Advertorial
Intisari-Online.com –Profesi algojo ternyata cuma pekerjaan sambilan. Di Inggris para algojo biasa mempunyai pekerjaan tetap lain: ada pemilik pub, buruh tambang, dan bahkan penjual es krim!
Berikut ini pengalaman Syd Dernley yang pernah ikut menggantung lebih dari dua puluh orang.
--
Baca juga:Detik-detik Jelang Eksekusi: Permintaan Terakhir Terpidana Mati Ini Bikin Bulu Kuduk Berdiri
Saya merasa terguncang, mual dan lemas, ketika pertama kali menyaksikan orang digantung.
Saat itu sebagai asisten algojo saya menghadiri eksekusi atas James Farrell, yang memperkosa gadis berumur empat belas tahun, mencekik lalu membuang mayat korban ke semak-semak.
Farrell masih muda belia. Baru tiga hari sebelumnya ia berulang tahun ke-19 di selnya.
Mengantungi "saputangan"
Eksekusi dijalankan pukul 09.00. Dua menit sebelumnya, bersama seorang rekan calon algojo, yaitu Harry Allen, saya berada di luar pintu kamar eksekusi.
Beberapa meter dari kami, di muka pintu sel, berdiri algojo Albert Pierrepoint dan asistennya, Harry Kirk. Begitu mereka menghilang ke dalam sel, kami pun masuk ke kamar eksekusi.
Kamar itu kecil, kira-kira 3 m2. Dindingnya dicat putih. Berhadapan dengan pmtu ada sebuah jendela di ketinggian. Jendela itu bukan cuma diberi terali, tetapi juga ditutupi dengan kawat.
Lantai kayu didominasi sebuah pintu jebakan, yaitu pintu yang membuka ke bawah. Di atasnya ada sepasang balok. Tingginya kira-kira 3 m dari lantai. Seutas tali yang ujungnya seperti kalung menjuntai ke bawah, setinggi kepala.
Harry dan saya berdiri merapat ke dinding. Kami lihat kepala penjara,under-sherrifdan para pejabat penjara sudah ada di sana. Beberapa di antaranya berwajah muram.
Semua memandang ke pintu kuning berdaun dua, pintu yang menyambung ke sel tempat terhukum.
Baru beberapa detik saya berada di sana, pintu kuning terpentang. Muncullah Pierrepoint diikuti seorang pemuda bertubuh kecil, memakai setelan rapi berwarna biru.
Dari saku jas pemuda itu menonjol secarik kain yang dari jauh mirip saputangan, tetapi sebenarnya sarung kepala yang akan dikenakannya.
Tangan Farrell terikat ke belakang, sementara matanya tampak sangat ketakutan.
Kirk berjalan di belakang Farrell, tanpa harus mendorongnya. Tanpa ragu-ragu Pierrepoint menuju pintu jebakan. Di tengah pintu itu ia berhenti, berbalik menghadapi Farrell dan menaruh tangannya di pundak pemuda itu.
Dalam waktu sekejap saja, kain penutup sudah diselubungkannya ke kepala Farrell. Dengan gesit pula Pierrepomt mengalungkan tali gantungan, lalu membungkuk untuk menepuk bahu Kirk yang baru selesai mengikat pergelangan kaki Farrell.
Mereka berdua menyingkir dari pintu jebakan. Segera pintu itu menjeblak ke bawah. Farrell merosot berbareng dengan bunyi nyaring daun pintu jebakan memukul dinding lubang. Mungkin semua narapidana di penjara itu ikut mendengarnya.
Beberapa saat kemudian keadaan sunyi-senyap. Seorang pejabat memecah keheningan dengan berkata, "Delapan detik. Sudah selesai."
Delapan detik! Betapa cepatnya. Padahal ini dihitung mulai dari saat Farrell dijemput dari selnya sampai ia tergantung dalam keadaan tidak bernyawa lagi di ujung tali.
Gara-gara bukukriminal
Keinginan saya untuk menjadi petugas penggantung orang timbul pada usia sebelas tahun, ketika saya membaca buku Edgar Wallace.
Wallace pernah beberapa kali melihat orang digantung, karena pada awal abad ini wartawan masih boleh menyaksikan kejadian tersebut.
Ia mempergunakan pengalamannya untuk bahan cerita kriminal yang mencekam. Saya begitu terkesan membacanya, sehingga memutuskan akan menjadi algojo. Padahal tak ada nenek moyang saya yang berprofesi demikian.
Sebagai anak petani, pekerjaan pertama yang saya peroleh hanyalah sebagai tukang las di pertambangan batu bara di Nottinghamshire.
Seusai PD II saya bosan menjadi tukang las. Saya pun menulis surat pada KoranNews of the World,menyatakan keinginan saya untuk menjadi algojo. Saya bertanya ke mana mesti melamar.
Pengasuh ruang surat pembaca keheranan. "Kami tidak mengerti mengapa Anda ingin melamar pekerjaan itu, sebab tidak lama lagi algojo tidak dibutuhkan."
Soalnya, waktu itu di parlemen sedang terjadi debat-debat perkara penghapusan hukuman mati. Namun, saya diberinya juga sebuah alamat.
Ternyata lamaran saya ditolak, karena jumlah algojo sudah cukup.
Dua tahun kemudian tahu-tahu saya dipanggil ke Penjara Lincoln, untuk menghadap Brigadir E.R. Patol-Walsh. “Saya harus melewati beberapa lapis pintu angker. Brigadir tampaknya tidak tertarik kepada saya. Wajahnya baru menunjukkan minat ketika ia tahu saya senang menembak.
Baca juga:Tradisi Hukuman Pancung Memang Mengerikan, Tapi Mengapa Masih Dipraktikkan di Sejumlah Negara?
"Di mana?" tanyanya.
"Di tanah milik Duke of Welbeck," jawab saya.
"Dengan Duke?"
"Tidak. Kalau Duke sedang tidur."
Ia tertawa terbahak-bahak. "Dok," panggilnya kepada dokter penjara. "Ini ada penembak liar ingin menjadi algojo."
Ternyata setelah itu suasana tidak sekaku tadi. Saya ditanyai apakah saya cekatan. Kebetulan memang demikian.
Saya diberi tahu bahwa seorang algojo adalah hamba hukum yang tidak boleh membawa-bawa perasaan dalam melakukan tugas eksekusi. Setelah itu saya boleh pulang.
Enam minggu kemudian saya dinyatakan lulus wawancara dan terpilih mengikuti pendidikan menjadi asisten algojo di Penjara Pentonville. Istri saya, Joyce, tidak keberatan.
Efisien, bersih, cepat
Tiga minggu sebelum merayakan ulang tahun ke-28, saya berada di kantor kepala Penjara Pentonville bersama tiga orang lain.
Mereka itu George Dickinson (seorang ahli matematika yang bekerja di sebuah perusahaan kimia yang besar di Manchester), William Pollard (karyawan Woolwich Arsenal di London) dan Harry Allen, seorang penjual es krim dari Birmingham. Kata Harry, ia sudah melamar delapan belas kali!
Kepala penjara memperkenalkan kami pada Pak Hughes, seorang sipir yang sudah lanjut usia, yang akan menjadi instruktur kami.
Tapi sebelum mulai belajar, kami diberi tahu bahwa kami harus mematuhi Official Secret Act, undang-undang yang melarang kami menceritakan ataupun menulis mengenai hal-hal yang kami lihat atau pelajari.
Setelah itu kami membuntuti Pak Hughes ke sebuah ruangan yang isinya cuma sebuah ranjang di bawah jendela, sebuah meja dan beberapa kursi. Jendela itu bukan cuma diberi terali, tetapi juga diberi kawat.
"Ini bakal menjadi kelas kita seminggu ini. Sebenarnya.kamar ini sel untuk narapidana yang akan menjalani hukuman mati," Hughes menjelaskan. Ngeri juga kami.
Di sebelah kiri ada pintu yang menuju ke kamar mandi. Di sebelahnya ada kamar terpidana mati lain. Di sebelah kanan ada pintu kuning berdaun dua. Hughes membuka pintu itu.
Di luarnya ada lorong yang menuju ke pintu kuning lain. Pintu kedua ini dibuka juga dan tibalah kami di tempat penggantungan. Jarak dari ranjang terpidana sampai ke kamar penggantungan cuma sepuluh langkah!
Ruang penggantungan itu identik dengan sel terpidana mati, cuma saja memiliki dua palang besar dekat langit-langit. Alat untuk membuka pintu jebakan di lantai bentuknya seperti kotak sinyal kereta api!
Kata Hughes, ruangan-ruangan yang kami lihat itu sama saja di semua penjara Inggris yang memiliki fasilitas untuk melaksanakan hukuman gantung.
Di sebuah sudut kamar eksekusi itu ada pintu jebakan lain, tetapi kecil. Hughes membuka pintu jebakan itu dan di bawahnya kami lihat tangga untuk turun ke ruang bawah yang besarnya sama seperti kamar eksekusi.
Langit-langit ruangan bawah itu tinggi. Di tiap dindingnya ada alat untuk menahan pukulan pintu. Alat ini juga mencegah pintu berbalik memukul orang yang digantung.
Kamar ini memiliki dua pintu. Yang sebuah menembus ke luar dinding penjara, untuk membawa mayat ke tempat pemakaman. Yang sebuah lagi menembus ke ruang autopsi.
Di ruang ini ada sebuah meja besar berlapis logam. Sekeliling meja itu ada selokan. Di sana juga ada tempat cuci tangan dan lemari. Para ahli patologi harus memeriksa jenazah terpidana mati di sini. Tempat itu mengerikan bagi saya.
Dari sana kami kembali ke ruang semula, untuk menerima pelajaran pertama dari Hughes.
"Hukuman mati dengan cara digantung itu efisien, bersih dan terutama sangat cepat," katanya. "Seperti kalian lihat, jarak antara kamar tahanan dan tempat penggantungan demikian dekatnya. Begitu pintu jebakan terbuka, terpidana mati segera meninggal, sebab tulang lehernya patah. Para petugas penggantungan sama sekali tidak boleh melakukan kesalahan. Camkanlah hal ini."
Beda orang gemuk dengan orang kurus
Hughes menjelaskan tugas penggantung dan asistennya. Semua harus bekerja dengan cekatan dan cepat. Kalau penggantung menepuk pundak asistennya yang bertugas mengikat kaki terpidana mati, sang asisten harus sudah siap menyingkir dari daerah pintu jebakan.
Kalau ia kurang gesit dan jebakan keburu menjeblak, akibatnya bisa runyam.
Hari sudah gelap ketika kami dibubarkan.
Keesokan harinya kami datang lagi ke ruang kelas kami. Kini di situ ada dua buah kotak kayu berwarna hitam. Yang sebuah ukurannya kira-kira 60 x 100 cm. Sebuah lagi lebih kecil.
Baca juga:Mimpi Buruk Seorang Algojo
Keduanya dikunci dengan gembok besar. Kotak yang satu berisi rantai baja dan katrol. Kotak yang lain berisi tambang, selubung kepala dari linen, kawat, benang dan sepotong kapur. Masing-masing terdiri atas dua perangkat.
Kata Hughes, peralatan ini biasanya disimpan di Penjara Wandsworth di London. Begitu ada penjara di Inggris yang menerima terpidana mati, kotak-kotak itu dikirim dengan kereta api penumpang biasa, tapi kuncinya dikirim dengan pos tercatat kepada kepala penjara bersangkutan.
Tali gantungan bisa dipakai berulang-ulang. Bahannya rami Italia yang paling bagus. Tiap ujungnya dipasangi logam berlubang. Ke lubang yang satu dimasukkan ujung yang lain supaya membentuk kalung.
Ujung yang tidak berkalung dikaitkan ke rantai yang menggantung di palang.
Bagian tali yang membentuk kalung dilapisi dengan kulit supaya cedera pada bagian luar leher orang yang digantung bisa minimal.
Kalung itu harus berada sebatas kepala, supaya mudah dan cepat dikalungkan.
Saya heran sekali karena tali harus dikaitkan pada rantai segala. Mengapa tidak diikat langsung saja ke palang?
Ternyata ada alasannya. Orang gemuk akan patah lehernya setelah merosot sedikit saja, sebab badannya besar. Tapi orang kurus perlu diberi kesempatan merosot lebih jauh. Rantai di palang itu berguna untuk mengatur panjang-pendeknya jarak jatuh.
Jenazah tak boleh berayun
Hughes meminta Dickinson naik tangga untuk imemasang tali di rantai, lalu Pollard disuruh berdiri di tengah pintu jebakan. "Masukkan tangan di saku," perintahnya pada Pollard.
Begitu hal itu dilaksanakan, secepat kilat kepala Pollard diselubunginya dengan kain dan tahu-tahu tali gantungan sudah terkalung erat di leher rekan kami itu. Kami tertawa terbahak-bahak, sementara Pollard menyumpah-nyumpah dari balik penutup kepalanya.
"Tenang, tenang," kata Hughes pada Pollard. "Eh, yang lain jangan tertawa-tawa dulu, sebab kalian semua akan mendapat giliran."
Hughes meminta perhatian kami, agar meletakkan logam berlubang pada kalung leher itu di bawah dagu kami.
Kalung mesti erat, tetapi tidak boleh sampai mencekik. Kalau posisi kalung sudah tepat, maka gelang karet pada tali diturunkan, sehingga posisi kalung tidak berubah-ubah lagi.
Baca juga:Bukan China, Proyek Kereta Semi Cepat Jakarta-Surabaya ‘Dieksekusi’ Jepang
"Buat apa sih pakai selubung segala?" tanya Pollard.
Konon selubung mencegah orang yang akan digantung menyaksikan detik-detik terakhir. Bayangkan, bagaimana rasanya bila ia melihat algojo melepaskan pengungkil pintu jebakan.
Mungkin saja ia semaput atau melompat. Kalau hal itu terjadi, posisi kalung leher bisa berubah dan kematian tidak berlangsung cepat dan mulus.
Pagi itu kami pakai untuk mempelajan teknik mengikat pergelangan tangan dan pergelangan kaki teman. Hughes menjelaskan bahwa ikatan dimaksudkan untuk mencegah orang yang akan digantung itu kabur, tetapi sama sekali tidak boleh menyakitkan atau membuat panik.
Teknik mengikat tangan dan kaki itu ternyata bukan cuma dua jam itu saja kami pelajari, tetapi juga pada hari-hari berikutnya. Makin lama kami makin terampil dan makin cepat mengerjakannya.
Hughes selalu mengingatkan, "Kalian harus cepat! Kalian harus cepat! Ayo, lebih cepat! Bagus, lakukan lagi!"
Kedengarannya sih gampang mengikat tangan dan kaki. Apalagi yang diikat teman sendiri, jadi tidak banyak cingcong. Dalam kenyataan tidaklah demikian.
Siang hari itu Harry disuruh mengukur lebar pintu jebakan. Ternyata 7 kaki 6 inci (± 229 cm). Tepat di tengahnya, Hughes mencoret huruf T dengan kapur. "Tepat di atas tergantung tali," katanya. “Orang yang menjalani hukuman mati harus disuruh berdiri di titik ini. Ukuran ini tidak boleh dikira-kira, mesti betul-betul diukur dengan cermat. Meleset satu inci saja akan membuat orang yang digantung terayun-ayun seperti bandulan lonceng."
Latihan menggantung kantung pasir
Kami digiring kembali ke sel. "George, kau jadi terpidana mati," katanya kepada Dickinson. "Syd, kau jadi algojo. William menjadi asisten algojo dan kau Harry menjadi pendeta."
Kami pun mengambil posisi. George Dickinson duduk membelakangi pintu sel. Harry Allen berdiri di depannya.
Baca juga:Tuk! Upaya Banding Dikabulkan, Dahlan Iskan Divonis Bebas oleh Pengadilan Tinggi Surabaya
Ketika William Pollard dan saya masuk, Harry memberi berkat kepada George dengan senyum geli. William dan saya menepuk bahu George dan ia bangkit.
Kami mengikat tangan George ke belakang. Kemudian saya mengawali, iring-iringan memasuki ruang eksekusi. Saya menstop langkah George tepat di tanda kapur.
Agak kikuk juga saya ketika menyelubungi kepalanya. Kemudian tali saya kalungkan ke lehernya. Sementara itu William mengalami kesulitan mengikat pergelangan kaki George.
"Tepuk pundak William," teriak Hughes. Saya membungkuk untuk melaksanakan perintahnya. "Menyingkir dari pintu jebakan," seru Hughes pula.
Saya melompat sambil menyentuh tangkai pengungkil jebakan. Cuma saja pintu tidak menjeblak terbuka, karena pengungkilnya diganjal erat.
"Kalian mesti cepat!" komentar Hughes. Kini tiba giliran saya menjadi terpidana mati. Walaupun cuma latihan, ngeri juga menerima tepukan di pundak, bangun, ditelikung, dan digiring ke ruang eksekusi.
Di situ menunggu tali gantungan yang makin lama makin dekat. Lalu saya berdiri di pintu jebakan. Algojo menstop dan tahu-tahu kepala saya sudah terselubung. Terasa seseorang mengikat pergelangan kaki dan tali pun mengalungi leher. Ada sesuatu menyentuh dagu, napas pun jadi sesak ....
Meskipun cuma sebentar, rasanya lama sekali. Karena itulah algojo dan asistennya harus bekerja cepat. Cepat tanpa keliru sedikit pun. Jadi kami berlatih, berlatih, berlatih terus.
Pada hari ketiga, kami belajar menangani terpidana mati yang melawan ketika akan digiring ke ruang eksekusi. Ia mesti diringkus dengan bantuan petugas penjara.
Sehabis makan siang, kami praktek dengan mempergunakan dumi. Dumi yang diumpamakan sebagai korban itu tidak lain daripada kantung kanvas sepanjang 1 m. Kantung itu diisi dengan pasir dan beratnya antara 60 - 70 kg.
Kepalanya dari kulit. Dumi itu biasanya dipakai untuk menguji tali gantungan sehari sebelumnya. Yang menguji segala peralatan haruslah algojo bersama asistennya.
Dumi itu ditaruh di tempat yang ditandai dengan coretan kapur, lalu lehernya dililit dengan handuk supaya agak tebal, sebelum dikalungi tali.
Kemudian Hughes menunjukkan cara mencabut alat pengaman dan ganjalan pada pengungkil. Ketika semuanya sudah beres, pengungkil didorong dan terdengarlah suara berdebum yang sangat nyaring. Dumi merosot 2 m, lalu tergantung diam. Kepalanya terkulai ke satu arah.
Suasana hening sekali, ketika kami mengamatinya. Tali dan dumi diam, tak bergoyang sedikit pun.
Hughes bersuara, "Kalau kantung pasir itu manusia, kita akan membiarkannya sejam, sebelum diturunkan."
Namun, karena yang tergantung itu cuma dumi, kami segera mempergunakan katrol yang disangkutkan ke rantai untuk menurunkan kantung pasir dan mengembalikan posisi pintu jebakan.
Tangkai pengungkil dikembalikan, diganjal dan "dikunci".
Perlumatematika
Hari terakhir kami pakai untuk menghitung berapa jauh terpidana mati harus dijatuhkan supaya ia meninggal dengan cepat. Sebetulnya ada tabelnya, tetapi kami harus belajar menghitung sendiri dengan rumus tertentu.
Pria yang beratnya 70 kg, umpamanya, harus dijatuhkan hampir 2,5 m. Mula-mula tali gantungan diukur 13 inci (± 33 cm) dari ujungnya, tepatnya dari tengah logam yang berlubang.
Titik itu diberi tanda dengan kapur, lalu dari tanda itu diukur panjang jarak jatuh yang diperlukan. Titik kedua ini diberi tanda lagi dengan kapur. Kini harus diketahui berapa tinggi orang yang akan digantung itu.
Kalau tingginya 1,70 m, rantai harus disesuaikan agar tanda kapur kedua jatuh pada ketinggian itu. Barulah tali diikatkan.
Berjam-jam lamanya kami latihan menghitung panjang jatuh pelbagai terpidana mati khayalan, yang tingginya berbeda-beda. Matematika merupakan mata pelajaran yang saya kuasai dengan baik di sekolah, jadi hitung-menghitung begini bukan masalah.
Apalagi bagi Dickinson yang ahli matematika. Pollard dan Harry sebaliknya, agak kerepotan.
Setelah itu kami mengulangi lagi pelajaran dari semula: mengikat tangan dan kaki, mengantar ke pintu jebakan, mengaiungkan tali, mendorong pengungkil pintu jebakan. Makin lama kami makin mahir dan rasa percaya diri pun makin besar.
Hari Jumat kami menjalani ujian tertulis. Pertanyaan pertamanya: "Berapa panjang jarak jatuh yang harus diberikan kepada seseorang yang beratnya 12,5stone(± 79,5 kg)?"
Pertanyaan kedua bunyinya: "Jelaskan dengan kata-katamu sendiri tugas seorang algojo dan asisten algojo."
Susah juga menjawab pertanyaan kedua ini, tetapi untung saya teringat pada kata-kata kepala Penjara Lincoln, 'Yang paling penting untuk diingat oleh algojo dan asistennya ialah bahwa mereka itu hamba-hamba hukum. Perasaan tidak boleh dibawa dalam menjalankan tugasnya."
Setelah kalimat-kalimat itu sih gampang, saya tinggal menjelaskan garis besar yang harus dilakukan oleh algojo dan asistennya.
Saya akhiri jawaban itu dengan menyatakan bahwa algojo dan asistennya tidak boleh berada di bawah pengaruh alkohol pada saat menjalankan tugas. la juga harus bisa memegang rahasia dan tidak boleh menarik-narik perhatian.
Ternyata William Pollard tidak lulus, sehingga kami tinggal bertiga menjalani ujian praktek dengan disaksikan juga oleh kepala penjara dan pembantunya yang memegangstopwatch.
Saya ditugaskan menjadi algojo, Harry menjadi asisten algojo dan George menjadi orang yang digantung. Kami mulai dari sel tempat terpidana mati dikurung.
George duduk di dalam, Harry dan saya berdiri di luar pintu. Kepala penjara memberi aba-aba, "Mulai!"
Kami masuk dengan gesit tapi tenang ke sel. George menoleh, lalu berdiri ketika kami menepuk pundaknya dengan perlahan. Kami menelikung tangannya, lalu saya berjalan diikuti George dan Harry ke kamar eksekusi, langsuhg ke tengah pintu jebakan yang sudah diberi tanda dengan kapur.
Begitu George berdiri di tempat yang ditentukan, saya menyelubungi kepalanya dan mengalungkan tali gantungan ke lehernya. Saya tidak usah menepuk bahu Harry yang mengikat pergelangan kaki George, karena ia sudah siap.
Saya melompat sambil sekalian mengulurkan tangan ke pengungkil. Belum sampai saya menyentuh alat itu, kepala penjara sudah berteriak, "Berhenti!"
Saya menoleh dengan tercengang. Ternyata wajahnya pucat pasi. Rupanya ia begitu terbawa oleh suasana, sehingga mengira George benar-benar akan digantung. "Empat puluh lima detik!" seru pembantunya yang memegangstopwatch.
Baca juga:Bersama Harun, Usman Jadi Pahlawan Nasional Setelah Berbuat 'Jahat' dan Dihukum Mati di Singapura
Kami merasa puas, sebab 45 detik adalah kecepatan tertinggi yang pernah kami capai dalam latihan. Itulah akhir dan latihan kami.
Sejak saat itu saya tidak pernah bertemu atau mendengar tentang William Pollard. Karier Dickinson sebagai penggantung ternyata pendek saja. Saya dengar dari algojo Pierrepoint bahwa Dickinson tidak tahan.
Setelah sekali membantu Pierrepoint mengeksekusi orang, jasanya tidak pernah diminta lagi, karena ia dianggapmemble.
(Artikel ini pernah dimuat di MajalahIntisariedisi April 1990)