Advertorial
Intisari-Online.com – Termasuk dalam lima kawasan wisata destinasi super prioritas bersama Danau Toba, Mandalika, Labuan Bajo, dan Likupang, Kementerian Pariwisata mengembangkan Borobudur sebagai destinasi wisata berbasis Storynomics Tourism.
“Borobudur sampai selamanya bentuknya akan seperti ini, tidak akan berubah. Salah satu upaya untuk membuat Borobudur tetap menarik adalah dengan menyajikan cerita yang berbeda, tidak itu-itu saja,” ujar Revalino Tobing, anggota Tim Percepatan Pengembangan Wisata Sejarah, Religi, Seni, Tradisi, dan Budaya, Kementerian Pariwisata RI.
"Mulai dari kisah-kisah relief yang tidak pernah diceritakan sebelumnya, mengangkat kisah Buddha dan sejarahnya, atau mengenai kehidupan masyarakat di sekitar Borobudur. Ini yang Kemenpar lakukan melalui strategi desinasi super prioritas."
Formula Storynomics Tourism pertama kali diperkenalkan pada Agustus 2019. Konsepnya tak berbeda dari apa yang dikatakan oleh Robert McKee (pengarang, pengajar, dan story consultant asal Amerika Serikat) dalam bukunya Storynomics: Story-Driven Marketing in the Post-Advertising World.
Bahwa di zaman sekarang, konsumen tidak lagi tertarik pada iklan yang biasa-biasa saja alias hardsell. Konsumen tertarik pada storytelling. Utamanya, cerita yang memikat serta jujur. “Content is king,” ujar McKee.
Dengan menggandeng kawan-kawan dari Tim Ahli Penyusun Legenda Borobudur Universitas Gadjah Mada, Kemenpar memulai strategi pendekatan wisata yang menitikberatkan pada narasi dan konten kreatif dari sebuah destinasi sebagai kekuatan.
Louie Buana, asisten peneliti di UGM dan anggota Tim Ahli Penyusun Legenda Borobudur UGM, mengatakan, “Borobudur selama ini dianggap sebagai monumen atau destinasi ziarah.
Padahal, Borobudur memiliki cerita yang banyak, mulai dari urban legend, folklor, cerita lisan, dan lain-lain. Karena itu, saya dan tim menyusun narasi legenda Borobudur selama setahun ini untuk nantinya menjadi sebuah produk storytelling dengan cara interpretative tour.”
Menggali Cerita Lewat Relief Borobudur
Jika selama ini kita mengenal Candi Borobudur hanya terbatas pada fakta bahwa ia adalah sebuah candi Buddha yang didirikan di abad 9 pada zaman Dinasti Syailendra, maka kita adalah orang-orang yang merugi. Melalui Storynomics Tourism yang dilakukan Kemenpar didukung oleh UGM, wisata di kawasan Borobudur diharapkan tidak lagi sekulit ari itu.
Yang patut kita ingat adalah Borobudur itu serupa perpustakaan, dan relief-relief yang terpatri di sana adalah buku bergambar yang siap untuk dibaca dan diceritakan. Sudah terlalu lama Borobudur dianggap ‘hanya’ sebagai tempat selfie atau tempat menyentuh patung-patung Buddha agar beruntung.
Sudah saatnya Borobudur menjadi destinasi utama yang mampu menjadi pelita (mandala) dan mengajarkan ilmu kebajikan, seperti ketika ia pertama kali dibangun.
Mari kita mulai dengan memahami relief-relief di candi yang pembangunannya memakan waktu sekitar 72 tahun ini. Pada relief-relief di bagian struktur Marga, terdapat kisah-kisah dari berbagai kitab, antara lain Karmawibangga, Lalitavistara, Jataka, Gandawyuha, Badracari, Avadana, dan lain-lain.
Sementara di struktur Pala, tidak ada lagi relief, yang ada hanya stupa—sebab manusia sudah mencapai titik mokhsa.
Relief-relief yang merupakan ajaran dari kitab-kitab Buddha Mahayana dan Tantrayana ini sesungguhnya ada untuk dibaca dan dipelajari.
Seperti misalnya, kisah Jataka Mala yang menceritakan kelahiran Sang Buddha sebelum bereinkarnasi menjadi Siddhartha Gautama atau Lalitavistara yang menceritakan kelahiran Sang Buddha sebagai Siddhartha Gautama hingga mencapai titik pencerahan.
Baca Juga: Ternyata Seperti Inilah Kondisi Borobudur saat Pertama Kali Ditemukan, Menyedihkan
Mengenal Lebih Dekat Kehidupan Masyarakat Sekitar Borobudur
Salah satu misi utama strategi Storynomics Tourism adalah menghidupkan tidak hanya cerita relief di Candi Borobudur, tetapi juga menghidupkan desa-desa di sekitar Borobudur.
Pada kenyataannya, kehidupan masyarakat di sekitar Borobudur adalah sebuah tinggalan sejarah yang tak lepas dari candi yang dulu dikenal dengan nama Bhumi Shambara Budhara. Karena itu, jika memiliki kesempatan untuk berkeliling Borobudur, baik itu dengan numpak andong atau berwisata safari dengan VW, jangan ditolak atau dilewatkan.
Pada zaman dulu, kita mengetahui bahwa Candi Borobudur adalah pusat aktivitas dengan dikelilingi oleh desa-desa dan danau purba. Banyak desa yang digadang-gadang adalah desa yang sejak dulu ada.
Masyarakat di desa-desa ini biasa dikenal karena memiliki spesialisasi tertentu, bahkan masih dilakukan hingga sekarang. Seperti, masyarakat Dusun Klipoh Desa Karanganyar yang masih setia sebagai perajin gerabah.
Dalam perkembangannya, kini, banyak dusun atau desa di sekitar Borobudur yang berkembang menjadi destinasi wisata baru. Di antaranya, Desa Tuksongo yang terkenal sebagai penghasil dan perajang tembakau, atau Tanjungsari yang terkenal dengan hasil madunya.
“Kita berharap Borobudur dan kawasan sekitarnya, seperti Prambanan dan Mendut, berkembang lebih pesat. Supaya lebih banyak orang, terutama wisatawan mancanegara, yang mengetahui bahwa Indonesia tidak hanya Bali,” tambah Revalino.
Upaya Kemenpar dengan strategi Storynomics Tourism ini bisa jadi merupakan titik cerah agar destinasi wisata Indonesia tidak lagi hanya berfokus pada “wisata selfie” atau “destinasi Instagrammable”—yang berakhir dengan membangun fasilitas-fasilitas konyol dan tidak sustainable hanya untuk kepentingan foto. Namun, justru condong pada memperkuat konten narasi yang selama ini sudah Indonesia miliki, tetapi belum cukup mendapat panggung. (Astri Apriyani)
Baca Juga: Jam Raksasa Candi Borobudur Ungkap Bahwa Matahari Tak Selalu Terbit di Timur, Ini Penjelasannya