Advertorial

Munir Juga Manusia Biasa yang Penakut: Enggak Berani Sama Bapak

Natalia Mandiriani
T. Tjahjo Widyasmoro

Tim Redaksi

Kecintaan Munir terhadap keadilan dan kemanusiaan bisa kita telusuri lewat kehidupan Ibu Jamilah atau Umi, begitu beliau dipanggil.
Kecintaan Munir terhadap keadilan dan kemanusiaan bisa kita telusuri lewat kehidupan Ibu Jamilah atau Umi, begitu beliau dipanggil.

Intisari-Online.com - "Cinta adalah apa yang tersisa setelah api jatuh cinta padam", begitu kata pepatah.

Cinta dan romance adalah dua hal yang kerap berbeda dan Munir serta Suciwati mengerti bahwa cinta bukanlah rasa meletup-letup ala film Hollywood.

Cinta bagi mereka bukan hanya kegiatan fisik dua manusia.

Cinta punya implikasi yang luas: membangun masyarakat. Memperkuat bangsa. Berbakti kepada Tuhan melalui pengabdian untuk sesama.

Baca Juga: Aktivis Anti Kekerasan Munir Thalib Ternyata Ketularan Suka Musik Klasik Gara-gara si Kecil

Kecintaan Munir terhadap keadilan dan kemanusiaan bisa kita telusuri lewat kehidupan Ibu Jamilah atau Umi, begitu beliau dipanggil.

Terkesan intelek tanpa pernah mengecap pendidikan formal sedikitpun.

Perempuan tangguh ini berhasil mendidik -bukan sekadar membesarkan- tujuh anak, seorang diri.

Waktu Munir berusia 11 tahun, sebuah dokar yang ditarik sapi menabrak mobil yang ditumpangi ayahnya.

Setelah seminggu dirawat di RS, Abah -panggilannya-, akhirnya mengembuskan napas terakhir.

Umi lantas bahu-membahu dengan anak-anaknya menjaga toko sepatu milik keluarga. Munir kecil juga belajar melayani pembeli.

Tawar-menawar harga lantas menjadi bagian integral dari kesehariannya.

Baca Juga: Munirpad, Nama Jalan Sepeda di Belanda untuk Menghormati Pejuang HAM Munir

Di kemudian hari, Munir mengungkapkan bahwa nilai egaliter yang ia pegang teguh berawal dari kehidupan di pasar.

"...Intepretasi hubungan manusia yang saya miliki ya mengacu pada pasar. Orang yang paling egaliter itu kan pedagang kecil di pasar."

"Cara menghargai orang, cara berhubungan, komunikasi, nilai, macem-macem itu, ya di pasar."

"Itu memengaruhi saya karena sejak TK saya sudah di pasar," tutur Munir.

Kehidupan yang sulit membentuk Munir menjadi sosok yang temperamental dan keras.

Ia menuturkan bahwa secara intuitif ia akan membela anak "biasa-biasa saja" yang dikeroyok oleh "anak sok kaya atau sok mentreng-mentreng" kendati ia tak mengenal mereka.

Munir tidak nakal tetapi jika diganggu, ia tak keberatan berkelahi.

Saat kuliah, ia juga pernah memukul seseorang sampai orang itu masuk rumah sakit.

"Dia itu berantemnya profesional, bukan berantem sembarangan. Berantemnya spesifik, dia enggak bisa melihat sesuatu yang enggak benar bagi dia."

"Dia berani, apa pun risikonya, walaupun berantemnya enggak seimbang," begitu cerita Jamal, adik Munir dalam Bunga Dibakar, sebuah film yang didedikasikan untuk Munir.

Jika ketika kecil amarahnya terhadap ketidakadilan dia ungkapkan dalam rupa bogem mentah, saat dewasa rasa geramnya diluapkan dalam tindakan yang elegan yakni mendirikan institusi yag memperjuangkan hak asasi manusia.

Cintanya pada sesama membuahkan banyak kisah menarik.

Pencuri buru-buru mengembalikan motor yang dicurinya begitu tahu pemiliknya adalah Munir.

Munir pernah mendatangi seseorang di Pamulang untuk suatu urusan.

Hanya gara-gara didatangi Munir yang top banget, orang yang semula dipandang sebelah mata oleh pada tetangga karena miskin, mendadak naik derajat.

Baca Juga: Curhat Cak Munir tentang Maling yang Kembalikan Motornya Setelah Tahu Ia Pembela Rakyat Kecil

Munir lantas didaulat menjadi saksi pernikahan anaknya untuk mendongkrak martabat keluarga. Biar miskin tapi keren, begitu mereka berpikir.

Munir memang keren jika definisi keren adalah "rela mempersembahkan hidup untuk kepentingan orang banyak".

Namun jika definisi keren mengacu pada nilai-nilai di zaman modern yang sangat konsumtif, yaitu punya materi melimpah, jelas sekali Munir tidak ada keren-kerennya sedikitpun.

Ia dikenal terbiasa pakai barang murah. Walau terkadang punya rezeki berlebih, ia tetap saja tak foya-foya.

Hal itu rupanya berakar pada sebuah peristiwa yang ia alami saat duduk di kelas 4 SD. Ketika itu, ia melihat beberapa mobil diparkir di tepi jalan.

Didorong rasa kagum sekaligus iseng, ia mengusap-usap badan mobil tersebut. Ayahnya mendadak mengamuk.

...Aku enggak tahu kalo di seberang jalan ternyata ada Bapakku, ngamuknya minta ampun... dianggap mengagumi kemewahan, kekayaan, menghina.

"Kau sudah tidak menghargai aku sebagai orangtua tapi kau lebih menghargai orang karena barangnya!!!"

"Anak kecil dibegitukan, wah itu marahnya keras dan itu memengaruhi cara berpikir. Nilai itu masuk."

"Enggak berani aku mengagumi, waduhh... itu mewah... waduh, enggak berani. Ngomong megang, enggak berani. Selesai".

Artikel ini telah tayang di Majalah Intisari dengan judul "Manusia Biasa Itu Bernama Munir", ditulis oleh Meicky Shoreamanis Panggabean, Dosen Universitas Pelita Harapan Teachers College.

Baca Juga: Kasus Munir Adalah Tantangan Bagi Jokowi

Artikel Terkait