Advertorial
Intisari-Online.com – Setelah menjalani perawatan di National University Hospital, Singapura selama kurang lebih 3 bulan, Ani Yudhoyono berpulang ke pangkuan Tuhan.
Istri dari Presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut meninggal duniapada tanggal 1 Juni 2019 pukul 11.50 waktu Singapura.
Ani Yudhyono meninggal dunia di usia 66 tahun setelah berjuang melawan kanker darah atau leukemia.
Sebagaimana sudah diketahui, Ani Yudhoyono menjalani perawatan di Singapura sejak Februari 2019 setelah divonis menderita kanker darah.
Kanker kini bukan lagi penyakit yang mengerikan.
Bahkan, penyakit kanker darah atau leukimia yang dulu menjadi vonis mati kini sudah dapat diobati sehingga kualitas hidup dan harapan hidup pasien kian besar.
Harapan untuk bertahan hidup itu menjadi semangat para penderita kanker dalam menjalani hidupnya.
Seperti dilansir dari kompa.com (8/2/2010), Natalia Romin (38), misalnya, penderita chronic myeloid leukemia (CML) ini telah menjalani pengobatan sejak tahun 2007.
CML merupakan penyakit kanker pada darah yang diakibatkan ketidaknormalan gen kromosom.
Ibu empat anak ini didiagnosis terkena CML pada tahun 2006.
"Sepanjang tahun 2007 saya bolak-balik masuk rumah sakit. Fisik dan mental drop, apalagi bila mengingat anak-anak saya," paparnya.
Ketika penyakitnya bertambah buruk, ia mengalami pembesaran limpa.
"Perut saya membesar seperti orang hamil, pada saat itu saya semakin frustasi dan kehilangan harapan," ujarnya.
Beruntung pada akhir tahun 2007 ia mendapat informasi mengenai obat untuk penyakit CML yang dideritanya, yakni imatinib.
Sejak mengonsumsi obat tersebut, berangsur-angsur kondisinya mulai pulih.
"Tak ada yang lebih saya syukuri lagi karena sekarang saya bisa beraktivitas normal dan merawat anak-anak, meski dalam tubuh saya ada kanker," ujarnya.
Perjuangan melawan kanker juga dilakukan oleh Antonius Harjono (41).
Pria asal Surabaya ini mengaku sangat takut saat dokter memvonis dirinya terkena CML.
"Pada saat itu dokter tidak memberi penjelasan tentang penyakit ini, hanya disebutkan ini jenis leukemia dan ini membuat saya tambah stres," kata pria yang bobotnya sempat susut drastis ini.
"Sebelumnya saya termasuk orang yang sangat sehat, bahkan sakit flu pun jarang. Jadi saya sangat kaget dinyatakan kena penyakit CML."
"Apalagi kalau mengingat anak-anak dan keluarga, saya tambah sedih," kata Harjono lirih.
Berkat dukungan keluarga dan teman-temannya, terutama sesama penderita kanker, Harjono mampu bangkit.
Tekadnya untuk sembuh semakin kuat setelah melalui masa-masa pengobatan.
"Kini setiap hari saya harus minum obat. Motivasinya adalah ingin sembuh dan melawan kanker," katanya.
Menurut dr Made Putra Sedana, Sp PD, KHOM, konsultan penyakit darah dan kanker dari RSUD Dr Soetomo Surabaya, CML terjadi pada 15-20 persen pasien leukemia dewasa.
"Sebanyak 80 persen penyakit ini ditemukan pada fase kronik," katanya.
Gejala klinis CML antara lain merasa sering lelah, berat badan turun drastis, rasa penuh pada perut, dan pembesaran limpa.
Namun, 50 persen penyakit CML tidak bergejala.
Tanda lain yang menguatkan diagnosis adalah hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan peningkatan sel darah putih (leukosit) dan trombosit.
Imatinib merupakan satu-satunya terapi yang disetujui untuk digunakan pasien yang baru didiagnosis menderita CML dan berada dalam fase kronis.
Ini merupakan terapi yang direkomendasikan oleh berbagai lembaga kedokteran internasional. (acandra) Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Leukemia Bukanlah Vonis Mati"