Di kemudian hari, Munir mengungkapkan bahwa nilai egaliter yang ia pegang teguh berawal dari kehidupan di pasar.
"...Intepretasi hubungan manusia yang saya miliki ya mengacu pada pasar. Orang yang paling egaliter itu kan pedagang kecil di pasar."
"Cara menghargai orang, cara berhubungan, komunikasi, nilai, macem-macem itu, ya di pasar."
"Itu memengaruhi saya karena sejak TK saya sudah di pasar," tutur Munir.
Kehidupan yang sulit membentuk Munir menjadi sosok yang temperamental dan keras.
Ia menuturkan bahwa secara intuitif ia akan membela anak "biasa-biasa saja" yang dikeroyok oleh "anak sok kaya atau sok mentreng-mentreng" kendati ia tak mengenal mereka.
Munir tidak nakal tetapi jika diganggu, ia tak keberatan berkelahi.
Saat kuliah, ia juga pernah memukul seseorang sampai orang itu masuk rumah sakit.
"Dia itu berantemnya profesional, bukan berantem sembarangan. Berantemnya spesifik, dia enggak bisa melihat sesuatu yang enggak benar bagi dia."
"Dia berani, apa pun risikonya, walaupun berantemnya enggak seimbang," begitu cerita Jamal, adik Munir dalam Bunga Dibakar, sebuah film yang didedikasikan untuk Munir.
Jika ketika kecil amarahnya terhadap ketidakadilan dia ungkapkan dalam rupa bogem mentah, saat dewasa rasa geramnya diluapkan dalam tindakan yang elegan yakni mendirikan institusi yag memperjuangkan hak asasi manusia.
Cintanya pada sesama membuahkan banyak kisah menarik.
Pencuri buru-buru mengembalikan motor yang dicurinya begitu tahu pemiliknya adalah Munir.
Munir pernah mendatangi seseorang di Pamulang untuk suatu urusan.
Hanya gara-gara didatangi Munir yang top banget, orang yang semula dipandang sebelah mata oleh pada tetangga karena miskin, mendadak naik derajat.
Baca Juga: Curhat Cak Munir tentang Maling yang Kembalikan Motornya Setelah Tahu Ia Pembela Rakyat Kecil
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | Natalia Mandiriani |
Editor | : | T. Tjahjo Widyasmoro |
KOMENTAR