Advertorial

Belajar dari Pilpres 2014: Apakah Pertemanan Terancam Bubar?

Natalia Mandiriani
,
T. Tjahjo Widyasmoro

Tim Redaksi

Perbedaan pendapat meruncing gara-gara Pemilihan Umum Presiden 2014? Ah, tidak juga. Masyarakat kita
Perbedaan pendapat meruncing gara-gara Pemilihan Umum Presiden 2014? Ah, tidak juga. Masyarakat kita

Intisari-Online.com - Perbedaan pendapat meruncing gara-gara Pemilihan Umum Presiden 2014?

Ah, tidak juga. Masyarakat kita sudah mandiri dalam berpikir dan bertindak, asalkan elite politiknya juga tidak memancing di air keruh.

Ada-ada saja ulah dua tukang becak di Pamekasan, Madura, ini.

Seperti ramai diberitakan media online, awal juni 2014, ada dua tukang becak namanya Saleh dan Suto yang berantem cuma gara-gara capres pilihannya di Pilpres 2014 berbeda.

Saleh pendukung Prabowo-Hatta, sementara Suto menjagokan Jokowi-JK.

Baca Juga: Begini Tanggapan Prabowo Atas Pengumuman Hasil Pilpres 2019 yang Diumumkan KPU

Cerita kompletnya, seperti ditulis Kompas.com, awalnya dua tukang becak yang biasa mangkal di simpang empat Jalan Kemuning, Kelurahan Barurambat Kota, Pamekasan, saling menghujat capres jagoan masing-masing.

Lalu karena situasi memanas dan Suto merasa capres jagoannya dihina, plak! Ia langsung melayangkan tinju ke Saleh.

Meski sudah mendapat jatah bogem mentah, Saleh tidak membalas.

Perdebatan ala perempatan jalan dianggap selesai. Kebetulan, rekan-rekan sesama pembecak juga segera melerai keduanya.

Saleh pun akhirnya berlalu bersama becaknya, tentu dengan hati dongkol.

Baca Juga: Hasil Resmi Pilpres 2019: KPU Tetapkan Jokowi-Ma'ruf Menang Atas Prabowo Sandi

Hangatnya suasana menjelang Pilpres tahun 2014 bukan cuma dirasakan di pangkalan becak di Pamekasan.

Di berbagai tempat, perseteruan dukung-mendukung calon presiden seperti halnya Saleh dan Suto juga terjadi (minus pukul-pukulan saja).

Semua orang yang melek informasi, kini seakan-akan sudah memiliki jagoannya masing-masing.

Wajar jika kemudian mereka merasa pilihannyalah yang paling benar dan wajib dibela.

Baca Juga: Seorang 'Pelawak' Menangi Pilpres Ukraina Berdasarkan Hasil Quick Count, Petahana Langsung Akui Kekalahan

Menariknya, orang-orang ini bukanlah kelompok yang menjadi bagian langsung pendukung para capres seperti kader partai, organisasi massa, atau relawan.

Mereka cuma masyarakat awam.

Tapi senggol-senggolan antar-“massa mengambang” ini bisa terjadi di tempat kerja, di warung kopi, di paasr, bahkan di rumah sendiri antaranggota keluarga.

Persaingan yang lebih seru terjadi di dunia maya, khususnya media sosial.

Baca Juga: Debat Pilpres Pakai Bahasa Inggris: Ini Peringkat Orang Indonesia Terkait Kemampuan Bahasa Inggris

Pemihakan terhadap capres jagoan muncul dari status-status atau postingan dari yang malu-malu atau maunya “bijaksana”, sampai ke tingkat vulgar dan menghina.

Sebagai bukti, cobalah tengok Twitter, Instagram, sampai Facebook (yang katanya anak-anak muda sudah basi banget, tapi timeline-nya masih terus bergerak seru).

Lucunya lagi, jika “perang” sudah mencapai titik didih dan sudah saling berseberangan, akhirnya malah bisa terjadi putus hubungan pertemanan di sosial media dengan saling meng-unfriend atau unfollow.

Tak jelas, apakah nanti pertemanan di dunia nyata juga bakal terkena imbasnya.

Baca Juga: Kawan, Jangan Rusak Pertemanan Gara-gara Postingan di Medial Sosial

Artikel ini telah tayang di Majalah Intisari dengan judul “Dewasa Berpolitik Bukan Gaya Pangkalan Becak” oleh T.Tjahjo Widyasmoro

Artikel Terkait