Virus gambar itu akhirnya semakin cepat menyebar ketika Kelas Gambar bekerja
sama dengan Rumah Faye. Melalui yayasan perlindungan anak korban
perdagangan anak yang didirikan oleh Faye Simanjuntak (cucu dari Menko Kemaritiman - Luhut Binsar Pandjaitan) ini, Kelas Gambar menyambangi anak-
anak marjinal.
“Rumah Faye memberikan kami akses ke komunitas anak-anak yang tak terjangkau sebelumnya dan lebih membutuhkan. Selain itu kegiatan kami juga menjadi rapi secara organisasi,” aku Galih.
Setelah jalan terbuka, akhirnya banyak komunitas yang mengajak kerja sama.
Akun Instagram yang diurus oleh Teddy Afif mulai ramai. “’Kelas Gambar bisa
datang ke tempat kami gak?’ Begitu kira-kira permintaan mereka. Kami pun
datang ke rumah pendampingan di Gambir, Jakarta Pusat, Ancol, Jakarta Utara.
Dan masih banyak lagi. Mungkin setelah kami mengadakan pameran juga sih.
Kami makin terekspos.”
(Pameran yang dimaksud Galih adalah pameran hasil karya 10 “anak didik” Kelas
Gambar yang tinggal di kolong jembatan Kampung Melayu Jakarta Timur.
Pameran bertajuk “Krayon Kami Karya Kami” itu diselenggarakan di Atrium Plaza
Indonesia, Jakarta Pusat, menampilkan 43 karya dan berlangsung pada 23
Februari – 3 Maret 2019).
“Yang membanggakan bagi kami, ternyata menggambar bisa mengubah, bukan
mengubah hidup, terlalu ambisius, bisa berdampak positif bagi anak-anak. Hal-hal
yang di awal tidak terpikirkan. Bahkan, menggambar bisa menjadi terapi juga,”
tutur Galih. Beberapa hal positif yang terbangun lewat menggambar misalnya rasa
percaya diri meningkat, juga peka dengan lingkungan sekitar.
Baca Juga: Jangan Dimarahi Jika Anak Hobi Menggambar di Dinding, Gunakan Trik Ini
Menggunakan objek
Soal terapi Galih punya cerita saat terjadi bencana gempa di Lombok Agustus
2018. Bersama Teddy, Galih memutuskan untuk mengadakan kelas gambar di
lokasi bencana. Sebenarnya, mereka sempat ragu terhadap apa yang mereka
lakukan itu.
“Pas kami datang ke Lombok, awalnya kami berpikir apakah kami memang cocok
datang ke Lombok untuk memberikan ‘kelas seni’? Karena selama ini, kan, yang
lebih dibutuhkan umumnya sembako atau kebutuhan primer lainnya,” ucap Galih
kepada kumparan.com.
Dengan modal sendiri, Galih dan Teddy terbang ke Lombok dua hari setelah
gempa bumi berkekuatan magnitudo 6,4 itu. Mereka mengaku mencapai daerah
Sidutan yang belum dijamah sama sekali oleh relawan nasional.
“Kami memberikan art therapy kepada anak-anak (terdampak bencana) di sini supaya bisa sejenak melupakan trauma yang pernah mereka alami setelah gempa atau kejadian-kejadian yang menimpa lingkungan mereka,” terang Galih.
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | T. Tjahjo Widyasmoro |
KOMENTAR