Intisari-Online.com – Ketika kita membaca sebuah cerita yang mengungkapkan kebahagiaan, pasti kita akan senang pula ketika sampai pada akhir cerita.
Demikian pula sebaliknya, ketika membaca sebuah kisah sedih maka emosi kita pun terbawa pada emosi si pemeran utama dalam cerita tersebut.
Beberapa hari belakangan ini, kisah Layangan Putus ramai menjadi pembicaraan di berbagai lini media sosial.
Cerita Layangan Putus ini mengisahkan seorang istri dengan empat orang anak yang ditelantarkan suami demi wanita lain.
Banyak warganet yang bersimpati atas kisah Layangan Putus pun memberi komentar dan tak sedikit yang membagi ulang utas tersebut.
Tak sedikit pula yang mengungkapkan kekesalan dan kemarahannya pada sang suami ataupun perempuan yang dicurigai sebagai orang ketiga, entah kecurigaan tersebut benar atau tidak. Dari hal ini, kemudian muncul pertanyaan.
Kenapa banyak warganet bersimpati dan ikut tersulut emosi karena cerita Layangan Putus?
Menjawab pertanyaan ini, Kompas.com menghubungi Pingkan Rumondor, psikolog klinis dewasa yang memiliki spesialisasi di bidang hubungan, keluarga, dan pernikahan.
Source | : | Kompas.co |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR