Advertorial
Intisari-Online.com – Hermawan Susanto (25), pria mengancam akan memenggal kepala Jokowi saat berdemonstrasi di depan Gedung Bawaslu beberapa waktu lalu, sudah ditangkap dan mengaku bersalah.
Ia juga langsung ditetapkan tersangka oleh Polda Metro Jaya dalam kasus tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara dan tindak pidana ITE dengan modus pengancaman pembunuhan terhadap Presiden RI.
Alhasil, kini Hermawan terancam hukuman mati.
Hal ini berdasarkan Pasal 104 KUHP tentang keamanan negara yang mengancam keselamatan presiden dan wakil presiden atau Pasal 27 ayat 4 junto pasal 45 ayat 1 UU RI nomot 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI no 11 tahun 2008 tentang ITE.
Baca Juga : Ini Dia Warga Negara yang Paling Banyak Belanja Selama Haji dan Umroh, Adakah Indonesia?
Pasal 104 KUHP menyebutkan,makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Adapun pasal 27ayat 4 junto pasal 45 ayat 1 UU RI nomot 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI no 11 tahun 2008 tentang ITE mengatur ancaman pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dengan pidana penjara paling lama paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta.
Terlepas dari kasus Hermawan Susanto dan soal keadilan, proses kematian pada hukuman mati memang terkadang menimbulkan kengerian dan kepiluan.
Oleh karena itu, di AS terpidana bisa memilih cara kematiannya.
Tulisan ini pernah dimuat diIntisariedisi April 2003 dengan judul asliHukuman Mati: Kengerian di Ujung Ajal, yang ditulis oleh G. Sujayanto. Simak bagaimana detik-detik ajal orang menjalankan hukuman mati.
--
Waktu menunjuk pukul 04.30. Suasana gelap dan sunyi masih menyergap kota Pamekasan di awal Januari 1980. Namun, ketegangan sudah terasa di dalam bui kota itu.
Para petugas tengah sigap menggelandang seorang pesakitan ke luar kota untuk dihadapkan ke depan regu tembak. Bobby, begitulah nama yang sengaja disamarkan.
Ia diikat pada dua buah tiang yang di tengahnya diberi celah selebar 10 cm. Tepat di belakang celah tiang itu ditumpuk karung-karung pasir.
Dua bola matanya sudah ditutup kain merah. Sementara kepalanya diselubungi dengan kantung.
Pada telapak kaki diletakkan sebilah papan. Dedaunan kelor sengaja disebarkan sebagai penawar seandainya sang terhukum menggunakan jimat.
Regu tembak yang terdiri atas 12 orang tamtama dan seorang bintara pun sudah menempati posisinya.
Jarak yang memisahkan mereka 6 m. Salah seorang dari mereka berdiri di belakang regu tembak sambil memegang lampu senter untuk menerangi terhukum.
Baca Juga : 7 Kesalahan yang Sebabkan Wanita Jomblo Sulit Dapatkan Pacar, Salah Satunya Tidak Balas Chat!
Tak jauh dari mereka, berdiri dokter, dan petugas penjara.
Komandan regu tembak berdiri agak ke samping dengan memegang sebilah pedang. Dari tempatnya, sang komandan memberi aba-aba siap tembak dengan ayunan sebilah pedang.
Dor …. dor… dor! Berondongan senapan menyalak di pagi buta.
Kepala Bobby langsung menunduk. Suasana kembali sepi. Dokter yang sudah disiapkan memeriksa si terpidana mati. Bobby pun dinyatakan telah meninggal.
Begitulah seorang saksi mata yang ikut dalam keseluruhan proses eksekusi itu menceritakan peristiwa itu kepadaIntisari.
Tiga kombinasi obat
Sesuai ketentuan, hukuman mati dengan cara ini dilakukan dengan menyuntikkan cairan yang merupakan kombinasi tiga obat.
Pertama,sodium thiopentalatausodium pentothal, obat bius tidur yang membuat terpidana tak sadarkan diri.
Lantas disusul denganpancuronium bromide, yang melumpuhkan diafragma dan paru-paru. Ketiga,potassium chlorideyang membikin jantung berhenti berdetak.
Pada saat eksekusi, terpidana dibawa ke ruangan khusus; ditidurkan, serta diikat pada bagian kaki dan pinggang. Sebuah alat dipasang di badan untuk memonitor jantung yang disambungkan denganpencetak yang ada di luar kamar.
Ketika isyarat diberikan, 5 gsodium pentothaldalam 20 cc larutan disuntikkan lewat lengan. Lalu diikuti oleh 50 ccpancuronium bromide, larutan garam, dan terakhir 50 ccpotassium chloride.
Kelihatannya mudah. Namun, banyak hal tak terduga bisa terjadi. Dalam beberapa kasus pembuluh darah sukar didapat atau peralatan tidak pas menembus pembuluh darah.
Untuk mengurangi penderitaan banyak negara bagian mengizinkan pemberianthorazinesebagai obat penenang dalam suntikan.
Selain suntikan, hukuman mati dengan kursi listrik juga banyak dipilih. Terpidana diikat pada kursi listrik yang terbuat dari kayu oak yang diletakkan di atas bantalan karet tipis dan dibaut pada ubin cor.
Pangkuan, leher, lengan, dan lengan bawah terhukum diikat dengan tali kulit. Gelang kaki sampai betis diikat dengan tali sepatu berspons tempat elektrode dipasang.
Wajah terdakwa disembunyikan dengan tutup kepala yang tersusun atas dua lapis logam dan kulit.
Bagian logam dibikin seperti saringan kawat tempat elektrode dipasang. Spons basah ditempatkan antara elektrode dan kulit kepala.
Eksekusi dijalankan dalam tiga tahap. Pertama dengan mengalirkan listrik berkekuatan 2.300 V (9,5 A) selama delapan detik, dilanjutkan 1.000 V (4 A) selama 22 detik, dan diakhiri dengan gelontoran arus 2.300 V (9,5 A) dalam delapan detik.
Ketika satu tahapan itu dinyatakan selesai, tombol utama dilepas. Bila terpidana belum juga meninggal, maka tahapan itu diulang sekali lagi.
Gantung lebih cepat
Pada hukuman gantung mula-mula tali gantungan disiapkan lengkap dengan talinya. Panjang tali gantungan diukur menurut bobot badan, umur, serta besar tubuh korban.
Biasanya antara 1,5 – 2 m. Di bagian bawah tiang gantungan atau alasnya, yang dibuat lebih tinggi dari lantai, terdapat papan yang bisa membuka ke bawah dengan tiba-tiba.
Menjelang eksekusi, ujung tali dilingkarkan ke leher korban dengan kuat, tapi tidak mencekik, dan simpul besarnya terletak pada sudut dagu.
Pada keadaan ini, panjang tali jauh melebihi jarak antara leher dengan pangkal tali di atas, sehingga korban tidak dalam posisi tergantung.
Begitu eksekusi dilaksanakan, alas akan membuka secara cepat. Korban meluncur ke bawah dan terhenti secara tiba-tiba akibat entakan tali yang telah teregang.
Menurut Dr. Djaja Surya Atmadja padaIntisariApril 1990, entakan yang kerasnya sudah diperhitungkan itu akan membuat korban meninggal seketika akibat patahnya tulang leher dan putusnya sumsum tulang belakang.
Soalnya, sumsum tulang belakang merupakan penghubung otak sebagai pusat koordinasi seluruh aktivitas tubuh dengan tubuh yang diaturnya.
Seluruh saraf kita melewati jalur tunggal ini, termasuk saraf pengatur denyut jantung dan pernapasan. Jika jalur ini putus, maka hilang juga koordinasi otak, sehingga jantung, dan paru-paru akan terhenti.
Patahnya tulang leher biasanya terjadi antara ruas ke-2 dan 3 atau ke-3 dan 4.
Kadang-kadang pembuluh nadi leher dalam (karotis interna) akan terobek melintang dan bagian rawan gondok di leher pun bisa patah.
Dengan demikian, kematian pada korban hukuman gantung biasanya akan lebih cepat dan relatif tanpa penderitaan jika dibandingkan dengan gantung diri.
Bagitulah, hukuman mati terasa kejam dan memilukan. Tapi itu pasti tidak terpikirkan tatkala mereka melakukan kejahatan. (K. Tatik Wardayati)
Baca Juga : Penyakit Cacar Monyet Ditemukan di Singapura: Apa Itu Cacar Monyet dan Seberapa Bahayanya Bagi Kita?