Advertorial
Intisari-Online.com – Apakah Anda tahu apa itu depresi?
Depresi sering dikaitkan dengan gangguan jiwa. Atau malah beberapa orang menganggap mereka yang depresi adalah mereka yang ‘gila’.
Padahal bukan.
Menurut World Health Organization (WHO), depresi adalah suatu kondisi medis yang dapat dikategorikan dalam tiga jenis gejala, yaitu:
- Gejala terkait suasana hati (suasana hati yang buruk, minat yang rendah, kecemasan, motivasi yang rendah, dll)
- Gejala kognitif (gangguan konsentrasim kesulitan dalam membuat rencana, pelupa, lambat dalam menanggapi, dll)
- Gejala fisik (nyeri, gangguan tidur, gangguan nafsu makan, dll)
Hanya saja, definisi depresi tidak sesimple itu.
Walau depresi sering dikaitkan dengan suasana hati yang tidak baik. Terkadang gejala kognitif dan fisik bisa berkontribusi.
Menurut WHO juga pada tahun 2017, depresi menjadi salah satu penyakit mematikan di dunia yang menduduki peringkat 4 dunia.
Tercatat sekitar 300 juta orang dari populasi dunia menderita depresi dan diperkirakan bahwa setiap 40 detik terjadi kasus bunuh diri.
Memang tidak semua depresi menyebabkan seseorang memiliki keinginan bunuh diri. Namun hal ini tetap harus diwaspadai.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Dr. Eka Viora, SpKJ, yang ditemui IntisariOnline.com pada acara Lundbeck Regional Symposium di Jakarta Pusat pada Sabtu (22/6/2019) mengatakan bahwa ada seorang wanita yang bisa bekerja, bisa menjaga anaknya di rumah, dan bisa membersihkan rumah yang baik juga bisa mengalami depresi.
Seperti dia merasa sedih seharian atau merasa tidak mood seharian.
Artinya, dari fisik mungkin dia terlihat normal, namun kita tidak tahu bagaimana kondisi kejiwaannya.
Inilah yang membuat terkadang perawatan terhadap pasien depresi terlambat.
Selain kita tidak tahu apa gejala depresi, kita juga memandang stigma soal depresi yang berbeda-beda dan terkesan mengucilkannya.
Padahal penderita depresi membutuhkan kita untuk membantu mereka terlepas dari depresi.
“Cara kita membantu mereka sebenarnya mudah, yaitu hanya dengan mendengarkannya. Tanpa memotong. Biarkan pasien bercerita,” ucap Dr. Eka Viora.
Memang di Indonesia, kesadaran orang tentang depresi masih sangat rendah.
Padahal penderita depresi bisa pulih sepenuhnya dan bisa kembali ke lingkungan sosial yang normal.
“Sebab depresi dapat diobati dan dikontrol,” tegas DR. Dr. Margarita Maramis, SpKJ (K), Ketua Divisi Mood Disorder Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) yang ditemui dalam acara yang sama.
Melihat pentingnya pengobatan depresi, dari sanalah Lundbeck, sebuah perusahaan farmasi multinasional asal Denmark, berupaya untuk mengembangkan pengobatan untuk para penderita depresi.
Dengan adanya acara ini, mereka ingin menghapus stigma buruk atau salah soal depresi dan meminta kita bersama-sama untuk membantu para penderita depresi.
Sebab, jika para penderita depresi ini dibiarkan dan tidak mendapat pengobatan, maka ada beberapa konsekuensi yang bisa dia dapatkan, seperti:
- Memilih menyelesaikan masalah dengan menggunakan narkoba.
- Bolos kerja dan lama-lama kelaaam mereka berhenti bekerja.
- Dan jika semakin dibiarkan, maka mereka akan jauh dari kehidupan sosial masyarakat.
Jadi, ayo sama-sama kita meningkatkan perhatian pada depresi. Tidak perlu jauh-jauh. Mulai dari diri sendiri, keluarga, hingga teman.