Advertorial

Sejarah Lomba Panjat Pinang yang Biasanya Meriahkan 17 Agustusan, Tradisi Kesenangan Belanda dari Kesusahan Pribumi

Nieko Octavi Septiana
,
Mentari DP

Tim Redaksi

Sejarah dibalik lomba panjat pinang yang sudah dilakukan turun temurun untuk merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia.
Sejarah dibalik lomba panjat pinang yang sudah dilakukan turun temurun untuk merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia.

Intisari-Online.Com -Memeriahkan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia, biasanya akan diadakan berbagai macam lomba.

Balap karung, makan kerupuk, membawa kelereng dengan sendok, merupakan sedikit dari beragamnya perlombaan khas 17 Agustus.

Salah satu lomba yang kerap muncul adalah panjat pinang.

Lomba ini mengharuskan setiap tim untuk bekerja sama memanjat tiang agar dapat mengambil hadiah yang digantung di ujung atas tiang.

Baca Juga: SK. Trimurti, Tokoh Kemerdekaan RI Kelahiran Boyolali yang Pernah Menolak Jadi Menteri

Namun, yang membuatnya menarik adalah adanya minyak atau lumpur yang melumuri seluruh bagian tiang.

Sehingga membuatnya menjadi licin untuk dipanjat.

Tak jarang kejadian-kejadian lucu sering trerjadi dan menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat yang menonton.

Saking seringnya ada di lomba 17 Agustusan, lomba ini dianggap asli Indonesia.

Tapi jika Anda pernah menonton serial Para Pencari Tuhan yang diproduksi Deddy Mizwar, ada satu adegan ketika usulan memasukkan panjat pinang dalam daftar lomba 17 Agustusan ditolak.

Baca Juga: Ketika Laksamana Maeda Menyerahkan Nasibnya Demi Indonesia: 'Nasib Saya Tidak Penting, yang Penting Kemerdekaan Indonesia'

Ternyata, lomba yang sudah turun temurun itu bukan asli Indonesia, justru adasejarah menyedihkan dibaliknya.

Lomba panjat pinang sebenarnya mulai masuk Indonesia pada masa penjajahan Belanda.

Orang Belanda menyebutnya dengan De Klimmastyang berarti panjat tiang.

Jika sekarang di Indonesia lomba itu dilakukan pada 17 Agustus, bangsa Belanda biasanya melakukan itu tanggal 31 Agustus.

Tanggal 31 Agustus pada masa itu bertepatan dengan ulang tahun Ratu Wilhelmina.

Namun dalam praktiknya, lomba ini tak hanya digelar tanggal 31 Agustus saja, melainkan pada hari-hari besar lainnya atau bahkan setiap pesta pernikahan.

Pada masa penjajahan, lomba ini diselenggarakan oleh Belanda untuk pribumi.

Orang-orang Belanda akan menggantungkan berbagai benda di pohon pinang.

Hadiah yang digantung di cabang-cabang pohon pinang biasanya makanan, gula, pakaian, dan tepung.

Baca Juga: Manten Sapi, Gendong Kambing, Hingga Mepe Kasur, Berbagai Tradisi Unik Idul Adha dari Berbagai Daerah di Indonesia

Sedangkan batang pinang akan dilumuri dengan minyak sebagai pelumas.

Barang-barang seperti itu menjadi suatu hal yang mewah bagi orang-orang Indonesia pada saat itu.

Tentu saja, pasalnya ketika masa penjajahan, rakyat Indonesia kekurangan bahan makanan dan bahan pokok lainnya.

Maka tak heran jika pribumi berusaha mendapatkan hadiah-hadiah yang digantung itu.

Upaya yang berat untuk mengambil hadiah itu lah yang kemudian dinikmati oleh Belanda.

Melihat pribumi bersusah payah mendapatkan barang yang murah bagi mereka itu adalah sebuah hiburan.

Baca Juga: Usung Kain Tradisional Troso Khas Jepara ke Pusat Mode Dunia, Ini Cerita 2 Gadis Cantik Asal Kudus

Tak jarang mereka akan tertawa saat melihatnya.

Sejarah kelam panjat pinang inilah yang menimbulkan pro dan kontra untuk menjadikannya sebagai lomba 17 Agustusan.

Masyarakat yang kontra menilai panjat pinang melukai nilai-nilai kehidupan masyarakat Indonesia.

Mengingat ini tradisi dari Belanda yang telah menjajah Indonesia selama 3,5 abad.

Apalagi pada saat itu kesusahan pribumi dijadikan alat untuk menghibur kaum elit Belanda.

Meski begitu, masyarakat yang pro mengambil sisi positifnya.

Baca Juga: Jalan Mundur Tempuh Ratusan Kilometer Tulungagung-Jakarta, Medi Bastoni Bawa Misi Khusus

Lomba panjat pinang mampu mengukuhkan rasa gotong royong yang merupakan salah satu hal yang melekat pada bangsa Indonesia.

Saling membantu dan pantang menyerah juga merupakanhal positif dibalik panjat pinang.

Lomba panjat pinang juga dapat meningkatkan hubungan sosial masyarakat, apalagi dilakukan dalam suasana yang menyenangkan yaitu saat perayaan 17 Agustusan.

Artikel Terkait