Advertorial
Intisari-Online.com – Ni Luh Djelantik, seorang desainer ternama asal Bali, berencana melaporkan Lisa Marlina ke polisi.
Bukan tanpa alasan Ni Luh Djelantik melakukannya.
Dikutip dari akun Instagramnya, Ni Luh Djelantik menggunggah screen shot foto dan tweet dari pemilik akun @lisaboedi di Twitter.
Menurut Luh Djelantik, kicauan Lisa Marlina dianggap telah melecehkan martabat masyarakat Bali.
Baca Juga: Jefri Nichol Ditangkap Karena Pakai Ganja: Jangan Sampai Salah, Ini Efek Baik dan Buruk dari Ganja
Tak lama setelah screen shot ini viral, Lisa Marlina langsung meminta maaf di Twitter karena kurang hati-hati dalam menyampaikan pendapat dan telah melakukan typo saat terlalu emosi membalas pengguna Twitter lain.
Kasus yang menimpa Lisa Marlina sudah beberapa kali terjadi di Indonesia.
Jika Anda masih ingat, dulu ada kasus Florence Sihombing yang juga dianggap menghina warga Yogyakarta di media sosial Path.
Atau status yang diunggah Amelia Fitriani di akun Facebooknya pada Selasa (18/6/2019), di mana PNS tersebut dianggap menuliskan kalimat yang dinilai merendahkan profesi pembantu rumah tangga.
Sementara di luar negeri, juga ada banyak orang yang kehilangan pekerjaan dan harus berurusan dengan hukum karena unggahan yang salah di media sosial.
Kasus-kasus semacam ini membuat para ahli bertanya-tanya, mengapa kita susah bersikap bijak di media sosial dan malah jadi lebih agresif ketika hanya berhadapan dengan layar?
1. Kontrol diri yang menurun
Sebuah studi yang mempelajari perilaku pengguna Facebook oleh profesor Universitas Kolombia Keith Wilcox dan profesor Universitas Pittsburgh Andrew Stephen mengungkapkan bahwa media sosial memang menurunkan batas kontrol diri kita.
Efek ini paling terasa pada orang-orang yang jaringan Facebooknya terdiri dari teman-teman yang paling dekat.
Baca Juga: Jefri Nichol Ditangkap Karena Gunakan Ganja: Ini yang Terjadi pada Tubuh Jika Konsumsi Ganja
Dijelaskan dalam artikel Wall Street Journal, 2 Oktober 2012; hampir semua orang menampilkan citera yang melebihi diri asli di Facebook.
Ketika mendapat tanggapan positif, misalnya dalam bentuk “like”, ego kita pun naik dan kontrol diri menurun.
Wilcox mengatakan, anggap itu seperti efek perizinan: Anda merasa senang dengan diri Anda sendiri sehingga merasa memiliki hak.
Lantas untuk melindungi pandangan yang meningkat itu, beberapa orang kemudian membalas dengan keras terhadap orang-orang yang tidak sependapat.
2. Aksesibilitas
Selain kontrol diri yang rendah, aksesibilitas media sosial dari mana saja dan kapan saja juga membuat kita rentan mengunggah hal-hal yang tidak bijak hanya karena emosi sesaat, ujar Craig Blewett, dosen senior edukasi dan teknologi di University of KwaZulu-Natal Dalam artikelnya di The Conversation, 11 Januari 2017, Blewett menulis bahwa pada zaman pre-teknologi, seseorang yang ingin meluapkan kemarahannya harus mencari alamat koran lokalnya, menulis surat dan mengirimkannya.
Dalam jeda waktu tersebut, bisa jadi kemarahannya memudar. Hal ini jelas tidak sama dengan media sosial yang bersifat instan.
“Teknologi baru dengan aksesnya di mana-mana telah mengubah kita, sebagian besar tanpa kita sadari, dari konsumen konten pasif menjadi produser konten aktif.”
“Banyak orang secara siap berasimilasi dengan manfaat akses permanen ke sebuah platform publikasi, tetapi tidak cukup cepat untuk menyadari tanggung jawab yang menyertai peran sebagai penerbit konten,” tulisnya.
3. Tidak ada reaksi dari orang lain
Blewett juga berkata bahwa di dunia nyata, keberadaan fisik orang lain sering kali menjadi pembatas akan apa yang ingin kita katakan.
Nah, ketika hanya berhadapan dengan gadget, muncul ruang spasial antara pengunggah dan audiens yang membuat seseorang menjadi lebih berani untuk berekspresi.
Sependapat dengan Blewett, Sherry Turkle yang merupakan psikolog dan profesor ilmu sains dan teknologi dari Massachusetts Institute of Technology menjelaskan kepada Wall Street Journalbahwa kesulitan untuk melihat reaksi dari audiens membuat kita menjadi lebih tidak terkontrol di internet.
Lalu, karena kita sulit melihat dan fokus pada persamaan dengan orang lain ketika berada di internet, kita pun menjadi lebih mudah lupa bahwa audiens kita juga manusia.
4. Bicara di internet = bicara kencang di muka publik
Namun, mungkin kesalahan yang paling mendasar adalah kesalahpahaman publik akan media sosial.
Turkle berkata bahwa banyak orang tidak menyadari kalau berkomunikasi secara online sama saja dengan berbicara kencang di muka publik.
Apalagi ketika unggahan dibuat melalui ponsel, banyak orang merasa bahwa apa yang mereka publikasikan di internet tidak memiliki konsekuensi di dunia nyata.
Hal ini, ujar Blewett, karena orang salah menganggap media sosial sebagai buku harian.
Padahal, media sosial juga memberi kita eksposur sehingga daripada buku harian, menulis di media sosial lebih mirip dengan menulis surat ke editor sebuah koran, hanya saja kali ini publikasinya instan. (Shierine Wangsa Wibawa)
(Artikel ini telah tayang diKompas.comdengan judul "Viral Kicauan Lisa Marlina soal Bali, Alasan Kita Susah Bijak Bermedsos")