Advertorial
Intisari-Online.com - Tahun 2015 saat Indonesia bersiap eksekusi 11 tahanan, termasuk dua warga Australia, dan seorang warga Brasil, hukuman mati telah menjadi sorotan.
Eksekusi dilakukan karena pemerintah telah menyatakan tidak akan ada ampun bagi mereka yang dihukum karena pelanggaran narkoba.
Dilansir dari The Guardian, seorang polisi yang menjadi bagian dari regu tembak telah membagi kisahnya.
"Menarik pelatuk adalah bagian yang mudah, bagian terburuk adalah sentuhan kemanusiaan," katanya.
Tindakan eksekusi dilakukan pada pembukaan hutan di Nusa Kambangan.
Satu tim ditugaskan untuk mengawal dan membelenggu para tahanan, tim keduanya adalah regu tembak.
Lima petugas Brimob ditugaskan untuk masing-masing tahanan, untuk mengawal mereka dari sel isolasi di tengah malam dan menemani mereka ke tempat terbuka.
Algojo itu mengatakan bahwa tahanan dapat memilih untuk ingin menutupi wajah mereka sebelum mereka diikat.
Beberapa saat sebelumnya, tahanan juga memiliki pilihan untuk mencari penasihat agama.
Menggunakan tali tambang, petugas itu berusaha sebisa mungkin menghindari untuk berbicara dengan tahanan saat mengikatnya tangan mereka di belakang punggung dan ke tiang.
Tahanan juga bebas menentukan apakah eksekusi ingin dilakukan dengan berlutut atau berdiri, sementara petugas itu memperlakukan mereka dengan lembut.
Algojohanya mengatakan, "maaf, saya hanya menjalankan perintah."
Dalam kegelapan malam, obor akan menyinari sebuah lingkaran, berdiameter 10 sentimeter yang menyelimuti hati mereka.
Pasukan penembakan, yang terdiri dari 12 petugas Brimob, akan berada lima hingga 10 meter jauhnya dan akan menembakkan M16 mereka saat diberi perintah.
Baca Juga : Terancam Hukuman Mati, Steve Emmanuel Diduga 10 Tahun Terlibat Jaringan Narkoba Internasional
Algojodipilih untuk regu tembak berdasarkan kemampuan menembak dan kebugaran mental serta fisik mereka.
Tapi ternyata semuanya jauh lebih rumit dari itu.
Sebagai bagian dari regu tembak, petugas menggambarkan pengalamannya dengan detasemen.
"Kami baru saja masuk, mengambil senjata, menembaknya, dan menunggu kematian itu selesai."
Baca Juga : Tubuh Ani Yudhoyono Semakin Kurus, Ternyata Minuman Sejuta Umat Ini Bisa Jadi Penyebab Leukimia
"Sekali 'dor' dari pistol kita tunggu 10 menit, jika dokter menyatakan dia meninggal maka tugas selesai," katanya.
Mayat-mayat itu kemudian diangkut ke tempat di mana mereka dimandikan dan ditempatkan di peti mati atau dirawat sesuai dengan tradisi agama masing-masing.
Menjelaskan proses eksekusi, petugas mengatakan dia melihat perannya sekadar menjalankan perintah.
"Aku terikat sumpahku sebagai seorang tentara," katanya.
“Tahanan itu melanggar hukum dan kami menjalankan perintah. Kami hanya pelaksana. Pertanyaan apakah itu dosa atau bukan, itu tergantung Tuhan."
Setelah melakukan eksekusi, para algojo ini menjalani tiga hari kelas yang mencakup bimbingan spiritual dan bantuan psikologis.
Baca Juga : Kisah Para Algojo: Gara-gara Punya 'Profesi' Menggantung Orang, Istrinya pun Minggat dari Rumah