Munir lantas didaulat menjadi saksi pernikahan anaknya untuk mendongkrak martabat keluarga. Biar miskin tapi keren, begitu mereka berpikir.
Munir memang keren jika definisi keren adalah "rela mempersembahkan hidup untuk kepentingan orang banyak".
Namun jika definisi keren mengacu pada nilai-nilai di zaman modern yang sangat konsumtif, yaitu punya materi melimpah, jelas sekali Munir tidak ada keren-kerennya sedikitpun.
Ia dikenal terbiasa pakai barang murah. Walau terkadang punya rezeki berlebih, ia tetap saja tak foya-foya.
Hal itu rupanya berakar pada sebuah peristiwa yang ia alami saat duduk di kelas 4 SD. Ketika itu, ia melihat beberapa mobil diparkir di tepi jalan.
Didorong rasa kagum sekaligus iseng, ia mengusap-usap badan mobil tersebut. Ayahnya mendadak mengamuk.
...Aku enggak tahu kalo di seberang jalan ternyata ada Bapakku, ngamuknya minta ampun... dianggap mengagumi kemewahan, kekayaan, menghina.
"Kau sudah tidak menghargai aku sebagai orangtua tapi kau lebih menghargai orang karena barangnya!!!"
"Anak kecil dibegitukan, wah itu marahnya keras dan itu memengaruhi cara berpikir. Nilai itu masuk."
"Enggak berani aku mengagumi, waduhh... itu mewah... waduh, enggak berani. Ngomong megang, enggak berani. Selesai".
Artikel ini telah tayang di Majalah Intisari dengan judul "Manusia Biasa Itu Bernama Munir", ditulis oleh Meicky Shoreamanis Panggabean, Dosen Universitas Pelita Harapan Teachers College.
Baca Juga: Kasus Munir Adalah Tantangan Bagi Jokowi
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | Natalia Mandiriani |
Editor | : | T. Tjahjo Widyasmoro |
KOMENTAR