Advertorial
Intisari-Online.com - Gunung Merapi mengalami erupsi pada Kamis (13/2/2020) pukul05.16 WIB.
Dilaporkan bahwa erupsi terjadi hingga mencapai tinggi 2.000 meter.
Berdasarkan data BPPTKG Yogyakarta, erupsi Gunung Merapi terekam di seismogram dengan amplitudo 75 mm dan durasi 150 detik. Arah angin ke barat laut.
Karena kejadian ini, BPPTKG Yogyakarta masih menetapkan status Gunung Merapi pada level II atau Waspada.
Seperti yang kita tahu, Gunung Merapi merupakan salah satu gunung api aktif di Indonesia dan pernah meletus besar pada tahun 2010.
Pada Selasa tanggal 26 Oktober 2010, letusan Gunung Merapi mengakibatkan sedikitnya 353 orang tewas, termasuk Mbah Maridjan.
Mbah Maridjan diketahui sebagai penjaga dan juru kunci Gunung Merapi.
Amanah sebagai juru kunci ini diperoleh dari Sri Sultan Hamengkubuwana IX.
Setiap gunung Merapi akan meletus, warga setempat selalu menunggu komando darinya untuk mengungsi.
Baca Juga: Masker Garam dan Lemon, Cara Ampuh Hilangkan Jerawat di Wajah, Begini Cara Membuatnya!
Tak boleh pergi
Pada masanya, pegawai Jawatan Geologi urusan Volkanologi ini, punya peran penting dalam penjagaan gunung berapi.
Tahun 1961, saat Merapi meletus, ia pernah disangka sudah mati.
Kala itu, Saechani bertugas di Pos Plawangan. Suasana mengkhawatirkan.
Siang gelap bagaikan malam hari. Hujan abu tebal dan batu-batu kecil bertebaran.
"Para penjaga Gunung Merapi disangka sudah menjadi mayat semuanya," kisah Saechani, saat itu.
Seorang penjaga gunung berapi tak boleh lari menyelamatkan diri.
Penjaga gunung berapi bertugas mengamati perkembangan gunung, catatan suhu, dan pemetaan kawah.
Pada 1972, Saechani bertugas di Pos Babadan yang lokasinya termasuk dekat dari Puncak Merapi.
Di tahun itu, diperkirakan siklus Merapi mengeluarkan letusan tipe besar.
Dari penelusuran, pada tahun 1972-1973, Merapi meletus dengan tipe volkanian.
Materi yang dilontarkan membentuk awan bergumpal-gumpal seperti bunga coal yang tegak menjulang secara vertikal, serta menghasilkan semburan asap hitam setinggi 3 kilometer.
Terjadi hujan pasir dan kerikil, juga awan pijar guguran ke Kali Batang.
"Uang bahaya" Rp10
Pada masa itu, penjaga gunung berapi mendapatkan Rp10 per hari jika status gunung yang dijaganya dalam keadaan bahaya.
Uang ini dikenal dengan istilah "uang bahaya".
Selain gaji, para penjaga gunung kala itu mendapatkan uang makan yang besarnya sesuai jabatannya.
Dalam melakukan tugasnya, Saechani ditemani dua orang asisten yang mengurusi kebutuhannya sehari-hari.
Kehidupan Saechani tak bisa dipisahkan dari gunung berapi. Lahir dan besar di kawasan lereng Gunung Semeru adalah alasannya.
(Artikel inidimuat Harian Kompas pada 15 September 1972)