Advertorial

Belajar dari Pilpres 2014: Rakyat Tahu yang Kasar dan Curang

Natalia Mandiriani
,
T. Tjahjo Widyasmoro

Tim Redaksi

Dan jangan lupa, penonton alias masyarakat juga bisa tahu menilai, siapa yang mainnya kasar dan curang.
Dan jangan lupa, penonton alias masyarakat juga bisa tahu menilai, siapa yang mainnya kasar dan curang.

Intisari-Online.com - Apakah kita patut khawatir dengan kondisi "perpecahan" masyarakat akibat Pilpres 2014?

Sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, melihatnya santai.

“Kalau peserta pemilu mengerucut menjadi dua seperti sekarang ini, ya seperti ini wajar terjadi. Di Amerika juga begitu kok,” tutur dia.

Suasana saat ini, tambah Imam, seakan-akan tegang karena pembicaraan kita tidak dibatasi isu SARA seperti dulu.

Baca Juga: Caleg Gagal Bongkar Paksa 4 Makam Keluarganya Sendiri karena Tak Dapat Dukungan saat Pemilu 2019

“Sekarang jadi lebih bebas jadi ini menjadi semacam tumpahnya.”

Adanya kampanye negatif (bukan black campaign) dari tim sukses calon presiden yang kemudian diteruskan oleh para pendukungnya, Imam juga melihatnya masih wajar.

Ibaratnya, dalam pertandingan sepakbola yang seru juga selalu ada sliding tackle.

Teknik merebut bola dari lawan itu masih diperbolehkan asalkan tidak membahayakan.

Nah, di sinilah, kata Imam, dibutuhkan wasit yang adil. Tentu dalam hal ini Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Dan jangan lupa, penonton alias masyarakat juga bisa menilai, siapa yang mainnya kasar dan curang.

Hanya saja, Imam merasa situasi semacam ini janganlah kelamaan. Terlalu lama malah bikin khawatir.

Baca Juga: Usai Dilantik Jadi Presiden, 'Komedian' yang Menang Pemilu Ini Langsung Bubarkan Parlemen Negara

“Untungnya sudah jelas jadwalnya. Soalnya kalau di Amerika, kita tahu setelah terjadi perdebatan, maka tidak akan terjadi apa-apa. Kalau di Indonesia, kita tidak tahu. Tapi janganlah sampai terjadi konflik,” tutur sosiolog yang selalu terjun ke daerah dan bersentuhan dengan masyrakat kecil ini.

Ahli psikologi politik Hamdi Muluk juga melihat situasinya masih aman dan terkendali.

Masyarakat tidak terpecah walau kelihatannya saja saling berbeda pendapat.

Janganlah mengambil kesimpulan hanya dari melihat ketegangan yang seolah-olah terjadi di media sosial.

“Itu namanya hanya melihat dari satu sisi saja. Media sosial bukan representasi situasi yang sebenarnya dari masyarakat,” kata dia yakin.

Baca Juga: Saring Dahulu Sebelum Sharing, Cerdaslah, Jangan Jadi Pecundang di Media Sosial

Artikel ini telah tayang di Majalah Intisari dengan judul “Dewasa Berpolitik Bukan Gaya Pangkalan Becak” oleh T.Tjahjo Widyasmoro

Artikel Terkait