Advertorial
Intisari-Online.com – Anda pasti kangen untuk kembali ke Yogyakarta, bukan? Siapa yang pernah wisata ke Yogyakarta, pasti ingin kembali lagi ke sana.
Salah satu kawasan pusat kota Yogyakarta yang sudah dibenahi menjadi lebih nyaman adalah Malioboro.
Simak tulisan Soemadirdja, Jalan Malioboro Asalnya dari Marl Borough, yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 1973 berikut ini.
Kalau orang bepergian ke Yogyakarta dan menjelajah jalan-jalan dan kampung-kampungnya, maka orang akan menjumpai jalan serta kampung yang khas Jawa.
Baca Juga : Tamasya Seru Sambil Mendulang Ilmu di Taman Pintar Yogyakarta
Kebanyakan nama-nama itu memakai akhiran “an" (yang menunjukkan tempat), kecuali di daerah Kota Baru, yang dulu didiami oleh orang-orang Belanda.
Di situ terdapat nama-nama jalan yang menggunakan nama-nama gunung dan sungai.
Tetapi berhubung dengan adanya revolusi, jalan-jalan di Kota Baru itu sekarang sudah hampir semua diganti dengan nama-nama orang yang gugur dalam pertempuran di daerah tersebut pada permulaan revolusi tahun 1945.
Ketika itu rakyat berusaha melucuti tentara Jepang yang bermarkas di sana. Begitu pula sementara jalan di bagian kota lama ada juga yang diganti dengan nama-nama baru, yaitu mengambil nama-nama para pejuang kemerdekaan, pahlawan Revolusi atau nama-nama raja Mataram yang tersohor, tetapi tidak menggunakan akhiran “an" tadi.
Kraton diapit 2 sungai
Setelah P. Mangkubumi pada tahun 1755 oleh Kumpeni Belanda diakui sebagai raja dan mendapat separo dari kerajaan Mataram dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I sebagai hasil perjuangan beliau yang gigih melawan Kumpeni Belanda, maka beliau segera memerintahkan untuk membangun sebuah kraton di bekas “Pabringan" yang letaknya diapit oleh 2 batang sungai, sungai Code disebelah Timur dan sungai Winongo disebelah Barat.
Sementara itu Sultan Hamengku Buwono I masih tinggal di “Ambarketawang" yang terletak kurang lebih 5 km sebelah Barat Yogyakarta sekarang, dengan para kerabat dan laskarnya.
Setelah selesai pembangunannya, diperingati dengan sebuah “Sangkalan memet", berwujud gambar dua ekor naga yang masing-masing saling berkaitan (kawin).
Baca Juga : Setelah Warung Lesehan Malioboro, Kini Giliran Nasi Liwet di Solo yang Naikan Harga ‘Gila-gilaan’
Artinya “Dwi Naga Rasa Tunggal" (Dwi = 2 ; Naga = 8 ; Rasa = 6 ; Tunggal = 1) jadi merupakan angka 2861 dan kalau dibalik 1682, yaitu tahun Jawa.
Kini Sri Sultan Hamengku Buwono berkenan “boyong" (pindah) dari Ambarketawang ke kratonnya baru, yang kemudian dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Jadi hingga sekarang kraton itu sudah genap 224 tahun dan sebentar lagi 225 tahun (1905).
Komplek kraton yang telah dibangun itu luasnya kurang lebih 1 km2, dengan dikelilingi dinding (beteng) tinggi yang lebarnya 5 meter ; sedang di luar beteng itu terdapat sebuah parit dalam (jagang) yang sewaktu-waktu kalau ada bahaya yang mengancam dapat digenangi air.
Baca Juga : Seandainya Tokoh-tokoh PKI Lebih Cepat Bertindak, Entah Apa Jadinya Kota Yogyakarta
Pada keempat sudut beteng tersebut terdapat tempat-tempat penjagaan yang diberi Iubang-lubang untuk memasang meriam.
Untuk keluar masuk ke dalam beteng kraton, mula-mula ada 5 buah pintu gerbang yang disebut “plengkung" (yang sebuah kemudian ditutup); siang malam plengkung-plengkung tersebut dijaga oleh prajurit dan pada malam hari orang yang mau masuk-keluar melalui pintu gerbang tersebut harus membayar “sebenggol" (2 ½ sen uang dulu) kepada yang jaga.
Sekarang plengkung-plengkung tersebut tinggal dua buah yang masih utuh, tetapi pintu-pintunya sudah tidak ada lagi, sedang yang lain sudah dibuka (digempur).
Sri Sultan boyong.
Waktu Sri Sultan boyong, seluruh kerabat, para hamba dan rakyat dan anggaota-anggota laskarnya yang turut berjuang selama kurang lebih enam tahun melawan Kumpeni Belanda (dari 1749-1755), turut hijrah dari Ambarketawang ke Yogyakarta.
Baca Juga : Malam 1 Suro: Air Bekas Cucian Kereta Kencana Keraton Yogyakarta Dipercaya Bisa Bikin Awet Muda
Terutama bekas anggauta laskarnya P. Mangkubumi yang terdiri dari beberapa “bendera" (pasukan) yang masing-masing dipimpin oleh seorang adipati, diberi tempat kediaman khusus sendiri-sendiri, di sebelah Barat, Selatan serta Timur beteng Keraton.
Maksudnya sekaligus untuk menanggulangi musuh, kalau-kalau ada musuh yang mendatangi, terutama dari sebelah Barat. Dari sebelah Timur tak begitu dikhawatirkan.
Oleh karena itu disebelah Barat kali Winongo ditempatkan lima dari bekas pasukannya, yaitu masing-masing : Wirabraja, Daeng, Ketanggung, Patangpuluh dan Bugis.
Dalam peperangan melawan Kumpeni Belanda, banyak tentara Kumpeni yang ditawan atau dibunuh. Mereka terdiri dari serdadu-serdadu bayaran, yang berasal dari Bali, Madura, Sulawesi Selatan dan Ternate selain serdadu-serdadu berkulit putih.
Baca Juga : Kisah Kepahlawan Tiga Tokoh AURI Yang Pesawatnya Ditembak Jatuh Belanda di Langit Yogyakarta
Mereka yang menyerah hidup-hidup dan ingin mengabdi kepada Sang Pangeran, mendapat pengampunan serta diberi kesempatan untuk bekerja sama.
Kebanyakan bahkan turut membantu berjuang melawan Kumpeni Belanda. Di antaranya terdapat banyak orang dari Sulawesi Selatan (Bugis dan Daeng) yang membalik turut berjuang di pihak Mangkubumi.
Mereka masing-masing dikumpulkan menjadi satu pasukan tersendiri, yang terdiri dari orang-orang Bugis atau Daeng, serta merupakan suatu kesatuan tempur sendiri. Setelah damai orang-orang itu ingin tetap tinggal ditanah Jawa.
Konon pasukan Wirabraja juga terdiri dari serdadu-serdadu Belanda yang telah menyerah dan tertawan, dan kemudian dijadikan semacam “stoottroep" atau pasukan tempur.
Baca Juga : Awalnya Berniat Diet, Gadis Cantik Asal Yogyakarta Ini Malah Menjadi Pembalap Profesional
Tempat-tempat kediaman masing-masing pasukan itu kemudian disebut Wirabrajan Daengan, Ketanggungan, Patang Puluhan dan Bugisan. Jadi akhiran “an” di sini menunjukan tempat.
Tiga pasukan diberi tempat tinggal di sebelah Selatan beteng kraton, masing-masing Mantrijero, Jagakarian dan Pawiratama. Jadi tempat kediaman mereka disebut Mantrijeron, Jagakarian dan Pawirataman.
Dua pasukan lainnya ditempatkan di sebelah Timur sungai Code, yaitu pasukan Nyutra dan Surakarsan.
Semua anggauta pasukan itu diperkenankan tinggal di tempat masing-masing dengan sanak keluarganya hingga turun-temurun.
Baca Juga : Penggusuran Lahan untuk Bandara di Yogyakarta: 'Ini Rumahku, Aku Tidak Ikhlas Sampai Tujuh Turunan'
Siapa yang boleh tinggal di keraton
Di dalam beteng kraton sendiri yang diberi tempat tinggal hanya para prajurit Langenastra (bersenjata tombak) dan prajurit Langenarja (prajurit Wanita) serta para hamba raja lainnya yang menjalankan tugas sehari-hari di dalam kraton, seperti melayani minuman (teh), membersihkan prabot rumah tangga, seperti kursi, lampu dan sebagaihya (silir).
Juga para pemelihara kuda (gamel) dan para juru tambur. Maka nama-nama kampung kediaman mereka disebut Langenastran, Langenarjan, Patehan, Siliran, Gamelan, dan Nambur an.
Jadi sewaktu-waktu tenaga mereka diperlukan oleh Sri Sultan, mereka dekat rumah tinggalnya.
Baca Juga : Terduga Teroris di Sleman-Yogyakarta Juga Sempat Bajak Truk dan Menyandera Seorang Warga
Para pekerja keraton yang terdiri dari berbagai cabang, juga mendapat tempat kediaman khusus sendiri-sendiri, misalnya para tukang kayu (gowong) tinggal di Gowongan, tukang bikin kursi dan barang-barang lain dari kayu (undagi) tinggal di Dagen (akhiran ‘an’ berubah menjadi ‘en’).
Orang-orang yang membuat barang dari batu seperti nisan misalnya (Jlagra) dan para pembuat barang-barang kuningan (gemblak), masing-masing tinggal di Jlagran dan Gemblakan.
Begitu juga para hamba raja yang menjalankan pengadilan, memutuskan perkara-perkara.
Mereka mendapat tinggal sendiri-sendiri, seperti jaksa di Pajeksan, para fiskal di Beskalan (maklum lidah orang Jawa tak dapat mengatakan huruf F).
Baca Juga : Terduga Teroris di Sleman-Yogyakarta Juga Sempat Bajak Truk dan Menyandera Seorang Warga
Para pemungut bea pasar (tanda) di Ketandan, orang yang bertugas menjalankan perintah-perintah (diutus) disebut gandek, tinggal di Gandekan dan sebagainya.
Selain para anggauta pasukan dan para petugas-petugas lain, banyak juga para Pangeran dan Bupati dan sebagainya yang mendapat tempat kediaman sendiri-sendiri.
Kampung-kampung dimana mereka itu berdiam, kemudian disebut menurut nama pangeran atau bupati masing-masing, yang tinggal di situ dengan diberi akhiran ‘an’.
Misalnya seorang bupati namanya Natayuda, maka kampungnya disebut Natayudan.
Baca Juga : Jarang Didengar Namun Tidak Tahu Makna dan Asal Usulnya, Rupanya Begini Lho Asal Mula Takjil di Nusantara
Yang menyusahkan ialah tempat kediaman seorang Pangeran, misalnya P. Hangabehi tempat tinggalnya (kampungnya) sudah tentu disebut Ngabean.
P. Hangabehi ialah gelar seorang putra raja yang tertua, yang tidak dari seorang permaisuri.
Kalau P. Ngabehi meninggal, maka P. Ngabehi berikutnya belum tentu kalau mendiami tempat yang lama dan mungkin mendapat tempat kediaman lain.
Dengan begitu maka ada Ngabean dua. Maka orang sering bertanya Ngabean yang mana, yang lama atau yang baru. Orang Yogya asli segera tahu di mana nama kedua tempat itu.
Begitu halnya seperti nama kampung Judanegaran, karena yang tinggal di situ mula-mula Pangeran Judanegara, setelah Pangeran itu pindah tempat, karena menjabat pangkat lain, maka tempat itu berganti nama menurut penghuni baru, yaitu Wijilan atau Minjilan, yang sebenamya nama dari satu kampung.
Baca Juga : Yu Djum Meninggal Dunia: Gudeg Yu Djum, Maskotnya Gudeg Yogya
Enggan nama baru
Nama-nama baru yang kedengarannya tak cocok untuk telinga orang Jogya, umumnya tak laku.
Sebagai contoh misalnya Jl. Pangurakan (dari urak = surat perintah bergiliran piket di Keraton) yang diganti dengan nama Jl. Trikora.
Meskipun papan namanya dipancang sampai sekarang, namun tak seorang tukang becak yang tahu, di mana jalan itu.
Baca Juga : Punya Luka yang Tak Kunjung Sembuh? Coba Pakai 5 Teknik Perawatan Luka Alami Ini
Tetapi kalau orang mengatakan Jl. Pangurakan, maka tukang becak tak akan keliru.
Begitu pula dengan jalan Judanegaran, yang sejak adanya Dwi Komando rakyat (Dwikora) diganti dengan nama tersebut.
Para pengemudi becak tahunya hanya Jl. Judanegaran, dan tak ada orang yang menawar becak misalnya seperti, “ke jalan Dwikora berapa, Pak?"
Ada pula jalan yang telah diganti dengan nama seorang pahlawan revolusi terkenal.
Tetapi tak ada orang yang pernah menyebut nama jalan baru itu. Akhirnya nama baru itu dicabut dan digunakan untuk memberi nama jalan di Kota Baru dan nama jalan yang lama itu dibiarkan.
Umumnya rakyat kebanyakan jarang-jarang pergi ke Kota Baru.
Hanya beberapa nama baru saja yang dapat diterima dengan segera oleh rakyat, misalnya Jl. Tugu Kidul yang diganti dengan Jl. P. Mangkubumi, Tugu Kulon dengan Jl. P. Diponegoro, Gandalayu dengan Jl. Jendral Sudirman dan sebagainya, meskipun tidak menggunakan akhiran “an", tetapi nama itu merupakan nama khas Jawa, jadi didengar sudah enak, lagi pula nama-nama itu asalnya juga dari situ.
Ada sebuah jalan yang diganti dengan nama seorang pahlawan revolusi dan yang segera dapat diterima oleb rakyat, yaitu Pacinan diganti dengan Jl. Jendral A. Yani. Kalau dulu mestinya nama itu menjadi A. Yanen.
Baca Juga : Ketika Kerbau Bule Pusaka Keraton Surakarta Mati Ditikam Orang Sebelum Kirab Satu Suro
Adapun jalan Malioboro yang menjadi tersohor itu, dulu berasal dari namanya seorang bangsa Inggris, ketika tanah air kita diduduki oleh Inggris dari tahun 1811 - 1813, yaitu Marl Borough.
Karena mengucapkan nama tersebut sukar sekali bagi orang-orang Jawa, maka kemudian diambil gampangnya saja menjadi Malioboro.
Selain itu semua ada juga kelompok-kelompok orang asing yang diberi tempat kediaman tetap, seperti sayid dan orang-orang Cina, dan nama tempat tinggal mereka disebut Sayidan dan Pacinan. Yang akhir tadi sudah diganti nama baru.
Orang-orang Belanda yang menetap di daerah Yogya juga tidak sedikit. Buktinya ada beberapa kampung yang disebut dengan nama seperti: Ngebaraman dari nama Bram, Nglamersan dari Lamers, Kleringan dari Klering, dan Ledok Ratmakan dari ledok (lembah) tempat tinggalnya Ratmakers.
Begitu masih banyak lagi.
Baca Juga : Ronggowarsito, Pujangga Keraton Surakarta Ini Sudah Meramalkan Hari Kematiannya