Advertorial
Intisari-online.com -Tidak dipungkiri virus corona cukup membuat ngeri banyak orang.
Selain pertanyaan kapankah wabah ini berakhir, muncul juga pertanyaan dari mana ini semua berasal.
Mulai dari kelelawar, ular bahkan trenggiling menjadi hewan eksotis yang disalahkan atas merebaknya virus Corona.
Warga China sendiri disalahkan atas kebiasaan mereka mengonsumsi hewan liar, dikaitkan dengan tidak menjaga keanekaragaman hayati dan kebersihan mereka yang kurang.
Berkaca dari wabah virus Corona, seharusnya umat manusia melakukan tindakan pencegahan menularnya virus dari hewan ke manusia.
Mengutip South China Morning Post, pencegahan ini mungkin telah dikembangkan di China menggunakan metode monitoring populasi hewan liar.
Bahkan, mungkin juga sudah ditemukan solusi agar bencana seperti ini tidak terjadi lagi.
Seorang profesor bernama Douglas Yu dari Universitas Anglia Timur memimpin tim untuk mengekstraksi DNA dari darah yang dicerna di perut lintah.
Tujuannya adalah untuk menentukan hewan apa yang telah mereka isap darahnya.
Selanjutnya, untuk memproduksi model persebaran hewan liar di pusat konservasi Ailao Shan, provinsi Yunnan.
Metode analisis DNA yang sama dapat dengan mudah digunakan untuk meneliti kekeringan air sebagai bukti konsumsi hewan liar atau penjualan ilegalnya di pasar, klaim Yu.
Penelitian itu menghabiskan waktu 5 tahun dan menggunakan lebih dari 30000 lintah.
Kini, mereka berharap metode mereka diaplikasikan untuk melawan penjualan hewan liar ilegal.
Tidak dapat dipungkiri, hewan liar memang sumber dari virus yang dapat dengan cepat mengubah gen dan secara teratur "melompat" ke spesies lain, termasuk manusia.
SARS sendiri diyakini awalnya berasal dari kelelawar, sebelum selanjutnya pindah ke musang dan kemudian menyerang manusia.
HIV dicurigai melompat dari simpanse ke manusia pada awal sampai pertengahan era 1900.
Meski sumber virus Covid 2019 masih belum jelas, tapi trenggiling, hewan paling banyak dijual ilegal di dunia, diduga menjadi bagian dari rantai penyebaran virus Corona.
Ilmuwan berpendapat, kelelawar bisa jadi memindahkan virus ke trenggiling sebelum mereka menginfeksi manusia.
Yu mengatakan: "semua yang berasal dari kehidupan liar itu berbahaya, berbahaya untuk ditangkap, diurusi lebih-lebih dikonsumsi."
Yu sendiri adalah ahli bidang ekologi, cabang biologi yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungan mereka.
Dia adalah sosok yang mengawali penggunaan DNA lingkungan (eDNA) di riset ekologi.
eDNA adalah "campuran molekuler" tersusun dari fragmen DNA kecil-kecil yang berasal dari berbagai hewan pada sebuah lingkungan.
Sampai saat ini, bioteknologi masih tidak dapat memisahkan DNA individu dari campuran molekuler untuk mengidentifikasi dari hewan mana DNA tersebut berasal.
Namun teknologi mutakhir baru-baru ini dapat memproses sejumlah molekul DNA pada saat bersamaan, dan itu telah menjadi alat forensik yang kuat.
Baca Juga: Kisah Ching Shih, PSK yang Menjadi Bajak Laut Wanita Tangguh yang Disegani Sekaligus Ditakuti
Yakni dengan deteksi dari sampel tanah, air atau yang tersisa pada perut lintah, tanpa menyentuh hewan yang memiliki DNA tersebut.
Masalah besarnya adalah mengetahui apa yang hidup di hutan, jebakan kamera dapat digunakan, tetapi mereka umumnya tidak menangkap hewan kecil.
Berjalan melewati sisi-sisi hutan, mencoba temukan kehidupan liar yang ada termasuk pekerjaan buruh kasar dan tidak efektif karena hewan-hewan tersebut pasti akan bersembunyi.
Lintah darat memiliki kemampuan temukan hewan di hutan lebat lebih baik daripada manusia, karena didorong oleh nafsu makannya.
Lintah juga bukan hewan yang memilih makanannya, dan jumlahnya banyak.
Penelitian Yu dimulai pada tahun 2015, saat timnya dikirim survei di hutan Yunan untuk temukan lintah dengan tujuan mengembangkan metode deteksi kehidupan liar dari DNA di perut lintah.
Hutan Yunan dipilih karena perburuan ilegal hewan liar sering terjadi di sana, dan memiliki kehidupan liar terbaik China namun belum disurvei dengan baik sejak 1981.
Hutan tersebut seukuran negara Singapura, dan berlokasi 170 km sebelah selatan Kunming.
Penjaga hutan dibayar untuk mengumpulkan lintah selama pengawasan reguler dan ketika mereka mengawasi wilayah tersebut.
Selanjutnya, tim Yu mengekstrak DNA dari perut lintah, kemudian mengaplikasikan software statistik canggih yang dapat membandingkan perbedaan urutan DNA dengan urutan DNA hewan dari database yang sudah ada.
Terbukti lintah efektif tunjukkan hewan yang bersembunyi di Ailao Shan, yaitu DNA beruang hitam, rusa sambar, makaka, leopard, kambing hutan, sejumlah burung, katak dan kodok.
Daftar hewan yang ada termasuk hewan langka dan yang biasa diburu.
Data tersebut digunakan tim Yu untuk membuat persebaran binatang di Ailao Shan,dan hasilnya sesuai dengan persebaran biologi alam.
Hasil penelitian tim Yu keluar sangat tepat bersamaan dengan merebaknya virus Corona. "Kami jelas-jelas tidak mengantisipasi terjadinya epidemi virus Corona."
"Pemerintah sekarang katakan jika akan melarang penjualan hewan liar permanan di China, dan mengusut perdagangan liar.
Monitoring intensif dari hewan liar akan menjadi bagian penting dari gerakan pelarangan ini.
Pertama, dasar kelimpahan binatang harus tercapai, diikuti oleh survei berulang untuk mengukur efektivitas ukuran perlindungan.
Perdagangan hewan liar tidak hanya terjadi di China, dan justru hanya ada proporsi kecil penduduk China yang memakan hewan liar, tetapi karena penduduk China sendiri paling banyak di dunia maka sejumlah penduduk yang memakan hewan liar ini menjadi jumlah yang sangat besar sehingga untuk memenuhi kebutuhan mereka rantai perburuan, perpindahan dan penjualan hewan liar akhirnya memaparkan virus Corona ke dunia.
Yu sendiri terkejut merebaknya virus Corona tidak terjadi di Vietnam, tempat perburuan hewan liat terjadi lebih besar dibanding di China.