Intisari-Online.com - “Siapa yang belum pernah menggambar?” teriak Galih Wismoyo Sakti (34) di depan sekitar 10-an anak-anak usia sekolah dasar pada suatu pagi di hari Sabtu awal Mei 2019. Beberapa tampak malu-malu mengangkat tangannya.
Anak-anak itu merupakan anak asuhan Komunitas River Rangers di wilayah
bantaran Sungai Ciliwung, Condet, Kramatjati, Jakarta Timur. Mereka berkumpul
di halaman rumah salah satu anggota komunitas River Rangers di sebuah kluster
perumahan di Condet.
“Awalnya kami mau berkumpul di markas River Rangers di bantaran Kali
Ciliwung. Cuma kemarin Kali Ciliwung meluap dan bantaran itu kerendam air dan
berlumpur. Kasihan anak-anak kalau harus menggambar di tempat seperti itu.
Makanya kami pindah ke sini,” kata Galih.
Kegiatan menggambar untuk anak-anak marjinal sudah menjadi acara rutin akhir
pekan Galih. Bersama Teddy Afif mereka mendirikan komunitas Kelas Gambar.
Misinya, menularkan virus gambar di kalangan anak-anak terpinggirkan yang tak
tersentuh oleh aktivitas menggambar.
Mengapa menggambar?
Baca Juga: Anti Stress, Citra Marina Meditasi Lewat Menggambar di Kereta
Berdampak positip
Yang pertama, karena Galih punya keterkaitan dengan dunia gambar
menggambar. Lulusan desain grafis Universitas Pelita Harapan (UPH),
Tangerang, Banten, dan arsitektur Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, ini
adalah dosen arsitektur di UPH dan Universitas Multimedia Nusantara.
“Itu yang bisa kami berikan. Kedua, seni sering dianggap tidak penting dalam
pendidikan tumbuh kembang anak. Khususnya di negara-negara berkembang
atau lingkungan tempat anak-nk itu tinggal. Bisa saja anak-anak itu bisa gambar
tapi bapak ibunya enggak tahu harus digimanakan bakat anak itu,” kata Galih.
Namun Galih menekankan bahwa pengenalan menggambar kepada anak-anak
itu tidak berhulu ke hasil karya yang bagus. Aktivitas menggambar bisa
meningkatkan kemampuan anak-anak dalam melihat sesuatu, observasi, lebih
sadar terhadap lingkungan. Lebih empati dengan lingkungan dan teman. Intinya
mengolah rasa melalui gambar.
“Mulainya pada bulan puasa tahun 2017. Kami awalnya mengadakan kelas
gambar untuk anak yatim di panti asuhan dekat rumah. Responsnya sangat baik,”
Galih menceritakan awal mula Kelas Gambar.
Virus gambar itu akhirnya semakin cepat menyebar ketika Kelas Gambar bekerja
sama dengan Rumah Faye. Melalui yayasan perlindungan anak korban
perdagangan anak yang didirikan oleh Faye Simanjuntak (cucu dari Menko Kemaritiman - Luhut Binsar Pandjaitan) ini, Kelas Gambar menyambangi anak-
anak marjinal.
“Rumah Faye memberikan kami akses ke komunitas anak-anak yang tak terjangkau sebelumnya dan lebih membutuhkan. Selain itu kegiatan kami juga menjadi rapi secara organisasi,” aku Galih.
Setelah jalan terbuka, akhirnya banyak komunitas yang mengajak kerja sama.
Akun Instagram yang diurus oleh Teddy Afif mulai ramai. “’Kelas Gambar bisa
datang ke tempat kami gak?’ Begitu kira-kira permintaan mereka. Kami pun
datang ke rumah pendampingan di Gambir, Jakarta Pusat, Ancol, Jakarta Utara.
Dan masih banyak lagi. Mungkin setelah kami mengadakan pameran juga sih.
Kami makin terekspos.”
(Pameran yang dimaksud Galih adalah pameran hasil karya 10 “anak didik” Kelas
Gambar yang tinggal di kolong jembatan Kampung Melayu Jakarta Timur.
Pameran bertajuk “Krayon Kami Karya Kami” itu diselenggarakan di Atrium Plaza
Indonesia, Jakarta Pusat, menampilkan 43 karya dan berlangsung pada 23
Februari – 3 Maret 2019).
“Yang membanggakan bagi kami, ternyata menggambar bisa mengubah, bukan
mengubah hidup, terlalu ambisius, bisa berdampak positif bagi anak-anak. Hal-hal
yang di awal tidak terpikirkan. Bahkan, menggambar bisa menjadi terapi juga,”
tutur Galih. Beberapa hal positif yang terbangun lewat menggambar misalnya rasa
percaya diri meningkat, juga peka dengan lingkungan sekitar.
Baca Juga: Jangan Dimarahi Jika Anak Hobi Menggambar di Dinding, Gunakan Trik Ini
Menggunakan objek
Soal terapi Galih punya cerita saat terjadi bencana gempa di Lombok Agustus
2018. Bersama Teddy, Galih memutuskan untuk mengadakan kelas gambar di
lokasi bencana. Sebenarnya, mereka sempat ragu terhadap apa yang mereka
lakukan itu.
“Pas kami datang ke Lombok, awalnya kami berpikir apakah kami memang cocok
datang ke Lombok untuk memberikan ‘kelas seni’? Karena selama ini, kan, yang
lebih dibutuhkan umumnya sembako atau kebutuhan primer lainnya,” ucap Galih
kepada kumparan.com.
Dengan modal sendiri, Galih dan Teddy terbang ke Lombok dua hari setelah
gempa bumi berkekuatan magnitudo 6,4 itu. Mereka mengaku mencapai daerah
Sidutan yang belum dijamah sama sekali oleh relawan nasional.
“Kami memberikan art therapy kepada anak-anak (terdampak bencana) di sini supaya bisa sejenak melupakan trauma yang pernah mereka alami setelah gempa atau kejadian-kejadian yang menimpa lingkungan mereka,” terang Galih.
Selain ke Lombok, Galih dan Teddy juga pernah menerapkan menggambar
sebagai terapi ke Batam. Di sini mereka menerapi anak-anak yang mengalami
trauma kekerasan seksual akibat perdagangan anak-anak.
Metode yang dipakai Teddy dan Galih tak rumit-rumit amat. Soalnya mereka
berhadapan dengan anak-anak yang hampir tak bersentuhan dengan seni.
Keduanya membawa objek tertentu, lalu anak-anak diminta untuk menggambar
objek tersebut. Objek gambar jumlahnya terbatas sehingga satu objek digunakan
oleh beberapa anak. Secara tidak langsung di sini anak-anak juga belajar
toleransi dengan teman-teman.
Lewat objek itu Galih ingin mengajarkan ke anak-anak untuk menggambar apa
yang mereka lihat. Memang, hasilnya tidak ada yang “sempurna”. Namun
setidaknya anak-anak akan berkata, “Oh, akhirnya aku bisa menggambar burung
misalnya. Meski masih belum mirip.”
Kemudian karena objek itu diletakkan di tengah-tengah kerumunan, anak-anak
juga belajar menghargai apa yang mereka dapat. Misal ada anak yang pingin
menggambar gajah dari depan, ternyata posisinya malah menghadap pantat. Mau
tidak mau ia harus menggambar pantat gajah.
“Tapi tak jarang mereka kaget sendiri dengan hasilnya. Kok gambar pantat gajah
bagus juga ya?” jelas Galih. Anak-anak pun belajar bersabar menunggu giliran
untuk bisa menggambar sesuai apa yang dia maui.
Baca Juga: Bryan Ware, Ayah Kreatif yang Mendaur Ulang Krayon untuk Pasien Rumah Sakit
Memilih krayon
Selain membagikan objek gambar, Galih dan tim Kelas Gambar juga membagi
krayon dan kertas gambar. Mengapa dipilih krayon? Menurut Galih, krayon bisa
meminimalisir ketakutan anak untuk menggambar pertama kalinya.
“Kalau pakai pensil misalnya, pertama bisa dihapus. Anak-anak akan merasa, oh
kalau salah bisa dikoreksi. Kedua, itu kecil sekali. Runcing. Kalau krayon selain
tebal, warnanya juga langsung terang. Dengan pensil karena bisa dihapus, anak
bisa saja menarik garis sampai sepuluh kali. Nah, dengan krayon mereka harus
belajar yakin. Sekali menarik garis ya tidak bisa dikoreksi. Dari sini mereka bisa
belajar sebuah proses yang terlihat. Oh kalau hari ini belum bagus, besok bisa
dicoba lebih bagus lagi,” Galih memberi alasan.
Krayon juga lebih fleksibel dibandingkan dengan cat air yang lebih sulit
pemakaiannya. Butuh air, butuh waktu untuk kering. Agak ribet. Jadi, pendekatan
awalnya adalah menggunakan krayon. Jika anak memiliki minat Kelas Gambar
akan mengajari dengan medium lain di tempat lokalatih mereka.
Awalnya peralatan gambar itu disediakan oleh Kelas Gambar. Seiring banyaknya
kegiatan, maka mereka pun membuka donasi untuk kebutuhan menggambar
seperti kertas gambar, krayon, atau cat air.
“Alhamdulillah sekarang ketika nama kami sudah mulai dikenal, banyak pihak yang memberi kami sumbangan. Tiap minggu ada saja krayon atau kertas gambar yang datang. Kaget juga kami.”
Pemberian alat gambar itu sangat berarti sebab alat-alat yang dibagikan saat
kelas menggambar itu boleh dibawa pulang anak-anak. “Mereka bisa berlatih di
rumah meski tidak kondusif. Yang jelas kami bisa punya opsi, oh krayon ini bisa
kalian pegang, bisa kalian simpan. Dan dari barang yang kecil ini bisa hadir karya
yang besar,” kata Galih.
Hasil karya mereka pun diapresiasi. Selama menggambar disemangati dengan
pujian. “Misalnya, selamat kamu bisa mengerjakan gambarmu. Kami mendorong
anak-anak untuk menghargai karya mereka. Jadi tidak langsung dibuang. Kita foto
satu-satu dan juga foto ramai-ramai dengan hasil karya mereka. Kalau kami
datang lagi, kami akan ajak beberapa ke basecamp kami.”
“Kami percaya dengan menggambar akan banyak sekali anak-anak Indonesia
yang bisa menunjukkan karya mereka akan menjadi ‘sesuatu hal’ nantinya,”
imbuh Teddy seperti dikutip kumparan.com.
Siapa yang belum pernah menggambar?
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | T. Tjahjo Widyasmoro |
KOMENTAR