Intisari-Online.Com - Tak banyak yang bersedia hidup seperti Diana Cristiana Da Costa Ati, S.pd, seorang perempuan manis berusia 23 tahun.
Di saat kebanyakan orang berlomba-lomba untuk bekerja di kota-kota besar, Diana memilih untuk mengabdi di daerah kecil di Papua.
Diana adalah Guru Penggerak daerah terpencil Sekolah Dasar Impres (SDI) Kaibusene Distrik Haju, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua.
Diana yang merupakan lulusan dari Universitas Nusa Cendana 2017, jurusan Pancasila dan Kewarganegaraan ini adalah asli orang Timor Leste.
Baca Juga: Ini Daftar 8 Perguruan Tinggi Negeri Terbaik Menurut Kemenristekdikti, Adakah Almamater Anda?
Tetapi Diana dan ibunya cinta Merah Putih dan saat jejak pendapat, mereka memilih Indonesia, namun sang ayah tetap berwarganegara Timor Leste.
Dari saat itu, Ia dan Ibunya harus berpisah dengan ayahnya sampai sekarang, dan hanya dapat bertemu di pintu batas.
Ia menuturkan bahwa suatu pengalaman luar biasa ketika harus menghadapi kehidupan yang jauh berbeda dari kehidupan di kota sebelumnya.
“Tanah kami tanah kaya, kami berenang di atas minyak, tidur di atas emas…..”, secuil lirik dari sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Edo Kondologit membuat Diana memutuskan untuk mengabdi di tanah Papua.
Diana menuliskan di laman tniad.mil.id, saat pertama kali menginjakkan kaki di Papua pada Bulan November tahun 2018, ia dibuat terkejut oleh keadaan yang ada di sana.
Anak-anak SDI Kaibusene sama sekali tidak bisa menyebutkan identitas negara Indonesia.
Mereka menyebut bendera Indonesia adalah bendera berlambang Bintang Kejora bukan Merah Putih.
Padahal bendera Bintang Kejora adalah bendera dari Organisasi Papua Merdeka.
Sungguh miris keadaan di sana saat Diana pertama kali datang ke SDI Kaibusene Distrik Haju, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua.
Penulis | : | Nieko Octavi Septiana |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR