Tamat kuliah, dalam rangka pencarian jati diri, saya sempat bekerja di kedutaan Indonesia di Jerman. Tujuannya mengajar kesenian.
Tapi saya juga harus melakukan pekerjaan di luar kesenian. Ya seperti pembantu rumah tangga yang harus membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan pekerjaan rumah lainnya.
Saat itulah saya coba merenung dan mengevaluasi langkah saya. Akhirnya saya memutuskan untuk mendalami satu bidang saja.
Saya memilih memperdalam musik etnik. Sejak kecil saya memang mempelajari gamelan, khususnya kendang.
Artinya saya sudah kenal musik etnik sejak kecil. Saya pun kembali ke Tanah Air.
Tentunya untuk mencapai hal itu Anda harus melewati proses yang panjang?
Memang benar. Saya terus melakukan pengembangan kreatif di berbagai kelompok kesenian.
Antara lain mendirikan kelompok Rheze yang keluar sebagai juara I Festival Musik Humor tingkat nasional tahun 1978.
Sempat juga saya mendirikan kelompok musik kreatif Wathathitha, dan sempat mementaskan reportoar Unen-Unen di Yogya (1980-1983).
Lalu tahun 1985 sampai dengan saat ini bergabung dengan teater Gandrik. Bersama Aminoto Kosin, saya menggarap musik untuk pergelaran Dua Warna yang beberapa kali ditayangkan di RCTI.
Kalau Orkes Sinten Remen, bagaimana terbentuknya?
Sebenarnya garapan seperti Orkes Sinten Remen (OSR) ini sudah kami munculkan ketika mahasiswa.
Dulu namanya Orkes Sukar Maju. Suatu ketika, kami reuni dan merasa ada semacam lenaga dan semangat baru.
Januari tahun lalu, kami bentuk OSR. Konsep ini kami launchingkan pada masyarakat. Ternyata diterima. Jadi, di samping ada KE, kami juga punya OSR.
Keduanya berjalan seiring, kok. Terkadang malah tampil bersamaan. Kami sudah main di beberapa kota seperti Malang, Kediri, dan kerap main di Jakarta.
Bagaimana, sih, konsep musik OSR?
Idenya sederhana saja: musik keroncong yang dikemas dengan tampilan berbeda. Lain dengan KE yang menggunakan instrumen tradisi seperti gamelan dan beberapa perkusi.
KE menyajikan komposisi musik murni, tanpa syair. Kalau OSR ya pakai alat musik orkes. Tadinya kami mau membuat orkes keroncong.
Akhirnya kami sebut orkes saja, enggak pakai embel-embel keroncong. Supaya enggak "terjebak" dan pilihan musiknya bisa lebih beragam.
Baca Juga: Orkestra Kehidupan yang Harmonis
Source | : | Tabloid Nova |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR