Advertorial
Intisari-Online.com – Kabar duka datang dari kalangan seniman musik.
Djaduk Ferianto, seniman musik serba bisa asal Yogyakarta, meninggal dunia pada usia 55 tahun.
Hal itu dikabarkan kakaknya, seniman Butet Kertadjasa melalui akun Instagram-nya, @masbutet, Rabu (13/11/2019).
“RIP. Djaduk Ferianto,” tulis Butet seperti dikutip Kompas.com.
Baca Juga: Kabar Duka, Seniman Musik Djaduk Ferianto Meninggal Dunia pada Usia 55 Tahun
Ia mengunggah gambar tulisan “Sumangga Gusti” atau Silakan Tuhan berwarna putih pada latar belakang hitam.
Djaduk mengembuskan napas terakhir pada Rabu dini hari pukul 02.30.
Jenazah Djaduk akan disemayamkan di Padepokan seni Bagong Kusudiardjo di Yogyakarta pada Rabu siang.
Bapak empat anak ini sejak kecil tumbuh dalam atmosfer kesenian. Berbeda dari ayahnya, seniman tari Bagong Kussudiardja, ia memilih menekuni musik.
Lewat grup musik Orkes Sinten Remen dan Kua Etnika, lelaki usia 36 tahun ini mampu memberi napas baru pada musik keroncong dan musik etnik.
Berikut ini wawancara petikan pada seniman senior tersebut yang dituangkan dalam Tabloid NOVA edisi no. 630/XIII – 26 Maret 2000, dengan judul asli Djaduk Ferianto; Kaleng Arumanis pun Dijadikan Musik.
Sejak kapan, sih, Anda mulai belajar jadi seniman?
Umur 6 tahun saya sudah aktif menari di Pusat Latihan Tari (PLT) milik ayah saya, Bagong Kussudiardja.
Sejak kecil semua anak Bapak sudah dibiasakan menari. Saya aktif menari sampai remaja, dan sempat dipercaya jadi pembina.
Artinya darah seni Anda mengalir dari orang tua?
Bisa dikatakan begitu. Hampir setiap hari saya melihat orang latihan menari dan mendengar gamelan.
Hanya saja saya tidak tertarik mendalami seni tari. Itu sebabnya, saya mengambil jurusan Seni Rupa dan Desain di Institut Seni Indonesia (ISI).
Baca Juga: Berkenalan dengan Bagong Kussudiardja, yang Dipilih Google Sebagai Doodle Hari Ini
Tamat kuliah, dalam rangka pencarian jati diri, saya sempat bekerja di kedutaan Indonesia di Jerman. Tujuannya mengajar kesenian.
Tapi saya juga harus melakukan pekerjaan di luar kesenian. Ya seperti pembantu rumah tangga yang harus membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan pekerjaan rumah lainnya.
Saat itulah saya coba merenung dan mengevaluasi langkah saya. Akhirnya saya memutuskan untuk mendalami satu bidang saja.
Saya memilih memperdalam musik etnik. Sejak kecil saya memang mempelajari gamelan, khususnya kendang.
Artinya saya sudah kenal musik etnik sejak kecil. Saya pun kembali ke Tanah Air.
Tentunya untuk mencapai hal itu Anda harus melewati proses yang panjang?
Memang benar. Saya terus melakukan pengembangan kreatif di berbagai kelompok kesenian.
Antara lain mendirikan kelompok Rheze yang keluar sebagai juara I Festival Musik Humor tingkat nasional tahun 1978.
Sempat juga saya mendirikan kelompok musik kreatif Wathathitha, dan sempat mementaskan reportoar Unen-Unen di Yogya (1980-1983).
Lalu tahun 1985 sampai dengan saat ini bergabung dengan teater Gandrik. Bersama Aminoto Kosin, saya menggarap musik untuk pergelaran Dua Warna yang beberapa kali ditayangkan di RCTI.
Kalau Orkes Sinten Remen, bagaimana terbentuknya?
Sebenarnya garapan seperti Orkes Sinten Remen (OSR) ini sudah kami munculkan ketika mahasiswa.
Dulu namanya Orkes Sukar Maju. Suatu ketika, kami reuni dan merasa ada semacam lenaga dan semangat baru.
Januari tahun lalu, kami bentuk OSR. Konsep ini kami launchingkan pada masyarakat. Ternyata diterima. Jadi, di samping ada KE, kami juga punya OSR.
Keduanya berjalan seiring, kok. Terkadang malah tampil bersamaan. Kami sudah main di beberapa kota seperti Malang, Kediri, dan kerap main di Jakarta.
Bagaimana, sih, konsep musik OSR?
Idenya sederhana saja: musik keroncong yang dikemas dengan tampilan berbeda. Lain dengan KE yang menggunakan instrumen tradisi seperti gamelan dan beberapa perkusi.
KE menyajikan komposisi musik murni, tanpa syair. Kalau OSR ya pakai alat musik orkes. Tadinya kami mau membuat orkes keroncong.
Akhirnya kami sebut orkes saja, enggak pakai embel-embel keroncong. Supaya enggak "terjebak" dan pilihan musiknya bisa lebih beragam.
Baca Juga: Orkestra Kehidupan yang Harmonis
Nah, sifat OSR saya anggap agak kampung dan daur ulang. Lagu-lagu lama kami up grade. Kami menawarkan harmoni baru yang berbeda dengan yang sudah ada.
Misalnya saja lagu Tanjung Perak kami buat dengan beat keroncong. Atau lagu dangdut Begadangnya Rhoma Irama, dengan speed yang berbeda dengan aslinya.
Berarti format lagunya, kan, sudah berubah. Ya. mencari alternatif baru.
Melihat komposisi musik Anda dalam KE, Anda sering menggunakan musik perkusi yang tak lazim?
Memang kita sering membuat sendiri musik perkusi yang sering tidak dipandang orang.
Seperti kotak kaleng tempat orang jualan arum manis (kembang gula berbentuk kapas) yang saya pinjam dari Mas Sentot (suami penari Retno Maruti - Red.), yang diperoleh di NTB.
Kaleng ini saya perbanyak. Setelah ditabuh mampu mengeluarkan bunyi yang menarik dan enak didengar.
Dalam pentas lalu, musik perkusi dari kaleng arum manis ini kami tampilkan.
Saya kira ini sesuatu yang baru. Musik perkusi yang kami buat sendiri, kami padukan dengan macam-macam gamelan Jawa, Bali, alat musik Afrika, serta Jepang.
Dalam komposisi musik garapan kami ini, seorang pemusik minimal bisa memainkan 6 alat. Saya sendiri memainkan 15 alat musik.
Apa yang membuat Anda tetapkonsisten menekuni musik etnik?
Sederhana saja. Sejak awal saya bertekad ingin menyumbangkan kebisaan saya dan membantu mengenalkan musik tradisi yang pernah saya kenal sejak kecil.
Saya ingin generasi muda kita tertarik pada musik etnik. Terus terang saya sedih melihat mereka kurang memahami bahkan tidak tahu musik etnik.
Makanya saya menganggap perlu sering mengadakan konser musik etnik seperti ini.
Saya yakin, musik tradisi punya posisi yang baik serta menarik. Kalau sampai sekarang saya tetap konsisten, saya ingin meyakinkan mereka bahwa musik etnik mampu mendapal tempat yang pantas.
Mudah-mudahan bisa menarik mereka. Selanjutnya mereka ingin mengenal musik tradisional yang sesungguhnya.
Jadi Anda yakin musik etnik akan tetap tumbuh?
Saya percaya. Apalagi musik etnik ini sekarang sudah menjadi perbincangan nasional. (Kurniasih Tjitradjaja, Henry Ismono)
Baca Juga: Aktivis Anti Kekerasan Munir Thalib Ternyata Ketularan Suka Musik Klasik Gara-gara si Kecil