Advertorial
Intisari-Online.com – Setiap orangtua pasti selalu berusaha untuk menjadi orangtua yang baik, berpikir jernih, dan tanpa emosi dalam menghadapi anak-anak.
Namun, terkadang, ada saja kejadian yang membuat amarah kita sebagai orangtua memuncak dan akhirnya kita pun berteriak-teriak pada anak.
Tidak hanya orangtua di Indonesia saja rupanya yang melakukan hal demikian, bahkan di negara maju sana pun masih banyak orangtua yang melakukannya.
Baca Juga : Kalah saat Berjudi, Wanita Ini Aniaya Bocah SD yang Mengasuh Anaknya Sendiri
Memarahi anak atau menegurnya dengan berteriak ternyata dilakukan 90 persen dari 1000 orangtua yang disurvei dalam penelitian yang dimuat di Journal of Marriage and Family.
Lebih dari itu, keluarga yang memiliki anak berusia di atas 7 tahun hampir 100 persennya pernah berteriak sambil marah ke anak.
“Orangtua berteriak karena mereka seolah ditarik ke segala arah dan mulai frustasi. Misalnya mereka melihat anak mereka bertengkar atau melakukan sesuatu yang dilarang,” kata Nina Howe, profesor bidang pendidikan anak usia dini.
Baca Juga : Mengasuh Anak ala Kate Middleton, Ini 7 Aturan yang Harus Dipatuhi oleh Pangeran George dan Putri Charlotte
Ia menambahkan, seringkali teriakan itu adalah respon otomatis orangtua. Meski tujuannya adalah untuk mendisiplinkan anak, ternyata cara tersebut tak sepenuhnya efektif.
Bukan saja kita memberi contoh strategi menghadapi konflik secara buruk, tapi juga ada efek jangka panjangnya.
Studi tahun 2013 mengungkap, perilaku verbal yang negatif (seperti berteriak) tidak akan membuat anak usia pra-remaja dan remaja mengubah perilakunya, malah mereka akan meneruskan ulahnya tersebut.
Baca Juga : Penjara Wanita di Ohio Ini Berikan Kesempatan Ibu Narapidana Untuk Mengasuh Anak-Anaknya
Sebagian pakar juga menilai bahwa berteriak adalah bentuk baru dari pukulan pada bokong (spanking).
Banyak dari generasi orangtua milenal yang tumbuh dengan teriakan, omelan, dan juga pukulan orangtuanya.
Sehingga terkadang itu jadi referensi dalam pola asuhnya mendisiplinkan anak. Yang terlambat kita sadari adalah cara tersebut membuat kita merasa buruk.
Baca Juga : Ayah yang Sedang Marah Ini Memberi Pelajaran yang Unik kepada Babysitter yang Mengasuh Anaknya
Teriakan dan omelan itu juga menakutkan anak-anak (seperti halnya dulu kita juga takut) menanti akhir dari kalimat.
Membuat anak merasa cemas dan cenderung menganggap dirinya sebagai orang yang tidak baik.
“Anak-anak memiliki sistem saraf yang sensitif dan teriakan akan menakutkan mereka, apalagi melihat ekspresi wajah orangtua saat marah. Itu sangat agresif dan mengintimidasi,” kata konselor keluarga Elana Sures.
Baca Juga : Begini Cara Mengasuh Anak Agar Tetap Aktif
Ketika orangtua mendapatkan hasil yang diinginkan setelah meneriaki anak, itu lebih karena anak-anak takut dan ingin ayah atau ibunya berhenti berteriak.
“Itu bukan karena keputusan mereka. Jadi, kebiasaan berteriak hanya akan efektif dalam jangka pendek, tapi lama-lama anak akan mengacuhkannya,” ujarnya.
Jadi, apa yang bisa dilakukan orangtua ketika amarahnya memuncak?
Baca Juga : Sulit Mengasuh Anak di Usia Pra Sekolah, Coba Trik Ini
Pertama, ketahui apa yang memicunya. Teriakan biasanya dipicu oleh sesuatu yang spesifik, misalnya stres di kantor atau sebenarnya sedang kesal dengan pasangan.
Memahami apa yang mendasari kemarahan akan membantu kita membuat respon atau sikap yang rasional.
Berteriak bukanlah bentuk komunikasi karena hanya membuat anak untuk diam dan bukan mendengarkan.
Baca Juga : Haruskah Membayar Kerabat yang Mengasuh Anak Kita?
Jadi, pertama-tama kita harus tenang dulu, lalu bicarakan pada anak kalau sikapnya tidak baik dan bagaimana yang seharusnya.
Jika anak masih terus melakukan kesalahannya, beri hukuman. Misalnya memberinya time-out.
Kemudian jika ia sudah tenang sampaikan alasan mengapa ia tidak boleh mengulangi perilakunya lagi. (Lusia Kus Anna)
Baca Juga : Terkenal Sangat Disipilin, Ternyata Seperti Inilah Cara Orang Jepang Mendidik Anaknya
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengasuh Anak Tanpa Berteriak"