih dulu. Ada yang mengomandoi, kok. Lagi pula, kalau bukan terorganisir, mana mungkin selama empat hari berturut-turut terjadi perkosaan di puluhan tempat sekaligus dengan pola yang sama."

Hingga awal Juli 1998–ketika artikel ini naik di Tabloid Nova—Ita mencatat sudah ada 50 korban perkosaan yang dirawat di RS Jiwa akibat mengalami guncangan jiwa yang tak terperikan.

Mereka ini, kata Ita, "Masih termasuk yang selamat, karena ada juga korban yang langsung dibunuh atau dibakar hidup-hidup setelah diperkosa. Yang selamat pun, ada yang mati minum racun karena tak kuat menahan derita dan malu."

Kembali pada soal jumlah korban, ketika itu Ita bilang tak mau gegabah menyebut angka karena mengalami kesulitan saat mengumpulkannya.

Yang jelas, berdasar keterangan para informan, Ita punya dugaan kuat, "Ada ribuan korban yang mengalami sexual harassment, seperti ditelanjangi, diraba-raba, bahkan disuruh menari-nari dengan telanjang. Adapun yang mengalami perkosaan langsung sekitar 100 perempuan dari berbagai usia."

Para korban maupun keluarganya, ketika itu hanya bisa berpasrah diri. "Mereka tak yakin hukum bisa berbuat banyak untuk membantu mereka," kata Ita yang terus mengkampanyekan permasalahan ini pada masyarakat nasional maupun internasional.

Diakui Ita, ada pula pihak-pihak yang menghalangi usaha tim relawan. Salah satu buktinya, "Kami sering menerima teror lewat telepon agar menghentikan aksi kami. Para korban dan saksi kami juga diteror, hingga mereka ketakutan dan tak mau bicara lagi."

Teror-teror itu ternyata tak menyurutkan langkah Ita dan para relawan lainnya.

"Di sini kami bekerja untuk hati nurani dan rasa kemanusiaan," tandas Ita yang merasa bersyukur lantaran saat itu banyak lembaga menawarkan bantuannya pada DTKP. Antara lain dari Fakultas Psikologi UI, Universitas Atma Jaya, Universitas Tarumanegara, dan World Vision.

Ketakutan luar biasa

Apa yang dilakukan oleh Rita Serena Kolibonso, ketika itu Direktur Eksekutif Mitra Perempuan, tak jauh beda dari Kalyanamitra. Saat ini Rita Serena adalah anggota Komisioner Komisi Kejaksaan Republik Indonesia periode 2024-2028.

"Program jangka pendek kami adalah mendampingi para korban dan keluarganya agar mental mereka tetap kuat dan tak mengalami trauma berkepanjangan. Kami didampingi rohaniawan, psikolog, dan dokter, untuk memberi pertolongan dari segala aspek. Sebab, banyak yang setelah kejadian memilih bunuh diri," papar Rita saat itu.

Ditambahkan alumnus Fakultas Hukum UI ini, langkah-langkah yang dilakukan pihaknya saat itu bisa mewakili masyarakat.

Artinya, "Kami ingin menunjukkan bahwa masyarakat amat prihatin dan peduli pada nasib para korban, dan berusaha membantu," jelas Rita yang juga menyediakan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi korban yang ingin mengajukan gugatan ke pengadilan.

Kendala yang dihadapi Rita saat itu tak jauh beda dari Ita. Para korban umumnya sulit bercerita.

"Secara psikologis, mereka bukan cuma malu, tapi juga putus asa dan ketakutan luar biasa. Sulit bagi mereka mempercayai siapa pun. Apalagi, sampai sekarang belum ada pelaku yang ditangkap. Mereka belum yakin kondisi sekarang sudah aman dan masih was-was kejadian itu bakal terulang lagi."

Dari keterangan sejumlah saksi ketika itu, Rita juga sependapat dengan Ita bahwa kerusuhan tempo hari dipicu oleh kelompok yang terorganisir. "Mereka juga rata-rata dalam kondisi setengah mabuk saat melakukannya," tambah Rita.

Seluruh etnis

Laporan mengenai adanya perkosaan massal saat itu juga diterima Komite Pemuda Indonesia untuk Penghapusan Diskriminasi Ras (KPIPDR). Menurut Ester Indahyuni Yusuf, ketika itu Ketua KPIPDR, pihaknya telah banyak menampung pengaduan para korban kerusuhan Mei lalu. Saat ini Ester dikenal sebagai seorang advokat.

"Dua puluh di antaranya adalah pengaduan tentang terjadinya perkosaan," jelas pekerja di LBH Jakarta ini. Hanya saja, pengaduan itu memang bukan langsung dari korban perkosaan. "Biasanya, dari orang kedua. Kalaupun ada korban langsung, mereka enggan menyebut identitasnya,” jelas Esther yang saat itu hanya didampingi delapan rekannya dalam mengelola KPIPDR.

Karena jumlah anggotanya yang terbatas, Esther mesti kerja keras saat memberikan perlindungan terhadap para korban kerusuhan kendati saat itu dia tengah mengandung anak pertama.

Untuk itu, pihaknya telah melakukan kontak dengan beberapa lembaga untuk membantu menampung sejumlah korban. "Kami juga akan terus bergerak untuk menyadarkan masyarakat tentang persamaan hak warga negara dan mengupayakan ratifikasi UU Anti-Diskriminasi Ras."

Ditambahkan Esther, KPIPDR didirikan bukan untuk membela satu atau dua etnis, namun seluruh etnis yang berada dalam pangkuan Ibu Pertiwi Indonesia. "Karena itu, kami mengajak seinua lapisan masyarakat untuk bergandeng tangan dan menentang segala macam sikap dan tindakan yang sifatnya rasialis."

Diusut sampai tuntas

Kompas HAM juga telah menerima laporan terjadinya perkosaan massal saat kerusuhan Mei 1998.

Clementino Dos Reis Amaral, ketika itu adalah anggota Komnas HAM, bercerita, semenjak peristiwa kerusuhan itu, "Kami sudah lima kali didatangi kelompok berbeda yang menjadi korban. Sebagian menceritakan, tak punya rumah dan tempat mencari nafkah lagi karena sudah habis dibakar. Dan sebagian lagi adalah para keluarga korban perkosaan."

Clementino—yang meninggal pada Maret 2020—melanjutkan, hanya keluarga korban perkosaan yang datang mengadu karena korbannya sendiri masih dalam keadaan shock dan ketakutan.

"Menurut mereka, para perusuh di berbagai tempat di Jakarta Utara dan Jakarta Barat tak hanya menjarah, tapi juga memperkosa para perempuan di depan suami dan anak-anaknya. Bahkan ada korban yang bunuh diri karena tak kuat menahan derita."

Clementino ketika itu mengaku sangat ngeri mendengar pengaduan tersebut. "Saya pikir, hal seperti itu tidak boleh terjadi di sebuah negara yang penduduknya beragama. Jadi betul-betul memalukan," ujarnya.

Di sisi lain, para pengadu ini juga mempertanyakan pembedaan perlakuan berdasar ras yang selama ini mereka alami kendati sudah turun-temurun menjadi warga Indonesia.

"Mereka mempertanyakan, kenapa meski lahir dan hidup di Indonesia, dan sudah berbaur dengan masyarakat, masih saja dibedakan dan harus menderita."

Menanggapi berbagai pengaduan itu, Clementino saat itu langsung meminta mereka datang lagi untuk membawa data-data yang lebih konkret. "Soalnya, kami sulit melakukan penyelidikan tanpa data dan identitas yang jelas," ujar Clementino saat itu.

Sembari menanti data-data itu, pihaknya juga membentuk tim yang terdiri dari sejumlah LSM dan polwan untuk mendata para korban pelecehan seksual dan perkosaan massal.

Bahwa upaya itu sangat sulit, Clementino membenarkannya. "Siapa pun ingin kasus ini diusut sampai tuntas. Masalahnya, siapa pelakunya? Para korban pun tak tahu siapa dan dari mana datangnya para pelaku itu," cerita Clementino.

Kendati begitu, Clementino ketika itu berjanji, Komnas HAM akan terus mengusut masalah ini dan menyerahkan hasilnya kelak pada pemerintah untuk ditindaklanjuti.

---

Mari berdoa semoa segala bentuk kekerasan, apalagi perkosaan massal, tak terjadi lagi di negarakita tercinta ini. Terlalu berat trauma yang harus ditanggung oleh para korban. Sudah. Cukup.

Artikel Terkait