Ia tahu jika yang datang, membawa sedikit bantuan. Ia bercerita tentang nasib ibunya dan keluarganya.
Amur hidup tanpa mendapat perhatian dari pemerintah.
Sulihah berkata, hidupnya yang miskin, masih terbebani untuk merawat keluarganya sendiri dan ibunya.
Sedangkan Sumairah sendiri, sudah janda dan menganggur. Dirinya bekerja serabutan, menjadi kuli tani.
"Ibu saya kalau lapar sering teriak-teriak minta makan. Kalau kebetulan ada beras, saya memasaknya.
Kalau tidak ada beras, saya rebus ketela yang diambil di kebun," terang Sumairah.
Baca Juga: Punya Pisang di Rumah? Coba Bungkus Plastik pada Ujung Batangnya, Ini Hal Ajaib yang Akan Terjadi
Untuk kebutuhan belanja sehari-hari, Sumairah mengaku kadang seminggu hanya punya uang Rp 5.000.
Uang tersebut dibelanjakan untuk lauk ibunya. Untuk dirinya, sudah tidak dipikirkan.
Yang didahulukan adalah ibunya. "Kalau saya bisa kuat menahan lapar. Ibu saya teriak-teriak kalau lapar," imbuh Sumairah.
Berteriak dan menangis saat sakit lambung
Yang paling membingungkan, ketika Amur mengeluh sakit lambung.
Selain teriak-teriak, Amur juga sampai menangis karena menahan sakit.
Saat kondisi seperti itu, Sumairah harus pergi mencari utangan ke tetangganya untuk membeli obat pereda sakit lambung.
"Saya tidak tega kalau penyakit lambung ibu kambuh. Demamnya langsung naik. Meskipun utang, terpaksa saya jalani," ungkap Sulihah.
Suatu waktu, demam Amur tidak turun selama dua hari. Sumairah kebingungan.
Ia mengubungi adiknya, Sulihah. Keduanya memutuskan untuk mendatangkan seorang perawat di desanya.
Namun, segala biaya dan obat tidak ditarik biaya. Alasannya, perawat itu datang hanya sekedar membantu.
"Ada tetangga yang jadi perawat. Ia beberapa kali kami datangkan karena ibu sudah tidak bisa jalan. Alhamdulillah, perawat itu tidak pernah minta bayaran," ujar Sumairah.
Tidak ada perhatian pemerintah
Belakangan, ada beberapa orang yang prihatin dengan kondisi Amur.
Mereka datang menyalurkan bantuan kepada Amur. Bahkan ada sekelompok pemuda, datang memberikan bantuan alas kasur, sembako dan uang sekedarnya.
"Saya prihatin mendengar kehidupan Amur. Bersama kawan-kawan, saya kumpulkan uang untuk membantu Amur," ucap Fudholi, pemuda asal Kecamatan Palengaan, Pamekasan.
Bahkan, Fudholi dan kawan-kawannya, akan berusaha untuk merehab rumah tinggal Amur.
Baca Juga: Bobotnya Capai 150 Kg, Inilah Ikan Mas Raksasa Terbesar di Dunia yang Berhasil Ditangkap
Ia akan mengumpulkan donasi bersama kawan-kawannya.
"Mator kaso'on bentoana. Samoga etarema bik se kobesa Allah ta'ala. (Terima kasih bantuannya. Semoga diterima oleh Allah SWT)," kata Amur kepada Fudholi dengan bahasa Madura.
Hingga saat ini, belum pernah ada aparat dari desa atau kecamatan yang datang melihat kondisi Amur.
Namun demikian, Sulihah tidak mempersoalkannya. Hidup serba kekurangan, sudah lama dijalani Sulihah dan Amur serta anak-anaknya.
"Ada bantuan atau tidak ada, saya pasrah kepada Allah. Karena hidup dan mati itu di tanganNya," kata Sumairah.
Baca Juga: Tak Perlu Minder, Pasangan Suami Istri Tambah Gemuk Setelah Menikah Tanda Pernikahan Bahagia
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Pilu Nenek Amur, Sebatang Kara di Gubuk Reyot, Teriak-Teriak Saat Lapar..."
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR