Advertorial
Intisari-Online.com -Sejumlah keraton dari Kasunan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, hingga Kasepuhan Cirebon punya tradisi masing-masing dalam merayakan Bulan Suro (Muharam)—juga Malam 1 Suro.
Keraton Surakarta misalnya, pada malam 1Suro biasanya akan memandikan pusaka-pusaka keraton termasuk mengirab kerbau bule, Kiai Slamet.
Begitu juga dengan Keraton Yogyakarta, di mana salah satu ritualnya adalah mencuci kereta kencana bernama Kanjeng Nyai Jimat.
Soal kereta yang pertama kali digunakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I ini, Intisari pernah membahasnya lebih jauh.
Baca juga:Larangan Menikah di Bulan Suro Bukan Hanya tentang Buang Sial, tapi Ada Maksud Lain di Baliknya
***
Pada tanggal 1 Juni 1985 secara resmi dibuka Museum Kereta Keraton Ngayogyakarta, yang letaknya di dalam kompleks keraton.
Museum ini menyimpan delapan belas buah kereta yang pernah digunakan oleh para sultan dan keluarganya, serta ada juga koleksi lain yang berkaitan dengan kereta, misalnya pakaian kuda dan pelana.
Sebenarnya, sebelum dijadikan museum tempat tersebut dulunya sudah dijadikan gudang penyimpanan kereta dan bagian belakangnya terdapat bengkel pemeliharaan.
Koleksi utama dari museum ini adalah kereta kencana yang diberi nama Kanjeng Nyai Jimat. Kereta ini pertama kali dipakai oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I, yang dibeli dari Negeri Belanda sekitar tahun 1750.
Per-nya terdiri atas beberapa lapisan kulit. Kereta ini digunakan untuk upacara-upacara kebesaran dan ditarik 8 ekor kuda berpasangan, sehingga jumlahnya 16 ekor.
Setiap kali digunakan, semua kuda warna bulunya harus sama — hitam, merah, putih atau kuning semua.
Biasanya kuda terdepan ditunggangi seorang sais yang disebut plaer. Sri Sultan Hamengkubuwono V masih sempat menaiki kereta ini, yaitu sekitar tahun 1855.
Setelah itu Nyai Jimat dinyatakan pensiun karena usianya sudah lanjut dan perlu perawatan.
Umumnya benda-benda pusaka di keraton diberikan sebutan dengan nama depan Kanjeng Kyai. Sedangkan untuk Nyai Jimat agak lain. Karena di bagian depannya, yaitu penyangga tempat duduk sais, terdapat patung putri duyung, maka kereta tersebut dijuluki Kanjeng Nyai (putri).
Ternyata Kanjeng Nyai Jimat bukanlah kereta sembarangan. Ia punya tuah yang sangat ampuh. Tiap Selasa atau Jumat Kliwon di bulan Suro, kain penutupnya disingkap dan ia dimandikan dengan berbagai sesaji dan dupa-dupaan.
Air cucian kereta diperebutkan oleh orang-orang yang sudah menanti sejak lama untuk digunakan sebagai obat awet muda atau penyembuh berbagai macam penyakit.
Selain itu, kereta ini dapat digunakan untuk melacak orang yang bersalah.
Seandainya ada satu dari beberapa orang yang dicurigai berbuat kejahatan tidak mau mengakui kesalahannya, setelah dihadapkan pada Nyai Jimat orang yang bersalah akan berkelakuan seperti penderita penyakit ayan atau malah pingsan.
Kereta tertua setelah Nyai Jimat adalah Kyai Mondrojuwono. Dibeli oleh Sri Sultan HB II sekitar tahun 1800 dari Negeri Belanda. Pernah dipakai oleh Pangeran Diponegoro sewaktu menjabat sebagai pendamping Sri Sultan HB IV, yang waktu itu belum dewasa.
BAKAL DIPUGAR
Setelah agak dewasa Sri Sultan HB IV ingin dibuatkan kereta yang akan digunakan untuk keperluan pribadi dan dapat dikendalikan sendiri. Maka pada tahun 1815 dipesan dua buah kereta, yaitu Kyai Manikretno dan Kyai Jolodoro.
Kedua kereta itu merupakan rancangan khusus dari HB IV dan dibuat di Yogyakarta. Kyai Jolodoro kemudian sering digunakan untuk pesiar berkeliling di atas benteng keraton yang lebarnya lima meter.
Beberapa tahun yang lalu pihak keraton merencanakan untuk memugar Kyai Manikretno. Namun, ketika rodanya hendak dicopot, pelaksananya mendapatkan wangsit dari 'penjaga' kereta itu bahwa seandainya pemugaran dilanjutkan terus maka seluruh isi keraton akan dimusnahkan.
Ditambahkannya lagi, kalaupun ingin tetap dipugar sebaiknya pihak keraton menunggu 'pemberitahuan' lebih lanjut.
Pada saat Sri Sultan HB IV berkuasa, yaitu sekitar tahun 1860, dipesan kereta yang khusus digunakan untuk putra makota dari Pabrik Kereta Barendse di Semarang.
Kereta ini ditarik oleh empat ekor (dua pasang) kuda dan diberi nama Kyai Wimonoputro.
Kereta lain yang juga dipesan oleh HB VI dari Pabrik Kereta Barendse adalah Kyai Harsunobo, yang pernah digunakan untuk menjemput istri Gubernur Jenderal Belanda, Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, ketika akan datang ke keraton dari tempat tinggalnya di karesidenan.
Baca juga:Mewahnya Kota Kuala Kencana Milik PT. Freeport di Tengah Hutan Papua, Serba Modern dan Canggih!
Awak kereta ini berjumlah empat orang, dua bertugas sebagai pengendali kuda yang duduk di atas kuda penarik sebelah kiri dan dua lainnya bertugas untuk pembuka pintu.
Karena merasa kurang sreg dengan Kyai Harsunobo, sepuluh tahun kemudian HB VI memesan kereta kencana lain dari pabrik kereta di Negeri Belanda.
Kereta kencana ini diberi nama Kanjeng Kyai Garudo Yekso, yang dipakai untuk upacara-upacara kebesaran, menjemput atau mengantar tamu agung (raja atau kepala negara lain) dari stasiun kereta api.
Ditarik delapan ekor kuda berpasangan yang sewarna. Kecuali diawaki seorang sais, juga ada plaer-nya.
Setelah ada Garudo Yekso, tugas Kyai Harsunobo menjadi lebih ringan, yaitu untuk upacara kecil saja, misalnya digunakan kalau sultan akan menghadiri pacuan kuda atau berkunjung ke resepsi perkawinan keluarga keraton.
PERLU LUBANG HIDUNG LEBAR
Kyai Garudo Yekso dipakai sampai dengan masa berkuasanya Sri Sultan HB IX, sebelumnya pernah dipugar pada zaman HB VII.
Biaya memugar sebuah kereta kencana tidak murah, apalagi kalau berkaitan dengan hiasannya yang berlapiskan emas.
Belum lama ini Garudo Yekso kembali dipugar, biaya untuk tahap pertama sudah dihabiskan sejumlah Rp30 juta. Tahap berikutnya diperkirakan akan memakai biaya sekitar Rp40 juta, padahal itu pun baru sebagian saja.
Menurut GBPH Prabukusumo, pimpinan museum tersebut, pemugaran tidak dilakukan pada seluruh bagian karena dianggap dapat menghilangkan nilai-nilai aslinya.
Memang kalau dari segi pemeliharaan, Keraton Yogya cukup banyak memberikan perhatian. Bahkan pernah mendapatkan acungan jempol dari para ahli kereta kencana Inggris dan Belanda.
Berbeda dengan kereta kuno di Inggris dan Belanda yang sudah tidak dapat dipergunakan lagi, kereta kencana milik keraton sampai saat sekarang masih bisa dinaiki dengan aman. Ini semua berkat pemeliharaan yang teratur, walaupun menggunakan bahan-bahan dan cara tradisional.
Misalnya secara berkala as kereta diberi minyak jarak/vaselin atau bagian dalamnya diberi kamper untuk menghindari serangan kutu-kutu.
Selain yang digunakan untuk kepentingan sendiri, sultan menyediakan juga kereta khusus bagi para abdi keraton yang mengiringinya kalau berkunjung ke tempat tertentu.
Yang unik, pada zaman Sri Sultan HB VIII, terpikir oleh pimpinan keraton untuk memesan kereta khusus pengangkut jenazah. Kereta itu diberi nama Kyai Rotopraloyo, dibuat di Yogya sekitar tahun 1938.
Tidak lama setelah kereta Kyai Rotopraloyo selesai dibuat, HB VIII mangkat. Kereta ini selanjutnya digunakan untuk mengangkut jenazah putra-putri sultan ke Makam Imogiri atau Kotagede.
Kalau mengangkut jenazah sultan kereta ini ditarik oleh 8 ekor (empat pasang) kuda untuk putra-putrinya hanya dua pasang. Dalam perjalanan ke Imogiri kuda-kuda penarik diganti sampai dua kali, yaitu di Desa Gandok dan Jetis.
Kuda-kuda pengganti itu satu dua hari sebelumnya sudah diberangkatkan ke tempat pergantian tersebut agar sudah dapat diistirahatkan sebelumnya.
Berbicara mengenai kereta kencana kita tidak dapat mengabaikan peranan kuda. Dahulu sultan pun sering menunggang kuda dengan ciri tertentu, misalnya kuat, tangkas, dan dapat melindungi.
Oleh karena itu kudanya diberi nama Satria Pinayungan, yang artinya dapat melindungi satria yang menungganginya.
Untuk kuda tunggangan raja atau penarik kereta kencana disyaratkan paling tidak mempunyai 82 ciri tertentu.
Antara lain kuda itu harus mempunyai lubang hidung yang lebar seperti pakis, daging pipinya tebal, dahinya lebar dan rata. Sedangkan jenis-jenis kudanya banyak didatangkan dari Sumbawa dan Australia.
(Ditulis oleh Tota dan Rene. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1985)